Sabtu, 31 Januari 2009

Ilmu tanpa Guru
Diposting oleh Kurtubi
Monday, 22 September 2008
Maleman Tanggal Selikure...

Oleh: SantriBuntet


MUNGKINKAH ilmu tanpa guru. Ternyata ada! Bahkan ilmu yang paling penting di jagad dunia akherat itu diperoleh tanpa perantaraan guru. Dalam bahasa pesantren disebut ilmu laduni. Tentu saja tidak mudah memperoleh ilmu ini. Namun siapapun bisa mendapatkannya. Mau tahu, mari kita simak apa pendapat ulama tentang ini.


Salah satu ilmu yang diperoleh tanpa guru adalah ilmu taqwa ia yang mampu mengubah seseorang tanpa guru tetapi langsung dari Allah SWT. Pertanyannya, taqwa yang bagaimanakah yang akan menghasilkan ilmu tanpa guru. Apakah mungkin mendapat¬kan ilmu tanpa guru, ilmu macam apakah yang akan diperleh dan bagaima¬nakah upaya mendapatkannya, serta Jalan apa¬kah yang harus ditempuh. Sederetan perta¬nyaan ini Insya Allah akan terjawab dalam uraian di bawah ini.




Taqwa Melahirkan Ilmu

Ada dua ayat al Qur’an yang membuktikan bahwa taqwa akan mendatangkan ilmu dalam hati manusia. Pertama: ayat di atas QS. Surat Al Anfal:29: "Jika engkau bertaqwa kepada Allah SWT nicaya akan engkau anugerahi furqon di hatimu." Furqon di sini menurut sumber yang tercantum dalam kitab "Marooqi al 'Ubudiyah" diartikan dengan pemahaman ilmu yang terhujam di dalam hati bukan di dalam pikiran. Ilmu ini didapat langsung dari sumbernya yaitu Allah tanpa melalui perantaraan seorang guru.





Kutipan asli dari kitab tsb. sebagai berikut:




اِنْ تَتَّقُوااللهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا أَيْ فَهْمًا فِى قُلُوْبِكُمْ تَأْخُذُوْانَهُ عَنْ رَبِّكُمْ مِنْ غَيْرِ مُعَلِّمٍ. وَقَالَ تَعَالىَ وَاتَّقُوااللهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللهَ أيْ بِغَيْرِ وَاسِطَةِ مُعَلِّمِ.





Kedua: QS: Al Baqarah:282




وَاتَّـقُوااللهَ وَيُعَلِّمُـكُمُ اللهَ








Artinya: “Bertaqwalah kepada Allah niscaya Allah mengajarkanmu.” (QS. Al Baqarah:282)




Pada ayat pertama, orang yang bertaqwa akan dianugerahi furqon, semacam pengetahuan yang hadir dalam hati sedangkan pada ayat kedua lebih tegas Allah menyebutkan ilmu pengetahuan dengan ungkapan “yu’allimu” atau mengajari. Jadi orang yang bertaqwa hidupnya akan diajari langsung oleh Allah swt. tanpa perantaraan guru. Sebab taqwa itu tidak ada gurunya sedangkan ilmu lain ada gurunya. Sebab taqwa itu adanya di hati makanya ungkapan Rasul tentang taqwa adalah : إستفتى قلبك ( mintalah fatwa kepada hatimu)




Singkatnya, boleh jadi, orang yang sudah memperoleh furqon dan yu’allimu nisaya pengetahuan yang dimilikinya bersumber dari Allah dan pasti benar adanya. Di samping itu hidupnya akan terbimbing dengan sendirinya. Penuh keberkahan dan kebahagiaan. Orang-orang sholeh sungguh-sungguh berusaha mendambakan posisi seperti ini. Dalam hati mereka dipenuhi oleh sinar ilmu dari Allah swt. Semua memahami bahwa jika hati seseorang sudah tersinari ilmu Allah niscaya segala tindakannya pun akan terbimbing dengan sendrinya.




Upaya Memperoleh Ilmu

Untuk mendapatkan ilmu yang terhujam di dalam hati tanpa melalui perantaraan guru ini memerlukan syarat yaitu taqwa, seperti yang tercantum dalam ayat di atas. Namun taqwa yang bagaimana yang mesti dilakukan oleh kita sehingga mampu mendapatkan ilmu langsung dari Allah swt. Apakah taqwa yang diartikan seperti mening¬galkan larangan dan mengerjakan perintahnya. Atau taqwa yang bagaimana. Untuk menjawab pertanyaan tersebut dapat disimak petunjuk Imam Malik ra dalam kitab yang sama:




مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ وَرَثَهُ اللهُ عِلْمَ مَالَمْ يَعْلَمْ.





Artinya: “Barangsiap yang mempraktekkan ilmu yang telah diperolehnya, niscaya Allah akan mewarisi ilmu pengetahuan yang sama sekali belum pernah diketahuinya.”




Petunjuk imam Malik tersebut cukup jelas memberi pedo¬man ringkas bagaimana cara mendapatkan janji Allah bahwa orang yang bertaqwa akan diberi ilmu pengetahuan. Dan cara untuk mendapatkan tingkat tersebut cukup sederhana yaitu dengan mengamalkan saja ilmu yang sudah diper¬oleh dari guru dimana kita belajar meskipun sedikit namun ilmu itu dikerjakan terus-menerus dengan sabar tanpa henti. Pada akhirnya dengan sendirinya akan sampai ke sana.




Karena itu, tidaklah perlu mendahulukan mencari ilmu seperti amal-amalan yang justru akan menyusahkan sendiri dalam mengerjakannya. Namun yang penting dahulukan saja mengamalkan ilmu-ilmu yang sudah ada meskipun sendikit tapi benar-benar dipraktekkan dalam setiap siklus kehidupan.





Syari’ah, Tariqah dan Hakekat



Masih dalam kitab “Marooqi al ‘Ubudiyah” ketika menjelaskan ungkapan imam Malik ra. tersebut ternyata sarat dengan makna. Misalnya ungkapan ‘amila’ diartikan dengan ‘thariqah’; ‘alima’ diartikan ‘syariat’ dan ‘waratsa Allah ‘ilma maa lam ya’lam’ diartikan sebagai hakikat.




Singkatnya, penjelasan dalam kitab tersebut menunjukan bahwa dengan mempraktekkan ilmu berarti masuk dalam thariqah dan pada saat yang sama, orang yang tengah mengamalkan ilmu yang diperoleh dari pengetahuan sehari-hari misalnya dari guru atau sumber lainnya, maka berarti tengah menjalani kehidupan syariat. Selanjutnya, tingkat akhir, ketika Allah mewarisi ilmu yang telah dijanjikan bagi yang yang bertaqwa berupa ilmu yang belum diketahui, berarti orang tersebut sudah masuk dalam suatu kehidupan puncak yaitu memperoleh hakekat dari Allah SWT, hakikat itu misalnya ma’rifat dan lain sebagainya yang jelas banyak sekali kelebihan yang terpancar dalam setiap tindakan dan ucapan orang tersebut.




Dari penjelasan terakhir tersebut dapat ditarik pengertian pula bahwa hidup bertariqat itu seharusnya lebih didahu¬lukan daripada hidup dengan syariat. Dasarnya adalah dari ungkapan Imam Malik ra bahwa harus beramal lebih dahulu. Disamping itu contoh Rasulullah saw sebelum diangkat menjadi Rasul beliau menjalani hidup berthariqot. Sejarah membuktikan beliau berdiam di gua hira. Setelah sekian lama kemudian Rasul mendapatkan hakekat dengan diberi wahyu.




Ini berarti bahwa antara syariat, tharikat dan hakikat merupakan rangkaian kesatuan yang tidak bisa dilepaskan guna memperoleh ilmu dari Allah. Jika hanya sampai kepada syariat tentu masih kurang, begitu juga jika hanya sampai kepada tariqat berarti perjalanan masih panjang. Maka untuk mewujudkan ketiganya, jadikan diri kita untuk terus-menerus bertakwa diiringi dengan mempraktekkan ilmu – ilmu yang pernah kita dapat.




Jadi ternyata ilmu taqwa, sabar, tawakkal dan segala macam ilmu hati tidak bisa diajarkan oleh kyai sekalipun. Guru-guru yang yang ada justru sebagai pemberi informasi kitalah yang menentukannya. Hanya kepada ALlah jua lah semua ilmu dikembalikan, dan Hanya DIa yang bisa memberikan ilmu yang hakiki. Wallahu a’lam bimuroodih. (MK)




Penulis, alumni MANU Buntet Pesantren, penggemar ngaji pengenya sampai tua....

www.buntetpesantren.org

Tidak ada komentar: