Sabtu, 31 Januari 2009

Ilmu tanpa Guru
Diposting oleh Kurtubi
Monday, 22 September 2008
Maleman Tanggal Selikure...

Oleh: SantriBuntet


MUNGKINKAH ilmu tanpa guru. Ternyata ada! Bahkan ilmu yang paling penting di jagad dunia akherat itu diperoleh tanpa perantaraan guru. Dalam bahasa pesantren disebut ilmu laduni. Tentu saja tidak mudah memperoleh ilmu ini. Namun siapapun bisa mendapatkannya. Mau tahu, mari kita simak apa pendapat ulama tentang ini.


Salah satu ilmu yang diperoleh tanpa guru adalah ilmu taqwa ia yang mampu mengubah seseorang tanpa guru tetapi langsung dari Allah SWT. Pertanyannya, taqwa yang bagaimanakah yang akan menghasilkan ilmu tanpa guru. Apakah mungkin mendapat¬kan ilmu tanpa guru, ilmu macam apakah yang akan diperleh dan bagaima¬nakah upaya mendapatkannya, serta Jalan apa¬kah yang harus ditempuh. Sederetan perta¬nyaan ini Insya Allah akan terjawab dalam uraian di bawah ini.




Taqwa Melahirkan Ilmu

Ada dua ayat al Qur’an yang membuktikan bahwa taqwa akan mendatangkan ilmu dalam hati manusia. Pertama: ayat di atas QS. Surat Al Anfal:29: "Jika engkau bertaqwa kepada Allah SWT nicaya akan engkau anugerahi furqon di hatimu." Furqon di sini menurut sumber yang tercantum dalam kitab "Marooqi al 'Ubudiyah" diartikan dengan pemahaman ilmu yang terhujam di dalam hati bukan di dalam pikiran. Ilmu ini didapat langsung dari sumbernya yaitu Allah tanpa melalui perantaraan seorang guru.





Kutipan asli dari kitab tsb. sebagai berikut:




اِنْ تَتَّقُوااللهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا أَيْ فَهْمًا فِى قُلُوْبِكُمْ تَأْخُذُوْانَهُ عَنْ رَبِّكُمْ مِنْ غَيْرِ مُعَلِّمٍ. وَقَالَ تَعَالىَ وَاتَّقُوااللهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللهَ أيْ بِغَيْرِ وَاسِطَةِ مُعَلِّمِ.





Kedua: QS: Al Baqarah:282




وَاتَّـقُوااللهَ وَيُعَلِّمُـكُمُ اللهَ








Artinya: “Bertaqwalah kepada Allah niscaya Allah mengajarkanmu.” (QS. Al Baqarah:282)




Pada ayat pertama, orang yang bertaqwa akan dianugerahi furqon, semacam pengetahuan yang hadir dalam hati sedangkan pada ayat kedua lebih tegas Allah menyebutkan ilmu pengetahuan dengan ungkapan “yu’allimu” atau mengajari. Jadi orang yang bertaqwa hidupnya akan diajari langsung oleh Allah swt. tanpa perantaraan guru. Sebab taqwa itu tidak ada gurunya sedangkan ilmu lain ada gurunya. Sebab taqwa itu adanya di hati makanya ungkapan Rasul tentang taqwa adalah : إستفتى قلبك ( mintalah fatwa kepada hatimu)




Singkatnya, boleh jadi, orang yang sudah memperoleh furqon dan yu’allimu nisaya pengetahuan yang dimilikinya bersumber dari Allah dan pasti benar adanya. Di samping itu hidupnya akan terbimbing dengan sendirinya. Penuh keberkahan dan kebahagiaan. Orang-orang sholeh sungguh-sungguh berusaha mendambakan posisi seperti ini. Dalam hati mereka dipenuhi oleh sinar ilmu dari Allah swt. Semua memahami bahwa jika hati seseorang sudah tersinari ilmu Allah niscaya segala tindakannya pun akan terbimbing dengan sendrinya.




Upaya Memperoleh Ilmu

Untuk mendapatkan ilmu yang terhujam di dalam hati tanpa melalui perantaraan guru ini memerlukan syarat yaitu taqwa, seperti yang tercantum dalam ayat di atas. Namun taqwa yang bagaimana yang mesti dilakukan oleh kita sehingga mampu mendapatkan ilmu langsung dari Allah swt. Apakah taqwa yang diartikan seperti mening¬galkan larangan dan mengerjakan perintahnya. Atau taqwa yang bagaimana. Untuk menjawab pertanyaan tersebut dapat disimak petunjuk Imam Malik ra dalam kitab yang sama:




مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ وَرَثَهُ اللهُ عِلْمَ مَالَمْ يَعْلَمْ.





Artinya: “Barangsiap yang mempraktekkan ilmu yang telah diperolehnya, niscaya Allah akan mewarisi ilmu pengetahuan yang sama sekali belum pernah diketahuinya.”




Petunjuk imam Malik tersebut cukup jelas memberi pedo¬man ringkas bagaimana cara mendapatkan janji Allah bahwa orang yang bertaqwa akan diberi ilmu pengetahuan. Dan cara untuk mendapatkan tingkat tersebut cukup sederhana yaitu dengan mengamalkan saja ilmu yang sudah diper¬oleh dari guru dimana kita belajar meskipun sedikit namun ilmu itu dikerjakan terus-menerus dengan sabar tanpa henti. Pada akhirnya dengan sendirinya akan sampai ke sana.




Karena itu, tidaklah perlu mendahulukan mencari ilmu seperti amal-amalan yang justru akan menyusahkan sendiri dalam mengerjakannya. Namun yang penting dahulukan saja mengamalkan ilmu-ilmu yang sudah ada meskipun sendikit tapi benar-benar dipraktekkan dalam setiap siklus kehidupan.





Syari’ah, Tariqah dan Hakekat



Masih dalam kitab “Marooqi al ‘Ubudiyah” ketika menjelaskan ungkapan imam Malik ra. tersebut ternyata sarat dengan makna. Misalnya ungkapan ‘amila’ diartikan dengan ‘thariqah’; ‘alima’ diartikan ‘syariat’ dan ‘waratsa Allah ‘ilma maa lam ya’lam’ diartikan sebagai hakikat.




Singkatnya, penjelasan dalam kitab tersebut menunjukan bahwa dengan mempraktekkan ilmu berarti masuk dalam thariqah dan pada saat yang sama, orang yang tengah mengamalkan ilmu yang diperoleh dari pengetahuan sehari-hari misalnya dari guru atau sumber lainnya, maka berarti tengah menjalani kehidupan syariat. Selanjutnya, tingkat akhir, ketika Allah mewarisi ilmu yang telah dijanjikan bagi yang yang bertaqwa berupa ilmu yang belum diketahui, berarti orang tersebut sudah masuk dalam suatu kehidupan puncak yaitu memperoleh hakekat dari Allah SWT, hakikat itu misalnya ma’rifat dan lain sebagainya yang jelas banyak sekali kelebihan yang terpancar dalam setiap tindakan dan ucapan orang tersebut.




Dari penjelasan terakhir tersebut dapat ditarik pengertian pula bahwa hidup bertariqat itu seharusnya lebih didahu¬lukan daripada hidup dengan syariat. Dasarnya adalah dari ungkapan Imam Malik ra bahwa harus beramal lebih dahulu. Disamping itu contoh Rasulullah saw sebelum diangkat menjadi Rasul beliau menjalani hidup berthariqot. Sejarah membuktikan beliau berdiam di gua hira. Setelah sekian lama kemudian Rasul mendapatkan hakekat dengan diberi wahyu.




Ini berarti bahwa antara syariat, tharikat dan hakikat merupakan rangkaian kesatuan yang tidak bisa dilepaskan guna memperoleh ilmu dari Allah. Jika hanya sampai kepada syariat tentu masih kurang, begitu juga jika hanya sampai kepada tariqat berarti perjalanan masih panjang. Maka untuk mewujudkan ketiganya, jadikan diri kita untuk terus-menerus bertakwa diiringi dengan mempraktekkan ilmu – ilmu yang pernah kita dapat.




Jadi ternyata ilmu taqwa, sabar, tawakkal dan segala macam ilmu hati tidak bisa diajarkan oleh kyai sekalipun. Guru-guru yang yang ada justru sebagai pemberi informasi kitalah yang menentukannya. Hanya kepada ALlah jua lah semua ilmu dikembalikan, dan Hanya DIa yang bisa memberikan ilmu yang hakiki. Wallahu a’lam bimuroodih. (MK)




Penulis, alumni MANU Buntet Pesantren, penggemar ngaji pengenya sampai tua....

www.buntetpesantren.org
KAJI FILSAFAT ETIKA, DUNIA IDEA DAN LOGIKA
Oleh Pusat Kajian Filsafat Madina Ilmu
(Nunung FH.)
Tulisan ini memerikan / mendeskripsikan perkembangan pemikiran dari keprihatinan moral Socrates menuju gagasan Dunia Idea Plato dan bermuara kepada Logika Formal Aristoteles. Uraian ini cukup menarik mengingat ketiga tokoh filsuf Yunani ini berpengaruh besar terhadap pemikiran filosofis hingga sekarang.

Pengungkapan ini diharapkan menyadarkan kita bahwa pemikiran filosofis yang terlihat 'abstrak', besar dan 'melangit' sebetulnya merupakan hasil proses pergulatan dan pergumulan dengan kehidupan nyata sehari-hari. Tidak ada logika Aristoteles tanpa Idea Plato dan tidak ada Idea Plato tanpa keprihatinan moral Socrates. Bisa dikatakan 'pemikiran langit' berpijak pada 'kehidupan bumi'.


Sekarang marilah kita lanjutkan pada pembahasan Logika Formal Aristoteles sebagai penutup seri pembahasan tentang perkembangan pemikiran filosofis Socrates, Plato dan Aristoteles.

LOGIKA FORMAL ARISTOTELES
Pedebatan adu argumentasi yang terjadi antara Socrates dan Plato dengan kaum Sofis yang relativistik menjadi kajian yang sangat menarik bagi Aristoteles untuk menganalisis penggunaan bahasa dan bentuk-bentuk pemikiran. Ditemukan oleh Aristoteles bahwa bahasa sangat terkait dengan penalaran manusia; bahwa bahasa adalah lambang pemikiran; bahwa terdapat kaidah-kaidah berpikir yang universal dan dapat menguji kesahihan bentuk-bentuk penalaran.

Mengenai bentuk penalaran, Aristoteles juga menemukan dua (2) alur atau cara berpikir, yaitu analitika dan dialektika. Analitika merupakan cara berpikir yang bertitik tolak dari putusan-putusan yang benar lalu membuat kesimpulan. Dialektika merupakan cara berpikir yang bertitik tolak dari hipotesa menuju penyimpulan yang bersifat mungkin. Dua istilah ini, analitika dan dialektika, kini menjadi bagian dari ilmu yang sekarang disebut logika. Oleh karena itu, Aristoteles boleh dipandang sebagai penemu logika yang memainkan peranan penting dalam sejarah intelektual umat manusia. Aristoteles sendiri tidak menyebutnya dengan logika melainkan analitika. Hal ini menunjukkan kecendrungan cara berpikir Aristoteles yang analitik yang dicirikan dengan keketatan dan jelasnya penggunaan term-term.

Menurut McKeon dalam Introduction to Aristotle (The Modern Library, New York, 1947), tulisan-tulisan logika Aristoteles terdapat pada enam buku yang kemudian secara tradisi dikelompokkan menjadi sebuah nama, Organon. Keenam buku asli Aristoteles yang membahas logika itu adalah Categories, On Interpretation, Prior Analytics, Posterior Analytics, Topics, dan On Sophistical Refutations. Buku yang disebut terakhir inilah, On Sophistical Refutations, membeberkan kesalahan-kesalahan penalaran (fallacious argument) yang dilakukan oleh kaum Sofisme. Dalam buku itu, Aristoteles tidak luput pula menyerang kaun Sofis dengan menyebutkan 13 tipe kesesatan dengan perincian: enam (6) kesesatan karena bahasa dan tujuh (7) kesesatan relevansi mengenai materi penalaran. Perincian kesesatan-kesesatan penalaran kaum Sofis tentunya tidak dibahas di sini.

Sesuai dengan maksud tulisan kali ini, kita tidak akan membahas panjang lebar hal ihwal logika Aristoteles. Yang perlu ditandaskan di sini, pernyataan tentang Aristoteles yang menemukan logika adalah dalam pengertian bahwa Aristoteles untuk pertama kalinya dalam sejarah pemikiran manusia yang menyusun secara sistematis kajian logika. Sebelum Aristoteles, Socrates dan Plato telah menggunakan prinsip-prinsip logika dalama rgumen-argumen mereka, bahkan, termasuk kaum Sofis, meski yang terakhir ini memakainya secara keliru untuk menyesatkan penalaran.

Seperti yang telah diuraikan dalam pembahasan sebelumnya, pertanyaan-pertanyaan atau pernyataan-pernyataan Socrates telah mengandung unsur-unsur logika. Misalnya, pernyataan Socrates: "Setiap kebajikan adalah kesalehan, tapi tidak setiap kesalehan adalah kebajikan", telah mempekenalkan pengertian genus (kesalehan) dan spesies (kebajikan), dua konsep/pengertian yang kerap dipakai dalam logika Aristoteles. Kalimat Socrates itu identik dengan pernyataan logika: "Setiap anjing adalah binatang, tapi tidak setiap binatang adalah anjing." Karena, binatang adalah genus, sedangkan anjing adalah spesies atau anggota dari genus binatang.

Upaya pencarian definisi umum pengertian-pengertian etis Socraes juga telah mengandung makna identitas dari masing-masing pengertian etis tersebut. Lalu, oleh Aristoteles pengertian-pengertian ini diperluas mencakup entitas-entitas lain, tidak terbatas pada etika.

Dengan menganalisis definisi, spesies, genus, muncullah istilah kategori yang didefinisikan sebagai 'ultimate concept', yaitu pengertian yang sifatnya paling umum sehingga tidak bisa diturunkan dari pengertian lain. Ada sepuluh (10) kategori menurut Aristoteles, yaitu substansi (contoh: manusia), kuantitas (contoh: dua), kualitas (bagus), relasi (separuh), tempat (di toko), waktu (sekarang), keadaan (berdiri), posesi (bersepatu), aksi (membakar), dan pasivitas (terbakar).

Selain substansi (ousia= ousia), sembilan ketegori lainnya termasuk ke dalam aksiden (pathos= pathos). Nah, kedua pengertian ini juga telah digunakan Socrates dalam dialognya dengan Euthyphro (lihat kolom Dari Etika ke Logika bagian 2). Masalah kategori ini dibahas khusus oleh Aristoteles dalam bukunya Categories.

Pengaruh ajaran Plato juga nampak dalam buku Aristoteles, Prior Analytics. Dalam buku itu termuat bahwa Aristoteles menemukan bentuka penalaran yang bergerak dari universal ke partikular yang disebut dengan silogisme (syllogismos=syllogismos). Silogisme adalah pola berpikir deduktif yang memiliki kebenaran pasti dan niscaya; berangkat dari hal-hal umum menuju hal-hal khusus. Kesahihan deduksi tidak tergantung kepada pengalaman inderawi, tapi semata-mata kepada konsistesi rasio.

Oleh karena itu, kebenaran silogisme adalah termasuk kebenaran apriori. Hal ini mengingatkan kita kepada teori pengetahuan Plato yang mengklaim bahwa kebenaran berasal dari Dunia Idea-Idea; pengetahuan inilah yang disebut episteme (episteme), suatu istilah yang menjadi akar dari kata epistemologi yang terpakai sampai sekarang. Sedangkan pengalaman indrawi, menurut Plato, hanyalah menggingatkan kembali apa yang dulu telah diketahui di Dunia Idea, yang disebut dengan anamnesis.

Menurut David Ross dalam Aristotle (Methuen & Co. Ltd., London, 1960), istilah syllogismos sendiri berasal dari Plato ketika mengemukakan Dunia Universal, hanya saja Plato belum menggunakannya lebih jauh untuk menarik kesimpulan secara umum sebagaimana yang kemudian digunakan Aristoteles. Aristoteles sendiri menyebut silogisme Plato itu dengan istilah weak syllogism (silogisme lemah).

Dengan demikian, silogisme Aristoteles boleh dipandang sebagai perkembangan dari "silogisme lemah" Plato, dengan pengertian bahwa prinsip silogisme Aristoteles telah digunakan secara umum dan sistematis. Berikut disajikan perbandingan kedua jenis silogisme tersebut:

Silogisme lemah Plato:
Dunia Idea-Idea adalah universal
Keadilan mengandung Idea
________________________________
Keadilan mengandung (nilai) universal


Silogisme umum Aristoteles:
Semua manusia akan mati (Premis mayor)
Socrates adalah manusia (Premis minor)
_____________________
Socrates akan mati (Konklusi)


ETOS LOGIKA
Sesuai dengan tujuan tulisan ini, berikut akan kita paparkan sedikit etos atau semangat yang melatarbelakangi studi logika. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa logika lahir dari pergumulan filsuf untuk memperjuangkan nilai-nilai obyektivitas dan universalitas dalam berpikir dan bertindak. Socrates dan Plato tampil secara gigih melawan kaum Sofisme yang menganut paham relativisme, skeptisisme, subyektivisme dan, bahkan, nihilisme.

Kedua tokoh filsuf Yunai klasik ini berjuang keras untuk menunjukkan adanya nilai-nilai kebenaran yang obyektif, absolut dan universal; terutama dalam lapangan moralitas yang mereka geluti. Aristoteles lah kemudian yang merumuskan perjuangan moral Socrates dan Plato ke dalam aturan-aturan berpikir secara sistematis. Dengan kata lain, logika lahir sebagai kristalisasi dari perjuangan moral.

Kata logika (Inggris: logic, Yunani: logikos) berarti sesuatu yang dapat dimengerti (reasonable), akal budi yang teratur, konsisten, dan sistematis. Kata logika memiliki akar kata yang sama dengan kata logos berarti ucapan, kata, akal pikiran, studi tentang, pertimbangan tentang, ilmu tentang. Makna logos mengacu kepada sesuatu yang dapat dimengerti (reasonable), keteraturan akal budi, konsistensi penalaran, dan sistematika pemikiran. Secara ringkas dapat disebutkan beberapa padanan dari kata logos: utterance, statement, argument, account, definition, formula, ratio, language, reason, principle.

Kata logos sering dipakai sebagai lawan dari kata mitos. Dalam hal ini filsafat dikatakan sebagai upaya manusia untuk membebaskan diri dari belenggu-belenggu mitos dengan menggunakan logos. Penerjemahan kata logos menjadi logika ini kerapkali hanya dipahami dalam pengertian teknis, yaitu sejenis metode menalar yang tepat guna melahirkan cara berpikir yang benar, menarik kesimpulan yang tepat. Padahal jika kita menyingkap makna kata logos dalam arti yang lebih luas, maka terdapat yaitu etos atau semangat (geist), cara-pandang, sikap, dan paradigma yang terkandung dalam konsep logos itu. Dalam hal ini, logos juga menolak cara berpikir stigmatisasi atau stereotip. Stigmatisasi/stereotip adalah pelekatan suatu nilai yang dianggap dimiliki secara permanen oleh suatu kelompok atau komunitas tanpa melihat keragaman dan dinamika di antara anggota-anggotanya.

Semangat atau etos logos (logika) itu adalah pertanggungjawaban (account) rasio manusia yang dapat dikomunikasikan kepada sesama (proses saling memahami), transparansi maksud pikiran dan rencana; karena itu makna logos sebagai kata dimaksudkan sebagai pengungkapan pikiran yang dikomunikasikan melalui simbol bahasa yang dimengerti oleh penyampai gagasan dan penerima gagasan (pendengar). Hal ini secara seratus delapan puluh derajat berseberangan secara diametral dengan gejala skizofrenia, sofistik, relativistik.

Gejala skizofrenia yang dimaksud di sini bukanlah dalam artian medis atau sejenis patologi psikis, melainkan sebuah patologi sosial, budaya dan filosofis. Manusia skizofrenik menderita kehilangan kemampuan mengenal realitas obyektif di luar dirinya sehingga seakan-akan ia hidup di dunia ilusi dan khayalan dirinya sendiri. Ia tidak mampu membedakan antara khayalan subyektif dirinya dengan realitas obyektif di luar dirinya. Kaum skeptisisme, subyektivisme, relativisme dan nihilisme termasuk kaum yang mengidap skizofrenik.

Jadi, beberapa etos yang terkandung dalam konsep logos itu adalah : rasionalitas, eksplanasi (penjelasan), konsistensi, komunikasi, transparansi, pertanggungjawaban, dan keterarahan/sistematika berpikir, kejernihan berpikir, lebih mengandalkan rasio daripada emosi, keteraturan daripada anarki, dan ketepatan penggunaan istilah. Oleh karena itu, logika berperan menghilangkan kerancuan dan kesemena-menaan makna kata-kata melalui studi definisi, misalnya : perdebatan kontemporer tentang konstitusi, sistem presidensial, parlementer, dekrit presiden, oposisi, kebebasan, demokrasi, reformasi, teroris, jihad.

Salah satu implikasi makna logos itu adalah digunakannya kata logos pada setiap jenis ilmu pengetahuan (pengetahuan yang sistematis, metodis, dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, rasional), yaitu seperti : biologi, psikologi, fisiologi, sosiologi, antropologi, farmakologi, teologi.

PENUTUP: KESIMPULAN
Urain-uraian yang telah dipaparkan dalam empat tulisan berturut-turut membawa kita untuk menarik beberapa kesimpulan, yaitu:

(1) Terdapat kesinambungan pemikiran Socrates, Plato dan Aristoteles meskipun di antara mereka, terutama Plato dan Aristoteles, memiliki perbedaan-perbedaan pandangan filosofis.

(2) Terjadi perkembangan yan sangat menarik bagaimana motivasi etis Socrates diformulasikan menjadi teori Idea Plato dan mengkristal dalam logika Aristoteles.

(3) Berkaitan dengan butir (2) di muka, dapat disebutkan pula bahwa telah terjadi lompatan wacana etika menjadi wacana logika; keprihatinan etis mengalami transformasi menjadi wawasan logos.

(4) Perkembangan filsafat Yunani klasik bermula dari pertanyaan-pertanyaan Socrates yang lalu dicoba dicari jawabannya oleh Plato dan kemudian disusun secara sistematis oleh Aristoteles.

(5) Dengan mengacu kepada sejarah pemikiran filosofis Yunani klasik ini kita dapat mengambil pelajaran bagaimana proses perumusan dan penyelesaian problem-problem filosofis. Inilah salah satu alasan mengapa ulasan sejarah filsafat masih sangat relevan dipelajari sekarang, sejauh diuraikan dengan cara apik, bernas dan sistematis sedemikian rupa sehingga dapat diambil nilai-nilai, pesan-pesan universal atau hikmah-hikmahnya.

RENUNGAN
Dapatkah pelbagai krisis multidimensional (moral, sosial politik, ekonomi, intelektual, spiritual) yang melanda bangsa kita sekarang secara kreatif kita transformasikan menjadi obor dan semangat untuk melakukan gerakan pencerahan pemikiran dalam masalah-masalah keagamaan, kemanusiaan, kemasyarakatan dan kebangsaan?

sumber: pelita

Jumat, 30 Januari 2009

PERSELINGKUHAN ZIONISME DENGAN IMPERIALISME BARAT
Adian Husaini, M.A
Seminar ''Menangisi Darah, Mengais Sejarah: Hubungan Palestina-Israel. Aula IIQ. FoKUs-IPTIQ, BEMFU-IIQ dan JHQ.
Sabtu, 31 Januari 2009
Salah satu masalah pelik yang dihadapi dunia internasional saat ini adalah masalah Palestina dan Israel. Mahathir Muhammad, mantan perdana menteri Malaysia, pernah menyatakan bahwa Palestina adalah kunci peradaban dunia. Negara Israel saat ini adalah buah dari perjuangan idiologi yang disebut sebagai "Zionisme". Sukses Zionisme adalah buah persekutuan--lebih tepat disebut sebagai perselingkuhan antara kaum Zionisme Yahudi dengan imperialisme Barat. Zionisme bisa dikatakan satu idiologi sekular yang sangat dramatis dan sukses mencapai tujuannya pada abad ke-20. Berangkat dari rumusan sederhana terhadap kondisi riil fenomena "anti-semitism" (lebih tepat: Anti-Jews) di Eropa. Idiologi ini disusun dengan sasaran jelas: membentuk sebuah negara Yahudi. Dalam tempo 50 tahun sejak Kongres Zionis pertama, tahun 1897, negara Yahudi--yang diberi nama Israel--itu berdiri pada 14 Mei 1948.
Dalam pandangan Yahudi, istilah Zionisme dinisbahkan kepada sebuah bukit bernama Zion di Jerusalem. Istilah itu kemudian identik dengan Jerusalem itu sendiri. Bagi Yahudi, istilah Zion memang mengandung makna religius, dan memiliki akar sejarah yang panjang. Di sinilah nanti terlihat bagaimana lihainya kaum Zionis yang sebenarnya sekular menggunakan istilah "Zionisme" untuk menamai gerakan mereka, sehingga mampu menarik banyak dukungan orang Yahudi.
Respon keagamaan di kalangan Yahudi terhadap Zionisme dan negara Israel memiliki banyak varian. Pertama, kelompok penentang keras Zionisme, seperti The Haredim Movement dan Naturei Karta. Kelompok Haredim memandang bahwa tanah Israel memang dijanjikan Tuhan untuk mereka. Tanah itu kemudian dicabut oleh Tuhan dari mereka karena ketidakpercayaan Yahudi sendiri terhadap perjanjian dengan Tuhan. Jika Yahudi menaati Taurat, kata mereka, maka Tuhan akan mengembalikan tanah itu kepada Yahudi. Adapun Naturei Karta memandang bahwa negara Israel adalah produk dari Zionisme tak bertuhan (godless Zionism). Naturei Karta adalah kelompok anti-Zionis, ultra-ortodoks, yang tidak mengakui negara Israel dan secara konsisten menentang negara Yahudi ini. Kelompok ini mendukung perjuangan Palestina dan menyerukan internasionalisasi Kota Jerusalem.
Kedua, kutub agama yang berlawanan dengan kelompok Haredim dan Naturei Karta, seperti Gush Emunim. Kelompok ini memberikan biaya kepada para pemukim Yahudi di Tepi Barat, setelah kemenangan Israel dalam perang tahun 1967. Mereka menyatakan bahwa mereka kembali ke area tertentu untuk mempromosikan kehidupan Yahudi. Menurut mereka, cara ini akan mempercepat kedatangan Sang Messiah.
Antara kedua kutub itu ada kelompok-kelompok Yahudi yang memberikan dukungan kepada negara Israel, tetapi tidak melihatnya dari sudut keagamaan. Pendirian negara Israel, menurut mereka, bukanlah tanda-tanda akan datangnya Sang Messiah. Namun, mereka mendukung pemukinan Yahudi dan menentang pengembalian wilayah itu kepada Palestina. Di antara kelompok tengah ini adalah apa yang disebut sebagai "mainstream rligious Zionists". Salah satu tokohnya, Rabbi Meimon (1875-1962) menyatakan, "Negara Ibrani harus didirikan dan dijalankan sesuai prinsip agama Ibrani, yakni Torah Israel. Keyakinan kita sudah jelas: sejauh yang kita, para penduduk, memahaminya, agama dan negara saling membutuhkan satu sama lain." (Pilkington, Judaism, hlm. 249-250). Kutub agama lain yang sangat keras dalam klaim keagamaan, misalnya, diwakili oleh kelompok Kach, bentukan Rabbi Meir Kahane. Kelompok ini sangat terkenal ketika salah seorang aktivisnya, Yigal Amir, membunuh Yitzak Rabin, pada 4 November 1995. (Yigal Amir adalah mahasiswa Universitas Bar Ilan dan aktivis kelompok sayap kanan Eyal, sebuah kelompok garis keras yang mengikuti ajaran Meir Kahane. "Saya bertindak sendiri atas perintah Tuhan, dan saya tidak menyesal," ucap Amir, setelah menembak Rabin. Amir mewakili ekstremis Yahudi, yang menentang penyerahan wilayah Tepi Barat ke Palestina. Sesuai ajaran Rabbi Meir Kahane, Tepi Barat merupakan inti dari Eretz Israel yang sudah dijanjikan oleh Tuhan dan khusus diperuntukkan bagi bangsa Yahudi).
Pada kenyataannya istilah "Jewish State" memang menunjukkan negara Israel merupakan negara yang rasialis. Di antara cendekiawan Yahudi kemudian banyak yang menentang negara Israel. Misalnya, Dr. Israel Shahak. Karena sifat-sifat agresif dan diskriminatifnya, Israel Shahak mencatat: "Dalam pandangan saya, Israel sebagai negara Yahudi membawa bahaya tidak saja bagi dirinya sendiri dan bagi warganya, tetapi juga bagi semua bangsa dan negara lain, baik di Timur Tengah maupun di luarnya." Shahak menyebut contoh, bagaimana sampai tahun 1993 partai Likud menyetujui usul Ariel Sharon agar Israel menentukan perbatasannya berdasarkan Bible. Padahal, bagi Zionis maksimalis, wilayah Israel Raya (Eretz Yizrael) itu meliputi: Palestina, Sinai, Jordan, Syria, Lebanon, dan sebagian Turki. Shahak juga menguraikan berbagai sikap diskriminatif Israel terhadap warga non-Yahudi. (Israel Shahak, Jewish History, Jewish Religion [1999:2], [London: Pluto Press, 1994], hlm. 2, 10).
Roger Friedland dan Richard Hect, dalam bukunya, To Rule Jerusalem, menyebutkan bahwa sejak awalnya Yahudi memang tidak pernah sepakat terhadap Zionisme. Para penentang Zionisme ini beralasan bahwa Judaisme adalah agama, dan bukan satu bangsa. Sebagian besar Yahudi religius yang mengunjungi Jerusalem sebelum para Zionis juga memandang bahwa suatu negara sekular dan demokratis bagi Yahudi adalah satu 'anathema' atau barang haram.
Theodore Herzl
Ideologi Zionis modern, yang berujung pada pendirian negara Yahudi Israel, tidak dapat dilepaskan dari nama Theodore Herzl. Tokoh Zionis sekuler ini lahir pada 2 Mei 1860 di Pesta (tahun 1872 berubah menjadi Budapest), Hungaria dan meninggal 3 Juli 1904 di Austria. Ia sering dijuluki sebagai "the father of modern Zionism". Ia sempat sekolah agama Yahudi. Umur 9 tahun ia masuk sekolah teknik, tapi selama 4 tahun ia lebih berminat mempelajari ilmu-ilmu humanitarian. Terakhir ia mengambil kuliah hukum di Vienna's Law of School dan menyelesaikan sarjana hukumnya tahun 1884. Yang mengubah sejarah hidupnya adalah bermula dari kegiatannya menjadi korensponden sebuah koran di Paris, Neue Freie Presse. Di sinilah Herzl melihat merebaknya semangat anti-Yahudi. Herzl memandang perlunya ada sebuah negara Yahudi untuk menyelesaikan masalah Yahudi. Tahun 1896 ditulisnya gagasannya itu dalam panflet berjudul "Der Judenstaat" (A Jewish State).
Setahun kemudian, 1897, meskipun menghadapi banyak tantangan, Herzl sudah menyelenggarakan Kongres Zionis Pertama. Orang ini dikenal sangat aktif. Selain membentuk organisasi dan menulis, ia juga aktif melobi pemimpin-pemimpin dan tokoh-tokoh politik ketika itu, seperti Kaisar Jerman Wilhem II, menteri-menteri Rusia, seperti Count Sergei Yulievich dan Vyacheslav Pleve, Paus Pius X, menteri-menteri Inggris, seperti Neville Chamberlain, David Lyord George, Arthur Balfour, Sultan Abdulhamid II, dan Raja Italia Victor Emanuel III. Catatan hariannya yang terkenal setelah Kongres Zionis I adalah: ".... Saya telah mendirikan negara Yahudi. Jika aku mengatakannya hari ini, aku akan ditertawakan oleh seluruh alam semesta. Dalam waktu lima tahun, mungkin, dan dalam waktu lima puluh tahun pasti, setiap orang akan menyaksikannya." Kemudian, negara Israel didirikan 14 Mei 1948, 50 tahun 3 bulan, setelah catatan harian Herzl tersebut.
Sejak berdirinya, 1948, hingga sekarang, politik Israel tetap didominasi oleh kaum sekuler, baik sekuler kanan (Likud) maupun sekuler kiri (Buruh). Di tangan Yahudi sekuler yang mendominasi pemerintahan Israel itulah, Israel masih terus menduduki wilayah Palestina dan melestarikan pengusiran bangsa Palestina dari tanah airnya. Hingga kini, sekitar 3,9 juta bangsa Palestina masih terus hidup dalam pengungsian. Kondisi ini telah menjadi sumber penting terciptanya konflik-konflik internasional, khususnya antara Muslim dengan Yahudi.
Di tengah arus menguatnya ortodoksi di kalangan Yahudi, muncul pula dukungan terhadap Zionis Israel dari kalangan kelompok Kristen fundamentalis. Dalam mendukung Israel, mereka menggunakan legitimasi ayat Bible Kitab Kejadian 12: 3: "Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat."
Hingga kini sikap Kristen fundamentalis ini masih sejalan dengan kepentingan pragmatis-imperialistik Barat. Kata Roger Garaudy: "Sebenarnya Israel bukan saja merupakan perwakilan bagi kepentingan kolektif kolonialisme Barat di Timur Tengah--khususnya Amerika Serikat--melainkan juga sebagai keping utama dalam hubungan antarkekuatan pada percaturan politik dunia. (Roger Garaudy, Israel dan Praktik-Praktik Zionisme, hlm. 142).
Respon Utsmani dan Infiltrasi Zionis
Menelaah respon Muslim terhadap Zionisme bisa dilihat dalam kasus respon Turki Utsmani. Pada periode inilah, Zionisme mencapai saat-saatyang paling menentukan dalam mewujudkan gagasan-gagasannya. Zionisme yang bertujuan mendirikan negara Yahudi di Palestina tidak mungkin terwujud tanpa mendapat restu atau merampas wilayah itu dari kekuasaan Ustmani. Selama lebih dari 500 tahun, Utsmani menjadi "surga" bagi pengungsi Yahudi yang diusir dan dibantai oleh kaum Kristen Eropa. Namun, keharmonisan itu berakhir menyusul kemunculan gerakan Zionis Yahudi pada abad ke-19.
Mulanya, gerakan Zionis berharap mendapatkan wilayah Palestina secara sukarela dari penguasa Utsmani, yang ketika itu dipimpin oleh Sultan Abdul Hamid II (memerintah 1876-1909). Tak lama setelah menerbitkan bukunya, Der Judenstaat, Herzl ke Istambul menemui Perdana Menteri Utsmani dan mempresentasikan rencana pendirian Palestina sebagai tanah air kaum Yahudi. Ia menawarkan bantuan untuk melunasi utang negara Utsmani. Herzl juga melobi Kaisar Austria Wilhelm II yang berhubungan baik dengan Sultan Abdul Hamid II. Kaisar Austria setuju dengan gagasan Herzl dan merekomendasikan rencana Herzl kepada Sultan. Sultan menolak keras tawaran Herzl.
Sejak saat itu, Zionis melancarkan gerakannya untuk menumbangkan Sultan. Dengan menggunakan jargon-jargon "liberation", "freedom", dan sebagainya, mereka menyebut pemerintahan Abdul Hamid II sebagai "Hamidian Absolutism", dan sebagainya. Gerakan Zionis di Turki Utsmani mencapai sukses yang sangat signifikan menyusul pencopotan Sultan pada bulan April 1909. Di antara empat perwakilan National Assembly yang menyerahkan surat pencopotan Sultan itu adalah Emmanuel Carasso (Yahudi) dan Aram (Armenia). (Mehmed Maksudoglu, Osmanli History 1289-1922 [Kuala Lumpur: IIUM, 1999], hlm. 235).
Yang ironis, di tengah kerasnya penolakan Abdul Hamid II terhadap Zionisme, imigran Yahudi yang datang ke Palestina justru bertambah secara mencolok. Pada periode 1882-1904, yang dikenal sebagai the first immigration, sekitar 30.000 imigran Yahudi dari Eropa Timur datang ke Palestina dengan dukungan dana dari keluarga Rothschild yang super kaya. Imigrasi kedua, tahun 1904 sampai mulainya Perang Dunia I, sekitar 33.000 orang Yahudi. Hasilnya, populasi Yahudi di Palestina meningkat secara dramatis pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20; dari 24.000 pada tahun 1882 menjadi 47.000 pada tahun 1890; 80.000 pada tahun 1908; dan 85.000 pada tahun 1914 (atau meningkat dari 5% menjadi sekitar 11% pada periode yang sama). Ini menunjukkan adanya ketidakefektifan dari kebijakan pemerintahan Utsmani pada waktu itu. (Stanford J. Shaw, The Jewsof the Ottoman Empire and the Turkish Republic, hlm. 215-216).
Kebijakan Sultan Abdul Hamid II terhadap gerakan Zionis tidak berjalan efektif, sebab pemerintahannya telah dilumpuhkan dari dalam. Apalagi, setelah 1908, kekuasaan di Turki praktis berada di tangan Committe and Union Progress (CUP), organisasi yang dibentuk oleh Gerakan Turki Muda (Young Turk Movement). CUP memiliki hubungan dekat dengan para aktivis Zionis, dan tidak terlalu peduli dengan gerakan pemberontakan dan separatisme yang dilakukan Zionis. Kebijakan Sultan sudah terlambat, dan akhirnya Sultan Abdul Hamid II sendiri yang tersingkir.
Kiprah gerakan Zionis Yahudi di Turki Utsmani dapat dikatakan sebagai suatu bentuk "smart rebellion", yang berbeda dengan gerakan-gerkan separatis minoritas lainnya, seperti Armenia. Smart rebellion tidak mengandalkan pada kekuatan senjata dan fisik, tetapi lebih mengandalkan gerakan bawah tanah (clandestine). Mereka menyelubungi gerakan Zionis dengan aktivitas berbentuk sosial, ekonomi, kebudayaan, dan pendidikan.
Tahun 1899, dua tahun setelah Kongres Zionis pertama, beberapa Yahudi di Salonika mendirikan satu asosiasi yang dikenal dengan nama Kadimah. Anggotanya adlaah para intelektual, wartawan, pedagang, dan sebagainya. Tujuannya, menghidupkan dan menyebarkan pelajaran bahasa Ibrani (Hebrew), memperkuat kepercayaan agama dengan memajukan studi Yahudi. Aktivitas mereka beragam, seperti peminjaman buku, pengajaran, diskusi, kursus-kursus bahasa Ibrani, sejarah Yahudi, dan studi Ibrani secara umum. Kadimah bukan hanya merupakan satu perkumpulan agama. Kelompok ini bahkan tidak disukai oleh Kepala Rabbi Salonika, sebab anggota-anggotanya tidak tampak melakukan aktivitas keagamaan sebagaimana layaknya. Karena itu, Esther Benbassa menyebut Kadimah sebagai gerakan bawah tanah kelompok Zionis. (Esther Benbassa, Associational Strategies in Ottoman Jewish Society in the Nineteenth and Twentieth Centuries, inAvigdor Levy (ed.), The Jews of the Ottoman Empire [Princeton: The Darwin Press, 1994], hlm. 462-463).
Menyusul Revolusi 1908, CUP mendukung elemen-elemen nasionalis Turki. Sampai pada tahap ini Yahudi menempati posisi penting dalam gerakan Turki Muda atau CUP. Di antara semua kelompok minoritas Turki Utsmani, hanya Yahudi yang menempatkan tokoh-tokohnya pada jajaran pimpinan CUP, seperti Emmanuel Carasso (Karasu) dan Moise Cohen Tekinalp. Semua wakil Yahudi di parlemen pada tahun 1908-1918 adalah anggota CUP.
CUP adalah penguasa Turki yang sebenarnya setelah Revolusi 1908. Dasar-dasar pendirian gerakan Zionis di Turki Utsmani mengambil saat-saat ini. Gerakan ini dimulai dengan pendirian cabang dari World Zionist Organization di Istambul tahun 1908, di bawah selubung institusi perbankan, The Anglo Levantine Banking Company.
Jika diceramati, strategi dan taktik gerakan Zionis tampak cerdik. Walaupun menempati posisi-posisi penting di CUP dan parlemen Utsmani, mereka sama sekali tidak mengajukan usulan untuk memisahkan diri dari Utsmani, sebagaimana gerakan minoritas lainnya. Mereka menyokong apa yang dipromosikan oleh CUP, yaitu Turkish nationalism. Ketika CUP mempromosikan bahasa Turki kepada masyarakat, gerakan Zionis juga membuat asosiasi-asosiasi yang mengajarkan bahasa Turki, sebagai taktik mereka. Tetapi, pada saat yang sama, mereka juga mengadakan pengajaran bahasa Ibrani. Contoh lain dari cerdiknya gerakan Zionis dapat dilihat pada sejumlah perdebatan yang terjadi di parlemen Utsmani selama tahun 1911. Ismail Hakki, seorang tokoh oposisi, menyatakan, bahwa tujuan Zionis adalah untuk mendirikan negara Yahudi, yang wilayahnya membentang dari Palestina ke Mesopotamia (Irak). Nissim Masliyah, seorang Yahudi pengacara dan anggota parlemen, menjawab bahwa ide mendirikan negara Yahudi adalah ilusi. Emmanuel Carasso, Yahudi anggota parlemen lainnya, juga memainkan peranan yang sangat cerdik, sebagai orang yang anti-Zionis.
Sebenarnya, ketika kecurigaan terhadap gerakan Zionis mulai menguat di sebagian kalangan, posisi Zionis sudah sangat kuat di kalangan elit Utsmani. Sebab, mereka telah menjalin hubungan erat dengan kelompok Turki Muda atau CUP. Gerakan Turki Muda menerima dukungan dari The Donmes of Salonica, yang dalam pemahaman banyak Muslim ketika itu, memang identing dengan nama Yahudi. Sejumlah Yahudi yang aktif dalam organisasi ini adlaah Avram Galante dan Emmanuel Carasso. Carasso adalah ketua sebuah loji Freemason di Salonika, dan ia mengizinkan lojinya dipakai pertemuan-pertemuan gerakan Turki Muda. Kedekatan hubungan Gerakan Turki Muda dan Yahudi bisa ditelusuri sejak awal berdirinya CUP tahun 1889, yang ketika itu juga merupakan suatu "masyarakat rahasia". CUP menjadi penguasa penting di Turki Utsmani pada periode 1908-1918. Tiga presiden pertama Turki adalah anggota CUP. Hanioglu menyebut bahwa CUP merupakan sebuah organisasi bawah tanah sejak pembentukan inti pertamanya pada tahun 1889 sampai revolusi tahun 1908. (M. Sukru Hanioglu, The Young Turks in Opposition [New York: Oxford University Press, 1995], hlm. 3).
Hanioglu juga menyebutkan bahwa tanpa diragukan, Freemason adalah salah satu gerakan oposisi yang aktif melawan pemerintahan Utsmani dalam periode 1876-1908. Kaum Freemason memiliki hubungan sangat dekat dengan Gerakan Turki Muda. Dampak dari aktivitas kaum Freemason dan gerakan-gerakan liberal lainnya adalah perusakan terhadap pemerintahan Utsmani pimpinan Sultan. Karena itu, tidak mengherankan jiga gerakan-gerakan seperti ini mendapat dukungan dari kekuatan Kristen Eropa, yang sejak lama memandang Turki Utsmani sebagai ancaman terhadap mereka. Seorang penulis Turki, Enver Ziya Karal, mencatat tentang Sultan Abdul Hamid II, "Inti segala masalah bagi Sultan adalah Islam, yang merupakan satu-satunya ikatan kuat yang menyambung umat Islam satu sama lain di dalam kekuasaan Utsmani." Sultan Abdul Hamid II memandang, kebebasan yang digalakkan oleh Turki Muda adalah suatu senjata penghancur bagi Turki Utsmani. Ia menuturkan dalam kata-katanya, "Memberikan kebebasan sama halnya memberikan senjata kepada seseorang yang tidak tahu bagaimana menggunakannya. Dengan senjata tersebut, orang itu bisa saja membunuh ayahnya, ibunya, bahkan dirinya sendiri." (Mehmed Maksudoglu, Osmanli History, hlm. 234).
Sementara itu, bagi para pemimpin CUP, Barat adalah segala-galanya. Dalam kata-kata Abdullah Cevdet, seorang pendiri CUP: "Hanya ada satu peradaban, dan itu adalah peradaban Eropa. Karenanya, kita harus meminjam dari peradaban Barat, baik mawarnya maupun durinya." Abdullah Cevdet juda dikenal sebagai simpatisan Judaisme dan gerakan Zionis. (Ilber Ortayli, Ottomanism and Zionism During the Second Constituional Period, in Avigdor Levy (ed.), The Jews, hlm. 534).
Idiologi penting dari kelompok Turki Muda adalah positivism, materialism, dan nationalism. Fokus dari nasionalisme Turki Muda berbasis pada nasionalisme berbasis ras. Hal ini muncul tidak lama setelah kemenangan Jepang melawan Rusia tahun 1904. Agenda nasionalisme turki ini jelas: sebuah pemerintahan yang kuat, peran dominan yang dimainkan elit intelektual, anti-imperialisme, sebuah masyarakat yang Islam tidak memerankan apa-apa, dan sebuah nasionalisme Turki yang akan bersemi kemudian. Dengan mencermati secara serius Weltan-schaung Turki Muda antara 1889-1902, Hanioglu sampai pada kesimpulan bahwa idiologi negara Turki modern memang dibangun di atas dasar "materialis-positivis dan nasionalisme".
Dengan idiologi seperti itu, dan cara pandang yang ter-Barat-kan (westernized), tentu tidak mengherankan jika Turki Muda memiliki hubungan khusus dengan gerakan Freemasonry atau Zionis. Itu bisa dilihat dalam cara pandang aktivis Turki Muda terhadap Zionisme. Selama periode1902-1908, gerakan Zionis menjadi topik pada jurnal-jurnal Turki Muda. Pertama, pada Agustus 1902, di jurnal Anadolu, terbit di Kairo. Tulisan ini memberikan pandangan yang netral tentang sejarah gerakan Zionis, organisasi, dan tujuannya. Kedua, tulisan tentang Zionisme--terjemahan dari koran Prancis--muncul pada bulan Januari tahun 1904 di jurnal Turk, yang juga terbit di Kairo. Ketiga, artikel yang ditulis Max Nordau, muncul di jurnal Ictihad yang berbasis di Jenewa.
Publikasi terhadap Zionisme dalam posisi netral ini sangatlah mengherankan, mengingat tujuan Zionisme adalah merebut wilayah Palestina dari Turki Utsmani. Fakta itu menunjukkan bahwa gerakan Turki Muda memang telah terinfiltrasi atau terpengaruh oleh ide-ide gerakan Zionis. Mereka tidak memandang pemisahan Palestina dari Turki Utsmani sebagai ancaman terhadap kedaulatan negara mereka. Padahal, Zionisme adalah bentuk nyata dari pemberontakan dan separatisme. Ini bisa dikatakan sebagai bentuk ketidakpedulian atau mungkin satu "konspirasi" antara Turki Muda dengan gerakan Zionis. Misalnya, bisa dilihat pada pidato Kemal Attaturk terhadap Yahudi Turki pada 2 Februari 1923: "Ada sebagian orang kita yang beriman yang nasibnya telah menyatu dengan bangsa Turki yang menguasai mereka, khususnya kaum Yahudi, yang karena kesetiannya pada bangsa ini dan tanah air ini telah teruji, menjalani hidup mereka dalam kenyamanan dan kesejahteraan hingga sekarang, dan akan menjalani kehidupan berikutnya juga dalam kenyamanan dan kebahagiaan."
Pidato Kemal itu menunjukkan adanya semacam kolaborasi antara gerakan Zionis dengan musuh-musuh Utsmani dalam memisahkan Palestina dari Utsmani. Adalah sangat mengherankan, sebagai tokoh nasionalis, Kemal bersikap longgar terhadap pemisahan wilayah Palestina. Di sini tampak tidak ada pertimbangan agama dalam sikap pelepasan Palestina. Pada sisi lain, sikap Turki yang melepaskan Palestina bisa juga dilihat dari kondisi politik riil ketika itu. Kekalahan Utsmani pada Perang Dunia I telah memaksanya untuk melepaskan wilayah-wilayah yang didudukinya. Pada bulan Desember 1917, Jerusalem ditaklukan oleh pasukan Sekutu di bawah pimpinan Lord Allenby. Bersama pasukan ini, masuk juga tiga legium Yahudi yang beranggotakan ribuan sukarelawan Yahudi. Zionis mencatat bahwa penaklukan Jerusalem oleh tentara Sekutu telah mengakhiri 400 tahun pemerintahan Utsmani di Palestina. (Ellen Hirsch, The Facts about Israel [Jerusalem: Israeli Information Center, 1996], hlm. 23).
Merebut Kembali Palestina?
Fenomena gerakan Zionis di Turki ini menunjukkan kekuatan imperium yang telah bertahan selama 600 tahun ini bisa digulung--utamanya dari dalam--oleh kelompok Turki Muda yang berkolaborasi dengan kekuatan Zionis dan Barat. Turki Muda yang berpikiran sekular-liberal dan berorientasi Barat mengusung idiologi liberalisme, bersekutu dengan gerakan Freemasonry, yang juga mengusung jargon liberty, egality, fraternity. Kelemahan internal Turki Utsmani juga menjadi faktor kondusif merebaknya gagasan westernisasi di Turki Utsmani. Sejarah kemudian menyaksikan nasib tragis sebuah kekuatan besar runtuh dan takluk terhadap kemauan Barat dan Zionis Yahudi.
Fenomena yang terus berkecamuk di Palestina belakangan ini perlu dilihat dalam kerangka sejarah yang panjang perjalanan Yahudi, Kristen, Zionisme, dan kepentingan imperialis Barat. Pemetaan masalah ini dengan tepat--baik berdasarkan nash-nash Al-Qur'an dan hadits, maupun fakta-fakta sejarah--akan memungkinkan kaum Muslim mengambil sikap dan tindakan yang tepat. Wajibkah kaum Muslim merebut kembali semua wilayah Palestina yang diduduki Israel saat ini? Ini masalah besar yang perlu dipecahkan bersama oleh kaum Muslim, agar segera diambil tindakan-tindakan jangka panjang ang istiqamah.
Sumber: Diringkas dari Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, Adian Husaini (Jakarta: Gema Insani, 2005), hlm. 58-78

Kamis, 22 Januari 2009

AL-QUR’AN


Definisi Al Qur’an

Al qur’an dalam bahasa berasal dari kata Qoro’a yang mempunyai arti menghimpun atau mengumpulkan ( Qoro’as syai’a)dan Qiro’ah berarti menghimpun huruf –huruf dan kata-kata satu dengan yang lain dalam satu ucapan yang tersusun rapih.1
Menurut Prof. DR. Quraisy Syihab definisi Al Qur’an secara harfiah berarti “ bacaan yang sempurna ”2
Qur’an pada mulanya seperti qiro’ah yaitu masdar ( infinitive ) dari kata Qoro’a, Yaqro’u, Qiro’atan, wa Qur’aanan.
Allah SWT berfirman :

“ Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Maka apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. ” ( Q.S Al Qiyamah : 17-18 )

Lafadz Qoro’nahu didalam ayat ini berarti Qiroo’atahu atau Bacaannya. Kata Qur’an sendiri adalah menurut wazan (tashrif, konjugasi) “fu’lan”, seperti Gufron atau Syukron.Sebagian ulama menyebutkan bahwa penamaan kitab ini dengan nama Al Qur’an diantara kitab-kitab Allah SWT yang lain karena kitab ini mencakup inti dari kitab-kitab sebelumnya bahkan mencakup inti semua ilmu.
Allah SWT berfirman :

” (Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami, bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri, dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”
(Q.S. An Nahl : 89)

Adapun secara terminologi atau secara istilah, para ulama menyebutkan bahwa Al Qur’an adalah : Kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang pembacaannya merupakan ibadah. Safi’ Hasan Abu Thalib, menyebutkan :

االقران هو الكتاب منزل بالفاظه العربية ومعانيه من عند الله تعالى عن طريق الوحي الى النبي محمد عليه الصلاة والسلام و هو اسا والسلام الشريعة واصلها الاول

Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan dengan lafal Bahasa Arab dan maknanya dari Allah SWT melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, Ia merupakan dasar dan sumber utama bagi syariat.3

Dalam hubungan ini Allah sendiri menegaskan dalam firman-Nya :

انا انزلنه قرانا عربيا لعلكم تعقلون

Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. (QS. Yusuf : 2)

Sedangkan menurut Zakaria al-Birri, yang dimaksud al-Qur’an adalah :

االكتاب و يسمى القران هو كلام الله تعالى المنزل على رسوله محمد صلى الله عليه و سلم باللفظ العربية و المنقول بالتواتر و المكتوب فى المصاحف

. Al-Kitab yang disebut al-Qur’an dalah kalam Allah SWT, yang diturunkan kepada Rasul-Nya Muhammad SAW dengan lafal Bahasa Arab dinukil secara mutawatir dan tertulis pada lembaran-lembaran mushaf 4

Sementara Al-Ghazali dalam kitabnya al-Mustasfa menjelaskan bahwa yang dimaksud al-Quran adalah:

القران و هو قول الله تعالى

Al-Qur’an yaitu merupakan firman Allah SWT.5

Dari ketiga definisi di atas, pada dasarnya mengacu pada maksud yang sama. Definisi pertama dan kedua sama-sama menyebutkan bahwa al-Qur’an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan bahasa Arab. Adapun bedanya definisi kedua lebih menegaskan bahwa al-Qur’an dinukil secara mutawatir. Adapun definisi ketiga, yang dikemukakan oleh Al-Ghazali ternyata hanya menyebutkan bahwa al-Qur’an merupakan firman Allah SWT, akan tetapi , Al-Ghazali dalam uraian selanjutnya menyebutkan bahwa al-Qur’an bukanlah perkataan Rasulullah, beliau hanya berfungsi sebagai orang yang menyampaikan apa yang diterima dari Allah SWT.6

بل هو مخبر عن الله تعالى انه حكم بكذا و كذا

Nabi hanya berfungsi pembawa atau penyampai apa-apa yang diterima dari Allah, bahwa Allah menetapkan hukum-hukum.

Untuk lebih memperjelas definisi al-Qur’an ini penulis juga menukilkan pula pendapat Dawud al-Attar. Di mana beliau menyebutkan bahwa, Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara lafaz (lisan), makna serta gaya bahasa (uslub)-nya, yang termaktub dalam mushaf yang dinukil secara mutawatir.7
Definisi di atas mengandung beberapa kekhususan sebagai berikut :

Al-Qur’an sebagai wahyu Allah, yaitu seluruh ayat Al-Qur’an adalah wahyu Allah; tidak ada satu kata pun yang datang dari perkataan atau pikiran Nabi.
Al-Qur’an diturunkan dalam bentuk lisan dengan makna dan gaya bahasanya. Artinya isi maupun redaksi Al-Quran datang dari Allah sendiri.
Al-Qur’an terhimpun dalam mushaf, artinya Al-Qur’an tidak mencakup wahyu Allah kepada Nabi Muhammad dalam bentuk hukum-hukum yang kemudian disampaikan dalam bahasa Nabi sendiri.
Al-Qur’an dinukil secara mutawatir, artinya Al-Qur’an disampaikan kepada orang lain secara terus-menerus oleh sekelompok orang yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta karena banyaknya jumlah orang dan berbeda-bedanya tempat tinggal mereka.

Sebetulnya masih terdapat sejumlah definisi lain yang dirumuskan oleh para Ulama, tetapi kelihatannya mengandung maksud yang sama meskipun secara redaksional berbeda.Dalam kaitannya dengan sumber dalil, al-Qur’an oleh ulama ushul sering disebut dengan al-Kitab. Umumnya di dalam kitab-kitab ushul, para ulama ushul dalam sistematika dalil yang mereka susun menyebut al-Quran dengan al-Kitab.8
Hal ini tentu saja bisa dipahami, sebab di dalam al-Qur’an sendiri sering disebut al-Kitab yang dimaksud adalah al-Qur’an. Seperti firman Allah :

ذلك الكتاب لا ريب فيه هدى للمتقين

Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah : 1 ).

Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi SAW dengan menggunakan bahasa Arab, yang penukilannya disampaikan secara mutawatir, dari generasi ke generasi, hingga sampai sekarang ini, Penukilan al-Qur’an dilakukan oleh para sahabat dengan menghafalnya dan menyampaikan ke generasi setelah mereka melalui sanad yang mutawatir. Dengan demikian otentisitas dan keabsahan al-Qur’an dan terpelihara sepanjang masa serta tidak akan pernah berubah. Hal ini dibenarkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya :

انا نحن نزلنا الذكرى و انا له لحافظون

Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS. Al-Hijr : 9)

Sedangkan menurut Abu Zakarya Al Ansori dalam kitabnya disebutkan bahwa Al Qur’an adalah : Lafadz-lafadz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang bersifat Mu’jiz (melemahkan orang-orang yang ingkar) denagn surat-surat yang ada didalamnya yang membacanya merupakan suatu ibadah.9
Al Qur’an memang sukar diberi batasan dengan definisi logika yang mengelompokkan segala jenis, bagian atau ketentuan-ketentuan yang khusus. Untuk itu biasa kita katakan : Al Qur’an adalah yang ada diantara dua jilid buku atau dikatakan juga adalah Bismillahirrohmanirrohim, Alhamdulillahirobbil’alamin…….. sampai dengan minal jinnati wan naas.

Nama-nama Al Qur’an dan Dalilnya

Beberapa nama Al Qur’an yang telah Allah SWT berikan kepada Kitab Al Qur’an untuk menunjukkan bahwa kedudukan Al Qur’an itu benar-benar agung. Maka Allah SWT memberikan nama kepada Al Qur’an tidak hanya satu. Namun sampai 55 nama.Adapun nama-nama tersebut adalah :

Al Qur’an ( Al-Waqiah,77 )
Al Kitab ( Ad-Dukhon,2 )
Al Mubin ( Ad-Dukhon,2 )
Al Furqon ( Al-Furqon,1 )

Al Kalam,(At-Taubah 6)
Al Huda (Luqman,3 )
As Syifa’ (Al-Isra’,82 )
Al Amru (At-Tholaq,5 )
Al Maui’dzoh ( Yunus,57 )
Al Karim ( Al-Waqiah,77 )
Az Zikr ( Al-Hijr,9 )

An Nur ( An-Nisa,174 )
Al Mubarok (Al-Anbiya,50 )
Al ‘Aly ( Az-Zukhruf,4 )
Al Hikmah ( Al-Qomar,5 )

As Sirotol Mustaqim ( Ali ‘lmron,51 )

Ar Rohmah (Luqman,3 )
Al Haq ( Ali ‘Imron,62 )
Az Zabur ( Al-Anbiya,105 )
Al Qoyim ( Al-Kahfi 2 )
Al Hakim ( Yunus, 1 )
As Sidq ( Az-Zumar,32 )
Al Matsani ( Az-Zumar,23 )
An Naba’ ( An-Naba,2 )

Al ‘Adzim ( An-Naba,2 )
Al ‘Ilmu, ( Al-baqoroh,145 )
Al Bashoir ( Al-Jatsiyah,20 )
Al Habl ( Ali ‘Imron,103 )
Al Mutasyabih (Az-Zumar,23 )
Al Majid ( Al-Buruj,21 )
Al ‘Adl ( Al-An’am,115 )
Ahsanul Hadits ( Az-Zumar,23 )
Al Bayan ( Ali ‘Imron.138 )
Arobiy ( Yusuf,2 )
Al ‘Ajab ( Al-Jin,1 )
At Tibyan ( An-Nahl,89 )
At Tadzkiroh ( Al-Haaqoh,48 )
At Tanzil ( As-Syu’aro,192 )
Al Munadi (Ali ‘Imron,193 )
Al Wahyu ( Al-Anbiya,,45 )
Al Balagh ( Ibrahim,52 )
Al Qoul ( At-Tholaq,13 )
Al Hadi ( Al-Isra’ 9 )
‘Urwatul Wutsqo ( Al-Baqarah,256 )
Al Basyir ( Al-Baqarah,119 )
Al Busyro ( An-Naml,2 )
Al ‘Aziz ( Fus-Shilat/ Haa min Sajdah, 41 )
Al Qoshosh ( Yusuf,3 )
An Nadzir ( Al-Baqarah,119 )
Ar Ruuh ( As-Syura,51 )
As Suhuf ( ‘Abasa,13 )

Al Mukarromah ( ‘Abasa,13 )
Al. Fasl ( At-Tholaq,13 )
Al Marfu’ah ( ‘Abasa,14 )
Al Mutohharoh ( ‘Abasa.14 ) 10

Kandungan Al Qur’an
Al-Quran adalah kitab suci agama islam untuk seluruh umat muslim di seluruh dunia dari awal diturunkan hingga waktu penghabisan spesies manusia di dunia baik di bumi maupun di luar angkasa akibat kiamat besar.Di dalam surat-surat dan ayat-ayat alquran terkandung kandungan yang secara garis besar dapat kita bagi menjadi beberapa hal pokok atau hal utama beserta pengertian atau arti definisi dari masing-masing kandungan inti sarinya, yaitu sebagaimana berikut ini :
1.Aqidah/AkidahAqidah adalah ilmu yang mengajarkan manusia mengenai kepercayaan, yang pasti wajib dimiliki oleh setiap orang di dunia. Alquran mengajarkan akidah tauhid kepada kita yaitu menanamkan keyakinan terhadap Allah SWT yang satu yang tidak pernah tidur dan tidak beranak-pinak. Percaya kepada Allah SWT adalah salah satu butir rukun iman yang pertama. Orang yang tidak percaya terhadap rukun iman disebut sebagai orang-orang kafir.
2.IbadahIbadah adalah taat, tunduk, ikut atau nurut dari segi bahasa. Dari pengertian "fuqaha" ibadah adalah segala bentuk ketaatan yang dijalankan atau dkerjakan untuk mendapatkan ridho dari Allah SWT. Bentuk ibadah dasar dalam ajaran agama islam yakni seperti yang tercantum dalam lima butir rukum islam. Mengucapkan dua kalimah syahadat, shalat lima waktu, membayar zakat, puasa di bulan suci Ramadhan dan beribadah pergi haji bagi yang telah mampu menjalankannya.
3.Akhlaq/AkhlakAkhlak adalah perilaku yang dimiliki oleh manusia, baik akhlak yang terpuji atau akhlakul karimah maupun yang tercela atau akhlakul madzmumah. Allah SWT mengutus Nabi Muhammd SAW tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memperbaiki akhlaq. Setiap manusia harus mengikuti apa yang diperintahkanNya dan menjauhi laranganNya.

4.Hukum-HukumHukum yang ada di Al-quran adalah memberi suruhan atau perintah kepada orang yang beriman untuk mengadili dan memberikan penjatuhan hukuman, hukum pada sesama manusia yang terbukti bersalah. Hukum dalam islam berdasarkan Alqur'an ada beberapa jenis atau macam seperti jinayat, mu'amalat, munakahat, faraidh dan jihad.
5.Peringatan/TadzkirTadzkir atau peringatan adalah sesuatu yang memberi peringatan kepada manusia akan ancaman Allah SWT berupa siksa neraka atau waa'id. Tadzkir juga bisa berupa kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepadaNya dengan balasan berupa nikmat surga jannah atau waa'ad. Di samping itu ada pula gambaran yang menyenangkan di dalam Al-Quran atau disebut juga targhib dan kebalikannya gambaran yang menakutkan dengan istilah lainnya tarhib.
6.Sejarah-Sejarah/Kisah-KisahSejarah atau kisah adalah cerita mengenai orang-orang yang terdahulu baik yang mendapatkan kejayaan akibat taat kepada Allah SWT serta ada juga yang mengalami kebinasaan akibat tidak taat atau ingkar terhadap Allah SWT. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari sebaiknya kita mengambil pelajaran yang baik-baik dari sejarah masa lalu atau dengan istilah lain ikibar.
7.Dorongan untuk BerfikirDi dalam al-qur'an banyak ayat-ayat yang mengulas suatu bahasan yang memerlukan pemikiran manusia untuk mendapatkan manfaat dan juga membuktikan kebenarannya, terutama mengenai alam semesta.11
Fungsi dan Kedudukan Al-Qur’an

a. Fungsi Al-Qur’an

1. Pengganti kedudukan kitab suci sebelumnya yang pernah diturunkan Allah SWT
2. Tuntunan serta hukum untuk menempuh kehidupan
3. Menjelaskan masalah-masalah yang pernah diperselisihkan oleh umat terdahulu
4. Sebagai Obat


Dan Kami turunkan dari Alquran suatu yang menjadi obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, dan (Alquran itu) tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian”. (Al-Isra' (17): 82).



5. Petunjuk pada jalan yang lurus
"Sesungguhnya Al Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar,"(Al-Isra’(17):9)

b. Kedudukan Al Qur’an

1. Kitabul Naba wal akhbar (Berita dan Kabar)
”Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya?.Tentang berita yang besar”
QS. An Naba’ (7 : 1-2)
2. Kitabul Hukmi wa syariat (Kitab Hukum Syariah), QS. Al Maidah (5) : 49-50
3. Kitabul Jihad
”Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” QS. Al Ankabut (29) : 69

4. Kitabul Tarbiyah, QS. Ali Imran (3) : 79
”Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” QS. Ali Imran (3) : 79

5. Kitabul Ilmi, QS. Al Alaq (96) : 1-5
6. Minhajul Hayah (Pedoman Hidup),

Konsepsi inilah yang pada akhirnya dapat mengeluarkan umat manusia dari kejahiliyahan menuju cahaya Islam. Dari kondisi tidak bermoral menjadi memiliki moral yang sangat mulia. Dan sejarah telah membuktikan hal ini terjadi pada sahabat Rasulullah SAW. Sayid Qutub mengemukakan (1993 : 14) :
“Bahwa sebuah generasi telah terlahir dari da’wah yaitu generasi sahabat yang memiliki keistimewaan tersendiri dalam sejarah umat Islam, bahkan dalam sejarah umat manusia secara keseluruhan. Generasi seperti ini tidak muncul kedua kalinya ke atas dunia ini sebagaimana mereka.Meskipun tidak disangkal adanya beberapa individu yang dapat menyamai mereka, namun tidak sama sekali sejumlah besar sebagaimana sahabat dalam satu kurun waktu tertentu, sebagaiamana yang terjadi pada periode awal dari kehidupan da’wah ini…”
Cukuplah kesaksian Rasulullah SAW menjadi bukti kemulyaan mereka, manakala beliau mengatakan dalam sebuah haditsnya:

عن عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
خَيْرُكُمْ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

“Dari Imran bin Hushain ra, Rasulullah SAW bersabda: ‘Sebaik-baik kalian adalah generasi yang ada pada masaku (para sahabat) , kemudian generasi yang berikutnya (tabi’in), kemudian generasi yang berikutnya lagi (atba’ut tabiin). (HR. Bukhari)”
Imam Nawawi secara jelas mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan ‘generasi pada masaku’ adalah sahabat Rasulullah SAW. Dalam hadits lain, Rasulullah SAW juga mengemukakan mengenai keutamaan sahabat:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ
أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيفَهُ ( رواه البخاري)

’’Dari Abu Sa’id al-Khudri ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘Janganlah kalian mencela sahabat-sahabatku.Karena sekiranya salah seorang diantara kalian menginfakkan emas sebesar gunung uhud, niscaya ia tidak akan dapat menyamai keimanan mereka, bahkan menyamai setengahnya pun tidak’’. (HR. Bukhari).

Sayid Qutub mengemukakan (1993 : 14 – 23) , terdapat tiga hal yang melatar belakangi para sahabat sehingga mereka dapat menjadi khairul qurun, yang tiada duanya di dunia ini. Secara ringkasnya adalah sebagai berikut: pertama, karena mereka menjadikan Al-Qur'an sebagai satu-satunya sumber petunjuk jalan, guna menjadi pegangan hidup mereka, dan mereka membuang jauh-jauh berbagai sumber lainnya. Kedua, ketika mereka membacanya, mereka tidak memiliki tujuan untuk tsaqofah, pengetahuan, menikmati keindahannya dan lain sebainya. Namun mereka membacanya hanya untuk mengimplementaikan apa yang diinginkan oleh Allah dalam kehidupan mereka. Ketiga, mereka membuang jauh-jauh segala hal yang berhubungan dengan masa lalu ketika jahiliah. Mereka memandang bahwa Islam merupakan titik tolak perubahan, yang sama sekali terpisah dengan masa lalu, baik yang bersifat pemikiran maupun budaya.
Dengan ketiga hal inilah, generasi sahabat muncul sebagai generasi terindah yang pernah terlahir ke dunia ini. Di sebabkan karena ‘ketotalitasan’ mereka ketika berinteraksi dengan Al-Qur’an, yang dilandasi sebuah keyakinan yang sangat mengakar dalam lubuk sanubari mereka yang teramat dalam, bahwa hanya Al-Qur’an lah satu-satunya pedoman hidup yang mampu mengantarkan manusia pada kebahagiaan hakiki baik di dunia maupun di akhirat.
KESIMPULAN



Dari penjelasan makalah di atas kami dapat memberi kesimpulan yang berkaitan tentang Al-Qur’an. definisi-definisi Al-Qur’an sangat banyak sekali yang sangat beragam di kalangan para ulama,pada dasarnya semua itu mengacu pada maksud dan makna yang sama. Definisi pertama menyebutkan bahwa al-Qur’an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan bahasa Arab. Adapun bedanya definisi kedua lebih menegaskan bahwa al-Qur’an dinukil secara mutawatir. Adapun definisi ketiga, seperti yang dikemukakan oleh Al-Ghazali ternyata hanya menyebutkan bahwa al-Qur’an merupakan firman Allah SWT, dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi SAW dengan menggunakan bahasa Arab, yang penukilannya disampaikan secara mutawatir, dari generasi ke generasi, hingga sampai sekarang ini, Penukilan al-Qur’an dilakukan oleh para sahabat dengan menghafalnya dan menyampaikan ke generasi setelah mereka melalui sanad yang mutawatir. Dengan demikian otentisitas dan keabsahan al-Qur’an dan terpelihara sepanjang masa serta tidak akan pernah berubah.

Kedudukan Al Qur’an itu benar-benar agung. Maka Allah SWT memberikan nama kepada Al Qur’an tidak hanya satu. Namun sampai 55 nama. isi kandungan Al-Qur’an sangat banyak sekali untuk dijadikan sebagai pedoman hidup manusia di muka bumi ini,di antara kandungan Al-Quran sebagai berikut:

1. Sebagai Akidah
2. Ibadah
3. Akhlak
4. Hukum-Hukum
5. Peringatan/Tadzkir
6. Sejarah-sejarah
7. Sebagai dorongan untuk berfikir
Fungsi dan kedudukan Al-Qur’an sebagai pengganti kitab-kitab sebelumnya, petunjuk jalan yang lurus,

"Sesungguhnya Al Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar,"(Al-Isra’(17):9)

Demikian makalah yang dapat kami buat yang diambil dari berbagai macam sumber, mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kami dan para pembaca makalah ini, kami sangan mengharapkan kritik dan sarannya dari para pembaca makalah ini
DAFTAR PUSTAKA

Munawwir, Kamus Al Munawwir, ( Yogyakarta: bab Qof
Quraisy Syihab, Wawasan al-Quran hal.6
Safi Hasan Abu Talib, Tatbiq al-Syari’ah al-Islamiyah fi al-Bilad al-Arabiyah,( Kairo: Dar al-Nahdah al-Arabiyah), Cet. III, 1990, hal. 54.
Zakaria al-Birri, Masadir al-Ahkam al-Islamiyah, (Kairo: Dar al-Ittihad al-Arabi Littiba’ah), 1975, hal. 16.
Al-Ghazali, Al-Mustasfa Min ‘Ilmi al-Ushul,( Mesir: Maktabah al-Jumdiyah), 1971, hal. 118.
Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum,( Jakarta : PT. Bulan Bintang), Cet. I, hal. 53.
Zakaria al-Birri, op.cit, hal. 16.
Abdullah Umar,Mustholahut Tajwid Fil Qur’anil Majid, ( hal.6
www.organisasi.org.

Sabtu, 17 Januari 2009

METODOLOGI STUDI AGAMA ISLAM

PENDAHULUAN

Sejarah Islam merupakan salah satu bidang studi Islam yang banyak menarik perhatian para peneliti baik dari kalangan sarjana Muslim maupun non Muslim, karena banyak manfaat yang dapat diperoleh dari penilitian tersebut. Bagi umat Islam, mempelajari sejarah Islam selain akan memberikan kebanggaan juga sekaligus peringatan agar hati-hati. Dengan mengetahui bahwa umat Islam dalam sejarah pernah mengalami kemajuan dalam segala bidang selama beratus-ratus tahun misalnya, akan memberi rasa bangga dan percaya diri menjadi orang Islam. Demikian pula dengan mengetahui bahwa umat Islam mengalami kemunduran, penjajahan dan keterbelakangan, akan menyadarkan umat Islam untuk memperbaiki keadaan dirinya dan tampil untuk berjuang mencapai kemajuan.
Dari keadaan itulah, banyak masalah-masalah sosial kemasyarakatan dan produk-produk hokum yang dipelajari di berbagai lembaga pendidikan, dengan tidak disertai oleh pengetahuan sejarah yang cukup. Dengan demikian, sering berbagai masalah social dan hukum serta pemikiran Islam lainnya dipahami lepas dari konteksnya, sehingga kemampuan untuk mengaitkannya dengan masalah-masalah yang muncul di masyarakat menjadi tidak terjangkau.
Menyadari berbagai persoalan diatas, maka diberbagai lembaga pendidikan Islam yang ada hingga sekarang, bidang studi sejarah Islam dipelajari. Untuk itu, pada bagian ini kami akan mencoba membahas mengenai pengertian sejarah, periodisasi sejarah Islam, beberapa peristiwa penting yang terjadi pada masing-masing periode sejarah Islam.












PEMBAHASAN
METODOLOGI STUDI AGAMA ISLAM
TINJAUAN SEJARAH ISLAM

A. Penegrtian Sejarah Islam
Kata sejarah dalam bahasa Arab disebut tarikh dan sirah, atau dalam bahasa Inggris disebut history. Dari segi bahasa, al-tarikh berarti ketentuan masa atau waktu, sedang ‘Ilmu Tarikh’ ilmu yang membahas peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian, masa atau tempat terjadinya peristiwa, dan sebab-sebab terjadinya peristiwa tersebut.
Sedangkan menurut pengertian istilah, al-tarikh berarti; ’’sejumlah keadaan dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau, dan benar-benar terjadi pada diri individu atau masyarakat, sebagaimana benar-benar terjadi pada kenyataan-kenyataan alam dan manusia’’.
Dalam bahasa Indonesia sejarah berarti: silsilah; asal-usul (keturunan); kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau. Sedangkan Ilmu Sejarah adalah ’’Pengetahuan atau uraian peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian yang benar-benar terjadi di masa lampau’’.
Dalam bahasa Inggris sejarah disebut history, yang berarti orderly description of past events (uraian secara berurutan tentang kejadian-kejadian masa lampau).
Menurut Ibnu Khaldun, sejarah tidak hanya dipahami sebagai suatu rekaman peristiwa masa lampau, tetapi juga penalaran kritias untuk menemukan kebenaran suatu peristiwa masa lampau. Dengan demikian unsur penting dalam sejarah adalah adanya objek peristiwa (who), adanya batas waktu (when), yaitu masa lampau, adanya pelaku (who), yaitu manusia, tempatnya (where), latar belakangnya (whay), dan daya kritis dari peneliti sejarah.
Dari pengertian demikian kita dapat mengatakan bahwa yang dimaksud sejarah Islam adalah peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang sungguh-sungguh terjadi yang seluruhnya berkaitan dengan agama Islam. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan sejarah Islam adalah berbagai peristiwa atau kejadian yang benar-benar terjadi, yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan agama Islam dalam berbagai aspek. Dalam kaitan ini maka muncullah istilah yang sering digunakan untuk sejarah Islam ini, diantaranya Sejarah Islam, Sejarah Peradaban Islam, Sejarah dan Kebudayaan Islam.
Dalam mempelajari dan mengkaji sejarah Islam (Muslim) yang terkandung dalam buku-buku sejarah, maka kita harus mengetahui terlebih dahulu:
a. Apa yang menjadi tujuan penulisan, apakah bentuk sejarah pragmatik ataukah berbentuk filsafat sejarah.
b. Siapa penulis sejarah itu, termasuk bagaimana kecenderungan sikap hidup atau ide poliik yang dianutnya, dan
c. Kapan dia menulis, karena dari situ dapat pula memberi pengaruh apa dan siapa yang telah membuat dia berinterprestasi begitu.

B. Periodisasi Sejarah Islam
Dikalangan ahli sejarah terdapat perbedaan tentang kapan dimulainya sejarah Islam yang telah berusia lebih dari empat belas abad ini. Di satu pihak menyatakan bahwa sejarah Islam (Muslim) dimulai sejak Nabi Muhammad SAW. diangkat sebagai Rasul, dan berada di Makkah atau tiga belas tahun sebelum hijrah ke Madinah. Di lain pihak menyatakan, bahwa sejarah Islam itu dimulai sejak lahirnya negara Madinah yang dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW. Atau tepatnya setelah Nabi Muhammad SAW. Berhijrah ke Madinah yang sebelumnya bernama Yatsrib.
Timbulnya perbedaan dari kedua belah pihak tersebut disebabkan karena perbedaan tinjauan tentang unit sejarah. Pihak pertama melihat bahwa unit sejarah adalah masyarakat. Masyarakat Muslim telah ada sejak Nabi Muhammad SAW. Menyampaikan seruannya. Malah jumlah mereka sedikit atau banyak tidak menjadi soal. Disamping itu, meskipun mereka belum berdaulat, tetapi sudah terikat dalam satu organisasi yang memiliki corak tersendiri. Sedangkan pihak kedua melihat bahwa niat sejarah itu adalah Negara, sehingga sejarah Islam muai dihitung sejak lahirnya Negara Madinah.
Perbedaan pendapat tersebut akan tercermin pada pembagian periodisasi sejarah (kebudayaan) Islam yang dikemukakan oleh para ahli, terutama dalam hal tahun permulaan sejarah Islam pada periode pertama atau biasa disebut periode klasik, dan bahkan ada yang menyebutkan sebagai periode praklasik guna mengisi babakan sejarah Islam yang belum disebutkan secara tegas dalam periode klasik tersebut.
Hasjimy menyatakan bahwa para ahli sejarah kebudayaan telah membagi sejarah kebudayaan Islam kepada sembilan (9) periode, sesuai dengan perubahan-perubahan politik, ekonomi, dan social dalam masyarakat Islam selama masa-masa itu. Kesembilan periode itu adalah, sebagai berikut:
1. Masa permulaan Islam, yang dimulai sejak lahirannya Islam pada tanggal 17 Ramadhan 12 tahun sebelum hijrah sampai tahun 41 Hijriyah, atau 6 Agustus 610 sampai 661 M;
2. Masa Daulah Umaiyah: dari tahun 41-132 H. ( 661-750 M );
3. Masa Daulah Abbsiyah Islam: dari tahun 132-232 H. ( 750-847 M );
4. Masa Daulah Abbasiyah II: dari tahun 232-334 H. ( 847-946 M );
5. Masa Daulah Abbasiyah III: dari tahun 334-467 H. ( 946-1075 M );
6. Masa Daulah Abbasiyah IV: dari tahun 467-656 H. ( 1075-1261 M );
7. Masa Daulah Mungoliyah: dari tahun 656-925 H. ( 1261-1520 M );
8. Masa Daulah Usmaniyah: dari tahun 925-1213 H. ( 1520-1801 M );
9. Masa Kebangkitan Baru: dari tahun 1213 H. (1801 M ) sampai awal abad 20.
Dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa periode sejarah kebudayaan Islam dimulai sejak Nabi Muhammad SAW. Diangkat menjadi Rasul, pada tahun 12/13 sebelum hijrah. Hal ini berarti mendukung pendapat pihak pertama sebagaimana uraian terdahulu.
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Nourouzzaman as-Shiddiqi yang menyatakan bahwa waktu sekarang ini para sejarawan cenderung mengambil masyarakat sebagai unit sejarah. Jika unit sejarah itu tertumpu pada Negara, maka hal itu mengandung kelemahan. Artinya, batas Negara tidak selalu tetap. Dia telah membagi perjalanan sejarah Islam ke dalam tiga bagian besar beserta cirri-ciri sebagai berikut:
1. Periode klasik, yang dimulai sejak Rasulallah SAW. Menyampaikan seruannya sampai masa runtuhnya Dinasti Abbasiyah pada tahun 656 H/1258 M. Cirinya ialah tanpa menutup mata terhadap adanya dinasti-dinasti kecil, Dinasti Umaiyah Barat yang berkedudukan di Andalusia dan Interengum (masa peralihan pemerintahan) Dinasti Fatimah di Mesir, masih ada satu kekuasaan politik yang kuat dan disegani. Dalam periode klasik inilah umat Islam mencapai prestasi-prestasi puncak di bidang kebudayaan.
2. Periode pertengahan yang dimulai sejak runtuhnya Dinasti Abbasiyah sampai abad ke-11 H/17 M. Ciri-cirinya ialah kekuasaan politik terpecah-pecah dan saling bermusuhan. Osmanli Turki, Mamluk Mesir, Umaiyah Barat di Andalusia, Mamluk India, dan berdirinya kerajaan-kerajaan Muslim yang berdaulat sendiri-sendiri.
3. Periode modern, yaitu sejak abad ke-12 H/18 M sampai sekarang. Dalam periode ini umat Islam sudah tidak memiliki kekuatan politik yang disegani. Dinasti Turki Osmanli yang pernah menggedor pintu Wina sudah mendapat julukan The Sick Man of Europa. Bukan saja Turki sudah tidak mampu memperluas wilayah dibagi-bagi antara Inggris, Perancis dan Rusia. Wilayah Turki Barat seperti sepotong kue yang menjadi rebutan antara kekuasaan-kekuasaan besar Barat. Bekas jajahan setiap Negara Barat inilah yang kemudian melahirkan Negara-negara baru setelah Perang Dunia I.

Pembagian periode sejarah Islam ke dalam tiga (3) periode tersebut memang merupakan pembagian secara garis besar. Bila dikaitkan dengan pendapat A. Hasjmy, maka periode pertama (periode klasik) dimulai sejak masa permulaan Islam sampai menjelang berakhirnya masa Daulah Abbasiyah IV (No. 1-6); periode kedua (periode pertengahan) adalah masa Daulah Mongoliyah dan masa Daulah Usmaniyah (No.7 dan 8); sedangkan Nomor 9 sebagai periode ketiga (periode modern).
Di lain pihak Harun Nasution juga telah membagi sejarah Islam secara garis besar ke dalam tiga (3) periode besar, yaitu periode klasik (650-1250 M); periode pertengahan (1250-1800 M); dan periode modern (1800-dan seterusnya). Periode klasik merupakan kemajuan Islam dan dibagi ke dalam dua fase, yaitu pertama: fase ekspansi, integrasi, dan puncak kemajuan (650-1000 M); dan kedua: fase disintegrasi, periode pertengahan juga dibagi ke dalam dua fase, yaitu pertama; fase kemunduran (1250-1500 M) dan fase ketiga kerajaan besar (1500-1800 M), yang dimulai dengan zaman kemajuan (1500-1700 M) dan zaman kemunduran (1700-1800 M), sedang periode modern merupakan zaman kebangkitan umat Islam.
Dari pendapat tersebut dapat dipahami periodisasi sejarah Islam dimulai pada tahun (650 M), yang berarti dia tidak memasukkan masa permulaan Islam (sejak Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul) sampai dengan tahun 650 M, sebagai periode Islam. Pada selama masa itu (610-650 M) Nabi Muhammad SAW dan umatnya (para sahabat) telah banyak berperan membawa perubahan-perubahan besar dikalangan masyarakat, yang seharusnya dimasukkan dalam suatu babakan (periodisasi) sejarah tersendiri.
Karena itu, untuk tidak mengurangi arti pendapat-pendapat sebelumnya dan juga pendapat dari Harun Nasution tersebut, maka ada baiknya periodisasi sejarah Islam secara garis besarnya dibagi ke dalam 4 (empat) periode besar, yaitu:
1. Periode praklasik (610-650 M), yang meliputi 3 (tiga) fase, yaitu: fase pembentukan agama (610-622 M), fase pembentukan Negara (622-632 M), dan fase praekspansi (632-650 M).
2. Periode klasik (650-1230 M), yang meliputi 2 (dua) fase, yaitu: fase ekspansi, integrasi dan puncak kemajuan (650-1000 M), dan fase disintegrasi (1000-1250 M).
3. Periode pertengahan (1250-1800 M), yang meliputi 2 (dua) fase, yaitu: fase kemunduran (1250-1500 M), dan fase tiga kerajaan besar (1500-1800 M), dan
4. Periode modern (1800-dan seterusnya), yang merupakan zaman kebangkitan Islam.
C. Beberapa Peristiwa Penting Yang Terjadi Pada Masing-masing
Periode Sejarah Islam
I. Periode Praklasik (610-650 M)
Periode ini dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) fase, yaitu:
1. Fase Pembentukan Agama (610-622 M)
Pada fase ini Nabi Muhammad SAW melakukan kegiatan pembentukan akidah dan pemantapannya serta pengalaman ibadah di kalangan umat Islam setelah Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama dan wahyu-wahyu berikutnya, kemudian Nabi Muhammad SAW memperkenalkan Islam kepada masyarakatnya di Makkah berdasarkan wahyu tersebut. Dakwah yang beliau lakukan melalui tiga tahapan, yaitu: pertama, memperkenalkan Islam secara rahasia, dalam arti terbatas pada keluarga terdekat dan teman-teman akrabnya, melalui pendekatan pribadi. Tahap ini dilakukan secara hati-hati sehingga tidak menimbulkan kejutan dikalangan masyarakat, namun hasilnya cukup memadai,terbukti beberapa keluarga dan teman terdekatnya berhasil masuk Islam. Kedua dilakukan dengan semi rahasia, dalam arti mengajak keluarganya yang lebih luas dibandingkan pada tahap pertama, terutama keluarga yang bergabung dalam rumpun Bani Abdul Mutholib (Baca QS. As-Syu’ara: 214), Ketiga dilakukan secara terbuka dan terang-terangan dihadapan masyarakat umum dan luas (Baca QS.al-Hijr: 94) pada tahap ini Nabi Muhammad SAW beserta pengikutnya menghadapi oposisi dari berbagai pihak, bahkan mendapatkan siksaan berat sebagiannya mengakibatkan kematian. Sungguhpun demikian, akidah mengikuti Nabi tetap kokoh dan tidak luntur dalam menghadapi oposisi tersebut. Berbagai upaya dilakukan antara lain pengungsian rahasia ke Abbesinia, tetapi justru menimbulkan pengejaran hebat, bahkan terjadi pemboikotan massa atas pengikut Nabi Muhammad SAW. A. Syalabi telah menjelaskan beberapa sebab timbulnya reaksi negatif terhadap dakwah beliau, yaitu:
1) Persaingan dalam berebut kekuasaan.
2) Persamaan hak antara kasta bangsawan dan kasta hamba sahaya.
3) Takut dibangkitkan setelah manusia mati,untuk mempertanggungjawabkan segala amalannya selama hidup di dunia.
4) Taklid kepada nenek moyang.
5) Memperniagaan patung (masalah ekonomi).
2. Fase Pembentukan Negara (622-632 M)
Sebelum Nabi Muhammad SAW hijrah ke Yatsrib (Madinah) didahului dengan usaha memengaruhi para peziarah Ka’bah di Makkah agar mereka masuk Islam. Di antara mereka banyak yang berasal dari kabilah Khazraj dan Aus (Yatsrib/Madinah). Ternyata sebagian mereka menyambut baik atas seruan dan ajakan Nabi Muhammad SAW tersebut, yang pada gilirannya menyatakan diri masuk Islam serta diikuti dengan perjanjian kesetiaan mereka kepada agama Islam dan Nabi Muhammad SAW yang terkenal dengan ’’Perjanjian Aqabah’’.Beberapa upaya dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW di Madinah, yaitu:
1) Mendirikan Masjid, sebagai tempat ibadah dan berkumpulnya umat Islam, secara gotong-royong;
2) Mempersaudarakan antara kaum Anshor dan Muhajirin;
3) Membuat perjanjian persahabatan (toleransi) antara intern umat Islam dan antara umat beragama; dan
4) Meletakkan dasar-dasar politik ekonomi dan sosial untuk masyarakat baru. Karena itu terbentuklah masyarakat yang disebut Negara kota dengan membuat konstitusi di dunia.

3. Fase Pra-Ekspansi (632-650 M)
Merupakan fase ekspansi pertama (pendahuluan), yang pada dasarnya dapat dibagi ke dalam 4 fase, yaitu:
Pertama: Fase konsolidasi. Abu Bakar sebagai kholifah Islam pengikut Rasulallah SAW. (632 M) harus menghadapi suku-suku bangsa Arab yang tidak mau lagi tunduk kepada Madinah, mereka menganggap bahwa perjanjian yang mereka buat dengan Nabi SAW. Dengan sendirinya tidak mengikat lagi setelah beliau wafat. Selanjutnya mereka mengambil sikap menentang Abu Bakar ( ingkar kepada pemerintah Islam ) tidak mau membayar dinar karena itu Abu Bakar menyelesaikannya dengan perang Riddah (melawan kaum separatis) di bawah komando Khalid bin Walid, dan kemenangan di pihak Abu Bakar ( umat Islam ).
Kedua, Fase pembuka jalan. Dimana setelah selesai perang dalam negeri tersebut (konsolidasi), Abu Bakar mulai mengirim kekuatan-kekuatan ke luar Arabia. Khalid bin al-Walid memimpin tentara yang diantar ke Irak (wilayah Bizantium) dan dapat menguasai al-Hirah di tahun 634 M. Bersama dengan itu ke Suria (Iran) dikirim tentara di bawah pimpinan tiga Jendral: Amr Ibnu ‘Ash, Yazid Ibnu Abi Sofyan dan Syurahbil Ibnu Hasanah, dan ditunjang oleh pasukan Khalid, sehingga dapat menguasai kota Ajnadin dan Fihl.
Ketiga, Fase pemerataan jalan. Dimana usaha-usaha yang dirintis oleh Abu Bakar untuk membuka jalan ekspansi, kemudian dilanjutkan oleh khalifah kedua, Umar bin Khatab (634-664 M). pada zaman Umar inilah gelombang ekspansi pertama terjadi kota Damaskus jatuh di tahun 635 M dan setahun kemudian Bizantium kalah di pertempuran Yarmuk, daerah Suria jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Dengan adanya gelombang ekspansi pertama ini (menurut istilah kami fase perantara jalan ekspansi). Maka kekuasaan Islam di bawah Khalifah Umar telah meliputi selain Semenanjung Arabiah, juga Palestina, Suria, Irak, Persia, dan Mesir.
Keempat, Fase jalan buntu, yaitu pada zaman Usman bin Affan (644-656 M) sebagai khalifah ketiga, dan pada zaman Ali bin Abi Thalib (656-661 M) khalifah keempat. Pada zaman Usman, meskipun Tripoli, Ciprus dan beberapa daerah lain dikuasai, tetapi gelombang ekspansi pertama berhenti sampai disini, karena dikalangan umat Islam mulai terjadi perpecahan menyangkut masalah pemerintahaan dan dalam kekacauan yang timbul itu Usman mati terbunuh.
Selanjutnya diganti oleh Ali bin Abi Thalib, tetapi mendapat tantangan dari pendukung Usman, terutama Muawiyah Gubernur Damaskus dari Golongan Thalhah dan Zubair di Makkah dan kaum Khawarij dan Ali sebagaimana Usman juga terbunuh.
II. Periode klasik (650-1250 M)
Periode Klasik ini merupakan zaman kemajuan umat Islam. Harun Nasution telah membagi periode klasik ini ke dalam dua (2) fase, yaitu:
1. Fase Ekspansi, Integrasi, dan Puncak Kemajuan (650-1000 M)
Periode klasik ini merupakan periode kebudayaan dan peradaban Islam yang tertinggi dan mempunyai pengaruh terhadap tercapainya kemajuan atau peradaban modern di Barat sekarang, sungguhpun tidak dengan secara langsung. Hal ini diakui oleh para orientalis Barat, sebagai berikut:
a. Christopher Dawson, menyatakan:”Periode kemajuan Islam ini bersamaan masanya dengan abad kegagalan di Barat (Eropa).”
b. H. McNeill, menyatakan:”Kebudayaan Kristen di Eropa di antara tahun 600-1000 M sedang mengalami masa surut yang rendah. Di abad XI Eropa mulai sadar akan adanya peradaban Islam yang tinggi di Timur, dan melalui Spanyol, Sicilia, Perang Salib peradaban itu sedikit demi sedikit di bawa ke Eropa.”
c. Gustave Lebon, menyatakan: “Orang Arablah yang menyebabkan kita mempunyai peradaban, karena mereka imam kita selama enam abad..”
d. Romm Landayu, dari hasil penelitiannya mengambil kesimpulan bahwa “dari orang Islam periode klasik inilah orang Barat belajar berfikir serta objektif dan logis, dan belajar lapang dada.
e. Jacques C. Rislar juga menyatakan bahwa “ilmu pengetahuan dan teknik Islam amat dalam memengaruhi kebudayaan Barat.”
2. Fase Disintegrasi (1000-1250 M)
Fase disintegrasi merupakan fase di mana pemisahan diri dinasti-dinasti dari kekuasaan pusat, dilanjutkan dengan perebutan kekuasaan antara dinasti-dinasti tersebut untuk menguasai satu sama lain. Misalnya:(1). Dinasti Buwaihi yang menguasai daerah Persia dikalahkan oleh Saljuk pimpinan Tughril Beg (1076 M).
(2). Dinasti Saljuk waktu dipimpin Nizamul Mulk dikalahkan oleh Dinasti Hasysyasin pimpinan Hasan Ibnu Sabah, yang meskipun Dinasti Saljuk masih sempat berdiri, tetapi akhirnya dikalahkan total pada Perang Salib oleh Paus Urban II (1096-1099 M).
III. Periode Pertengahan (1250-1800 M)
Periode pertengahan ini juga dibagi ke dalam dua (2) fase yaitu:
1. Fase Kemunduran (1250-1500 M)
Pada masa ini desentralisasi dan disintegrasi bertambah meningkat. Perbedaan antara Sunni dan Syi’ah, demikian juga antara Arab dan Persia bertambah tampak. Dunia Islam pada zaman ini terbagi dua, yaitu: Bagian Arab yang terdiri dari Arabia, Irak, Suria, Palestina, Mesir dan Afrika Utara, dengan Mesir sebagai pusat, dan Bagian Persia yang terdiri atas Balkan, Asia Kecil, Persia dan Asia Tengah dengan Iran sebagai Pusat.
2. Fase Tiga Kerajaan Besar (1500-1700 M) yang Dimulai dengan Zaman Kemajuan (1500-1700 M), Kemudian Zaman Kemunduran (1700-1800 M). Tiga Kerajaan Besar Tersebut Ialah Kerajaan Usmani (Ottoman Empire) di Turki, Kerajaan Safawi di Persia, dan Kerajaan Mughal di India.
Dimasa kemajuaan, ketiga kerajaan besar tersebut mempunyai kerajaan masing-masing, terutama dalam bentuk literature dan arsitek. Masjid-masjid dan gedung-gedung indah yang didirikan di zaman ini masih dapat dilihat di Istambul, di Tibriz, Isfahan, serta kota-kota lain di Iran dan Delhi. Kemajuan umat Islam di zaman ini lebih banyak merupakan kemajuan di periode klasik.
Sedangkan di zaman kemunduran kerajaan Usmani terpukul di Eropa, Kerajaan Safawi dihancurkan oleh serangan-serangan suku bangsa Afgam, dan daerah kekuasaan kerajaan Mughal diperkecil oleh pukulan-pukulan raja-raa India. Kekuatan militer dan kekuatan politik umat Islam menurun umat Islam dalam keadaan kemunduran drastis. Akhirnya Napoleon pada tahun 1798 M. menduduki Mesir, sebagai salah satu pusat Islam terpentin jatuhnya pusat umat Islam ke tangan Barat, menginsafkan dunia Islam.
IV. Periode Modern (1800 M-dan seterusnya)
Ciri-ciri umat Islam pada periode modern ini adalah keadaan yang berbalik dengan pada periode klasik. Dalam arti, umat Islam pada periode ini sedang menaik sementara Barat sedang dalam kegelapan sedang pada periode modern ini sebaliknya, umat Islam sedang dalam kegelapan sementara Barat sedang mendominasi dunia Islam, dan umat Islam ingin belajar dari Barat tersebut.
KESIMPULAN


Sejarah Islam adalah berbagai peristiwa atau kejadian yang benar-benar terjadi, yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan agama Islam dalam berbagai aspek. periodisasi sejarah kebudayaan Islam dimulai sejak Nabi Muhammad SAW. Diangkat menjadi Rasul, pada tahun 12/13 sebelum hijriyah, periode sejarah kebudayaan Islam dapat dibagi dalam 9 periode, yaitu:
1. Masa permulaan Islam, yang dimulai sejak lahirannya Islam pada tanggal 17 Ramadhan 12 tahun sebelum hijrah sampai tahun 41 Hijriyah, atau 6 Agustus 610 sampai 661 M;
2. Masa Daulah Amawiyah: dari tahun 41-132 H. ( 661-750 M );
3. Masa Daulah Abbsiyah Islam: dari tahun 132-232 H. ( 750-847 M );
4. Masa Daulah Abbasiyah II: dari tahun 232-334 H. ( 847-946 M );
5. Masa Daulah Abbasiyah III: dari tahun 334-467 H. ( 946-1075 M );
6. Masa Daulah Abbasiyah IV: dari tahun 467-656 H. ( 1075-1261 M );
7. Masa Daulah Mungoliyah: dari tahun 656-925 H. ( 1261-1520 M );
8. Masa Daulah Usmaniyah: dari tahun 925-1213 H. ( 1520-1801 M );
9. Masa Kebangkitan Baru: dari tahun 1213 H. (1801 M ) sampai awal abad 20.
Periodisasi sejarah Islam secara garis besarnya dapat dibagi ke dalam 4 (empat) periode besar, yaitu:
1. Periode praklasik (610-650 M), yang meliputi 3 (tiga) fase, yaitu: fase pembentukan agama (610-622 M), fase pembentukan Negara (622-632 M), dan fase praekspansi (632-650 M).
2. Periode klasik (650-1230 M), yang meliputi 2 (dua) fase, yaitu: fase ekspansi, integrasi dan puncak kemajuan (650-1000 M), dan fase disintegrasi (1000-1250 M).
3. Periode pertengahan (1250-1800 M), yang meliputi 2 (dua) fase, yaitu: fase kemunduran (1250-1500 M), dan fase tiga kerajaan besar (1500-1800 M), dan
4. Periode modern (1800-dan seterusnya), yang merupakan zaman kebangkitan Islam.






DAFTAR PUSTAKA


Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam,( Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada ) Ed. Revisi -11 Thn. 2007.
Atang Abd.Hakim, Jaih Mubarok, Metodologo Studi Islam,( Bandung: PT.Remaja Rosda Karya), Ed. Revisi -9. Mei 2007.
Muhaimin, Abd.Mujib, Jusuf Mudzakkir, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, ( Jakarta: PT.Prenada Media, Ed. I cet. ke-2, Juli 2007.
Tadjab, Muhaimin, Abd.Mujib, Dimensi-dimensi Studi Islam,( Surabaya: PT.Karya Abditama), cet. pertama, Agustus 1994.
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid 1 (Jakarta: UI Press, 1984), hlm. 57
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1983), hal. 87-89.
Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Dar al-Masyrik, 1986), hal. 8.
Majdid wahab, Kamil al-Muhandis, Mu’jam al-Musthalahat al-Arabiyah fi al-Lughah wa al-adab, (Beirut: Maktab Lubanani, 1984), hal. 82.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1988), hal. 794.
AS. Hornby, Oxford Advanced Learner’s Distionary of Current English, (Oxford University Press, 1983), hal. 405