Kamis, 05 Februari 2009

PENDAHULUAN
Segala puji kami penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah membimbing manusia dengan hidayah-Nya, sebagaimana yang terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Kami bersyukur kepada-Nya yang telah memudahkan penulisan dan penyajian makalah Ulumul Hadis yang sederhana ini hingga dapat terselesaikan.
Shalawat serta alam semoga senantiasa dihaturkan kepada junjungan baginda Nabi Muhammad SAW, para sahabat, keluaraga dan para pengikutnya sampai di hari kiamat nanti.
Seluruh umat Islam telah menerima faham, bahwa Hadis Rasulallah SAW, itu sebagai pedoman hidup yang utama, setelah al-Qur’an. Tingkah laku manusia yang tidak ditegaskan ketentuan hukumnya, tidak diterangkan cara pengamalannya, tidak diperinci menurut petunjuk dalil yang masih utuh, tidak dikhususkan menurut petunjuk ayat yang masih muthlak dalam al-Qur’an, hendaklah dicarikan penyelesaiannya dalam Hadis.
Kami akan membahas Klasifikasi Hadis berdasarkan dari yang diterimanya (yakni yang shahih) dan yang ditolak (yakni yang dha’if). Itulah pembagian secara garis besar. Tetapi para ahli Hadis membagi dalam Hadis dalam tiga bagian: Hadis shahih, Hadis hasan, dan Hadis dha’if. Setiap Hadis tidak bisa dikeluarkan dari salah satu pengelompokan pokok tersebut.
Pembagian ketiga Hadis itu mencakup banyak jenis. Diantara jenis-jenis tersebut ada yang khusus untuk Hadis shahih atau yang hasan atau yang dha’if. Ada pula yang dikelompokan bersama yang shahih dengan yang hasan dan dikelompokan bersama antara yang shahih, yang hasan, dan yang dha’if. Penjelasan semuanya akan kami bahas lebih lanjut.
Kami senantiasa memohon pertolongan Allah Yang Maha Agung lagi Maha Mulia agar kami dapat menjelaskan dan mengedepankan istilah-istilah Hadis dengan bahasa yang jelas, dan dengan pembagian yang kongkrit.


KLASIFIKASI HADIS BERDASARKAN DITERIMANYA ATAU DITOLAKNYA SEBUAH HADIS

Pembahasan Klasifikasi Hadis berdasarkan dari yang diterimanya (yakni yang shahih) dan yang ditolak (yakni yang dha’if). Itulah pembagian secara garis besar. Tetapi para ahli Hadis membagi dalam Hadis dalam tiga bagian: Hadis shahih, Hadis hasan, dan Hadis dha’if.
I. HADIS SHAHIH
A. Definisi Hadis Shahih
Para ulama Hadis memberikan beberapa definisi Hadis shahih sebagai berikut:
’’Hadis yang sanadnya sambung, dikutip oleh orang yang adil lagi cermat dari orang yang sama, sampai berakhir pada Rasulallah SAW, atau kepada sahabat atau kepada tabi’in, bukan Hadis yang syadz (kontroversial) dan terkena illat, yang menyebabkannya cacat dalam penerimaanya.”
مااتصل سنده بنقل العدل الضابط عن مثله الي منتهاه من غير شذوذ ولاعلة
’’Hadis yang sanadnya sambung dikutip oleh orang yang adil lagi dhabit dari orang yang sama sampai berakhir pada Rasulallah s.a.w. bukan Hadis yang syadz dan tidak terkena illat’’.
Abu Amr Ibn Ash-Shalah mengatakan:
الحد يث الصحيح هو المسند الذي يتصل اسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط الي منتهاه ولايكون شاذا ولا معللا
’’Hadis shahih adalah musnad yang sanadnya sambung melalui periwayatan orang yang adil lagi dhabit dari orang yang adil lagi dhabit (pula) sampai ujungnya, tidak syadz dan tidak mu’allal(terkena ‘illat)’’.
Imam Nawawiy meringkas definisi Ibn ash-Shalah, Beliau mengatakan:
هو ما اتصل سنده بالعدول الضا بطو ن من غيرشذوذ ولا علة
’’Hadis shahih adalah hadis yang sambung sanadnya melalui (periwayatan) orang-orang yang adil lagi dhabit tanpa syadz dan ‘illat’’.
Dari beberapa definisi diatas, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, dan menjadi syarat-syarat atau kriteria yang dinamakan Hadis Shahih, yaitu:
1. Hadis Shahih sanadnya bersambung sampai atas. Yang dimaksud sanadnya bersambung, ialah sanadnya selamat dari keterputusan. Dengan kata lain, bahwa tiap-tiap perawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari guru yang memberinya sampai keatas.
2. Hadis Shahih dikutip oleh perawi yang adil, yakni perawinya Muslim, baligh, berakal (mukallaf), tidak mengerjakan dosa-dosa (fasiq), dan selamat dari sesuatu yang dapat melemahkan kewibawaan (muru’ah) dirinya.
Definisi adil menurut pendapat ar-Razi dapat mencakup definisi semuanya:
’Adalah ialah tenaga jiwa, yang mendorong selalu bertindak taqwa, menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mubah yang dapat menodai kewibawaan (muru’ah), seperti makan di jalan umum, buang air kecil ditempat yang bukan disediakan untuknya dan bergurauan yang berlebih-lebihan).
3. Hadis Shahih dikutip oleh perawi yang dhabit (sempurna ingatannya) atau perawi yang kuat ingatannya, baik dhabit shadri maupun dhabit kitabi, artinya bahwa ingatan perawi lebih kuat atau banyak daripada lupanya, dan kebenarannya lebih banyak dari kesalahannya maka dinamakan dhabit shadri. Kemudian apabila yang disampaikan itu berdasarkan pada buku catatannya (teks book) maka dinamakan dhabit kitabi.
4. Hadis Shahih bukanlah Hadis yang syadz (kontroversial) artinya antara perawi tsiqat yang satu terpercaya tidak bertentangan dengan perawi tsiqat yang lainnya.
Contoh Syadzdz seperti hadis yang diriwayatkan oleh Muslim melalui jalan Ibnu Wahb sampai pada Abdullah din Zaid dalam memberikan sifat-sifat wudhu Rasulallah:
انه مسح برأسه بماء غير فضل يده
Bahwa beliau menyapu kepalanya dengan air yang bukan kelebihan di tangannya.
Sedang periwayatan Al-Baihaqi, melalui jalan sanad yang sama mengatakan:
انه أخذ لأذنيه ماء خلاف الماء الذي أخذ لرأسه
Bahwasannya beliau mengambil air untuk kedua telinganya selain air yang diambil untuk kepalanya.
Periwayatan Al-Baihaqi syadz (janggal)) dan tidak shahih, karena periwayatannya dari Ibnu Wahb seorang tsiqat, menyalahi periwayatan jama’ah ulama dan Muslim yang lebih tsiqat. Syadz bisa terjadi pada suatu matan atau sanad hadis.
5. Hadis Shahih terbebas dari illat. Illat Hadis adalah sifat tersembunyi yang mengakibatkan Hadis tersebut cacat dalam penerimaannya, kendati secara lahir Hadis terbebas dari illat.
Contoh illat seperti Hadis Matruk yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Ad-Dunya dalam Qadha Al-Hawaij melalui jalan Juwaibir bin Sa’id Al-Azdi dari Ad-Dhahhak dari Ibnu Abbas dari Nabi SAW:
عليكم باصطناع المعروف فانه يمنع مصارع السوء وعليكم بصدقة السر فانهاتطفئ غضب الله عزوجل
Wajib atas kamu berbuat yang makruf sesungguhnya ia mencegah pergulatan kejahatan dan wajib atas kamu shadaqah siri (samaran) sesungguhnya ia mematikan murka Allah ’Aza Wa Jalla.
Pada isnad hadis diatas terdapat Juwaibirn bin Sa’id Al-Azdi, An-Nasai dan Ad-Daruquthni berkata, bahwa ia Matruk al-Hadits, menurut Ibnu Ma’in: ليس بشيء = tidak apa-apa.
B. Contoh Hadis Shahih
Sebagaimana Hadis yang di riwayatkan Bukhari dalam kitab Shahihnya:
حد ثنا عبد الله بن يسف قال اخبرنا مالك عن شهاب عن محمد بن جبير بن مطعم عن ابيه قال: سمعت رسول الله صلي الله عليه وسلام قرأ في المغرب بالطور
Artinya: (Kata Bukhari) : Telah menceritakan kepada kami, ’’Abdullah bin Yusuf, (ia berkata) telah mengkhabarkan kepada kami, Malik, dari Syihab, dari Muhammad bin Jubair bin Muthim dari bapaknya, ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulallah s.a.w memanggil dari arah barat diatas gunung Thur.
Kalau kita periksa Hadis sanad dari Bukhari sampai Jubair tersebut sanadnya bersambung, perawinya semua adil, kepercayaan, dan dhabit dengan sempurna (Tsiqat), Hadis tersebut tidak terdapat syadz, dan terbebas dari illat, kekeliruan, kesalahan, dan lain-lain yang menyebabkan Hadis itu tercela.
Hadis tersebut telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana tertera didalam definisi Shahih yang kami paparkan diatas, maka Hadis tersebut dinamakan Hadis Shahih.
C. Klasifikasi Hadis Shahih
Hadis Shahih terbagi menjadi dua jenis:
1. Shahih Li Dzatihi
Yang dimaksud Shahih Li Dzatihi artinya yang sah karena dzatnya, yakni shahih tanpa bantuan sanad yang lainnya dan sesuai dengan syarat-syaratnya. Hadis Shahih Li Dzatihi adalah Hadis yang memenuhi syarat-syarat secara maksimal seperti definisi Hadis Shahih yang telah dijelaskan diatas.
2. Shahih Li Ghairihi
Sedangkan Hadis Shahih Li Ghairihi adalah Hadis Shahih yang tidak memenuhi syarat-syarat secara maksimal, misalnya perawinya yang adil tidak sempurna kedhabitanya (kapasitas intelektualnya), bila jenis ini dikukuhkan oleh jalur sanad yang lain yang semisal, maka akan menjadi Shahih Li Ghairihi, dengan demikian Hadis Shahih Li Ghairihi adalah Hadis yang keshahihanya karena ada sanad yang lain, karena tidak memenuhi syarat secara maksimal. Misalnya Hadis Hasan yang diriwayatkan melalui beberapa jalur, bisa naik dari derajat Hasan menjadi Shahih. Dengan demikian secara definitif Hadis Shahih Li Ghairihi itu, ialah:
هو ماكان رواته متاخراعن درجة الحافظ الضابط مع كونه مشهوراباالصدق حتي يكون حديثه حسنا ثم وجد فيه من طريق اخر مساو لطريقه اوارجح مايجبرذلك القصور الواقع فيه
’’Hadis yang keadaan rawi-rawinya kurang Hafidz dan dhabit, tetapi mereka masih terkenal orang yang jujur, hingga karenanya berderajat hasan, lalu didapati padanya dari jalan lain yang serupa atau lebih kuat, hal-hal yang dapat menutupi kekurangan yang menimpa itu’’.
1.Contoh Hadis Shahih Li Dzatihi
حدثنا عبد الله بن يوسف اخبرنا ما لك عن نافع عن عبد الله ان رسول الله ص قال: اداكانوا ثلاثة فلا يتناجي اثنان دون الثالث
Artinya: ( Kata Bukhari ) : Telah menceritakan kepada kami, ”Abdullah bin Yusuf, (ia berkata) telah mengkhabarkan kepada kami, Malik, dari Nafi, dari Abdullah bahwa Rasulallah SAW bersabda: “Apabila mereka itu bertiga orang, janganlah dua orang (dari antaranya) berbisik-bisik dengan tidak bersama yang ketiganya.
Kalau diperiksa Hadis tersebut, dari Bukhari sampai Nabi SAW., sanadnya bersambung, perawinya semua adil, kepercayaan, dan dhabit (tsiqat), Hadis ini tidak terdapat syadz, dan terbebas dari illat.
Hadis tersebut telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana tertera didalam definisi Shahih yang kami paparkan diatas, dan kesahihannya tidak karena sanad yang lain, maka Hadis tersebut dinamakan Hadis Shahih Li Dzatihi.

2.Contoh Hadis Shahih Li Ghairihi
التر مذي حدثنا محمد بن بشار حدثنا عبد الرحمن حدثنا سفيان عن عبدالله ابن عقيل عن محمد بن الحنفية عن علي عن النبي صلي الله عليه وسلم قال: مفتاح الصلاة الطهور وتحريمها التكبير وتحليلها التسليم.
Artinya:(Kata Turmudziy):“Telah menceritakan kepada kami, Muhammad bin Basyar,( ia berkata) telah menceritakan kepada kami, Abdurrahman (ia berkata), telah menceritakan kepada kami, Sufyan, dari Abdullah bin Muhammad bin Aqil, dari Muhammad bin al-Hanafiah, dari Ali, dari Nabi SAW, beliau bersabda: pembuka shalat itu ialah bersuci, dan yang memasukkan (seseorang) ke dalam shalat adalah takbir, dan yang mengeluarkan (seseorang) dari shalat itu, ialah salam”.
Kalau diperiksa semua rawi yang ada dalam sanad ini orang-orang kepercayaan, kecuali Abdullah bin Muhammad bin Aqil saja, walaupun ia seorang yang benar, tetapi kedhabitanya tentang hafalannya kuat tidaknya masih diperselisihkan.
Oleh karena itu, riwayat Abdullah bin Muhammad bin Aqil ini dianggap Hasan Li Dzatihi.
Sanad Turmudzi ini dikuatkan enam jalan sanad lain yaitu:
1. Riwayat Ibnu Majah, semua rawinya kepercayaan kecuali Abu Sufyan as-Sa’di (Tharif bin Syihab), seorang rawi yang lemah.
2. Riwayat Bazzar, Thabrani, Turmudzi, dari jalan Jabir, dalam sanadnya ada Abu Yahya al-Qattat seorang rawi yang lemah.
3. Riwayat Thabrani dari jalan Abdullah bin Ziyad, ada al-Waqidi seorang rawi yang lemah..
4. Riwayat Thabrani dari jalan Ibnu Abbas ada Nafi bin Hurmuz, seorang rawi yang Haditsnya tidak diterima oleh ulama.
5. Riwayat Abu Nu’man, bukan sabda Nabi, tetapi perkataan Abdullah bin Mas’ud yang sama dengan qaul Nabi itu. Sanad riwayat Abi Nu’man ini Shahih.
6. Riwayat Muslim dan Darimi, Aisyah berkata:
كان رسول الله ص.يفتتح الصلاة بالتكبير ويفتتح القراءة بالحمدلله رب العالمين ويختمهابالتسليم
Artinya: Adalah Rasulallah SAW, memulai shalat dengan takbir, dan mulai bacaan dengan ’’Alhamdulillahii rabbil ‘alamin’’, dan menyudahinya dengan ’’salam’’.
Hadis Hasan Li Dzatihi yang diriwayatkan oleh Turmudzi itu, dikuatkan dengan enam jalan dan keterangan.
Jadi riwayat Turmudzi tersebut, sesudah dibantu dengan jalan yang lain, maka kualitas hadis tersebut naik menjadi Shahih Li Ghairihi.
D. Kehujahan Hadis Shahih
Hadis yang telah memenuhi persyaratan hadis shahih wajib diamalkan sebagai hujah atau dalil syara’ sesuai dengan ijma’ para ulama hadis dan sebagian ulama ushul dan fikih. Tidak ada alasan seorang muslim tinggal mengamalkannya. Hadis shahih li ghairihi lebih tinggi derajatnya dari pada hasan li dzatihi, tetapi lebih rendah dari pada shahih li dzatihi. Sekalipun demikian ketiganya dapat dijadikan hujah.
II. HADIS HASAN
A. Kemunculan Hadis Hasan
Satu hal yang wajar bila sebagian Hadis memenuhi syarat-syarat qabul secara maksimal, disamping ada sebagian yang tidak memenuhi keseluruhannya atau sebagian saja.Yang pertama bisa diamalkan yaitu yang Shahih, seperti yang telah dijelaskan, sedang yang kedua ditinggalkan yaitu dha’if, seperti yang akan dijelaskan.
Kadang-kadang syarat-syarat qabul dapat dipenuhi secara sempurna oleh sebagian Hadis, akan tetapi sebagian perawinya tidaklah berada pada tingkat yang tinggi dalam hal hafalan, kedhabitan dan keteguhan. Kedhabitan mereka ada di bawah tingkat kedhabitan para perawi Hadis-hadis Shahih. Mereka itulah para perawi Hadis Hasan yang berada pada posisi tengah antara Hadis Shahih dan Dha’if. Namun Hadis mereka tetap diterima dan diamalkan.
At-Tirmidzi adalah orang pertama yang mengeluarkan sebutan Hadis hasan. Di lapisan pendahulunya seperti Imam Ahmad dan Al-Bukhari dan dalam sejumlah gurunya, kita menemukan sejumlah Hadis yang cenderung bersifat hasan, yakni di bawah shahih dan lebih tinggi daripada dha’if. Kami tidak merasa aneh bila dalam Shahih Bukhari terdapat Hadis hasan apabila dalam Musnad Ahmad bahwasannya Hadis hasan itu sejenis Hadis shahih.
B. Definisi Hadis Hasan
At-Tirmidzi dan para ulama ahli Hadis setelahnya, telah mendefinisikan Hadis hasan, karena pada dasarnya Hadis hasan tersebut berada dipertengahan antara Hadis shahih dan Hadis dha’if, diantara definisi yang paling lengkap sebagaimana yang di kemukakan oleh Ibn Hajar yaitu:
وخبر الاحاد بنقل عدل تام الضبط متصل السند غير معلل ولاشاذ هو الصحيح لذاته فان خف الضبط فاالحسن لذاته
’’Khabar Ahad yang diriwayatkan perawi yang adil lagi sempurna kedhabitannya, muttashil, musnad tanpa syadz dan ‘illat itulah yang disebut Shahih Li Dzatihi. Bila kedhabitannya kurang maka itulah yang disebut Hasan Li Dzatihi’’.
Dengan demikian yang dimaksud Hadis Hasan adalah Hadis yang memenuhi syarat-syarat Hadis Shahih seluruhnya, hanya saja tingkat kedhabitan perawinya kurang dibanding kedhabitan para perawi Hadis Shahih. Kalau begitu, definisi yang kami pilih untuk Hadis Hasan adalah:
ما اتصل سنده بعدل خف ضبطه من غير شذوذ ولاعلة
’’Hadits yang muttashil senadanya yang diriwayatkan oleh perawi yang adil yang kedhabitannya kurang tanpa syadz dan tanpa ‘illat’’.
C. Contoh Hadis Hasan
حدثنا قتيبة حدثنا جعفر بن سليمان الضبعي عن أبي عمران الجوني عن ابي بكر بن أبي موسي الأشعري قال: سمعت أبي بحضرة العدويقول: قال رسول الله صلي الله عليه وسلام: ان ابواب الجنة تحت ظلال السيوف
Artinya: : (Kata Turmudziy): “Telah menceritakan kepada kami, Qutaibah, telah menceritakan kepada kami, Ja’far bin Sulaiman ad-Dhuba’i, dari Abu ‘Imran al-Jauni, dari Abu Bakar bin Abu Musa al-‘Asyari, ia berkata: ia berkata: Telah bersabda Rasulallah saw.:Bahwa sesungguhnya pintu-pintu syurga itu dibawah tempat naungan pedang .’’
Hadis ini hasan Karena isnad empat perawinya tsiqat kecuali Ja’far bin Sulaiman ad-Dhuba’I, bahwa hadis itu hasan karena hadis itu teurun dari martabat atau tingkat shahih menjadi hasan.
D. Klasifikasi Hadis Hasan
Hadis Hasan dibagi menjadi dua jenis:
1. Hasan Li Dzatihi
Yang dimaksud Hadis Hasan Li Dzatihi adalah yang sudah disebutkan definisinya. Disebut Hasan li dzatihi karena kehasanannya karena memenuhi syarat-syarat tertentu, bukan karena faktor lain diluarnya.
2. Hasan Li Ghairihi
Hadis Hasan Li Ghairihi adalah pada mulanya hadits dha’if yang mempunyai sanad lain yang semisal dan lebih shahih yang menguatkannya, naik menjadi Hasan karena penguat itu. Seandainya tidak ada penguat, tentu masih berstatus dha’if .
Adapun batas Hasan Li Ghairihi adalah Hadis yang didalam isnadnya terdapat orang yang tidak diketahui keadaanya, tidak bisa dipastikan kelayakan atau ketidaklayakan. Namun ia bukan orang lengah yang banyak berbuat salah dan tidak pula dituduh berbuat dusta. Sedangkan matannya didukung oleh mutabi’ atau syahid.
Berdasarkan uraian diatas maka Hadis dha’if dapat terangkat kedha’ifannya atau tidak karena 2 faktor, yaitu:
1. Dapat hilang kedha’ifannya, karena adanya faktor yang menghilangkannya, seperti adanya mutabi’, syahid atau periwayatan lain yang sema’na.
2. Tetap kedha’ifannya, walaupun ada faktor yang dapat menghilangkannya, disebabkan terlalu dha’if.
a. Contoh Hadis Hasan Li Dzatihi
التر مذي حدثنا ابو كريب حدثنا عبدة بن سليمان عن محمد ابن عمر وعن ابي سلمة عن ابي هريرة قال: قال رسول الله ص : لولا ان اشق علي امتي لامرتهم باسواك عند كل صلاة
Artinya: (Kata Turmudziy): “Telah menceritakan kepada kami, Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami,’Abdah bin Sulaiman, dari Muhammad bin ‘Amr, dari Abi Salamah, dari Abi Hurairah, ia berkata: Telah bersabda Rasulallah saw.: “Jika aku tidak memberatkan ummatku, niscaya aku perintah mereka bersugi di waktu tiap-tiap hendak shalat”
Kalau diperiksa Hadis sanad dari Turmudzy sampai Nabi tersebut sanadnya bersambung, perawinya semua adil, kepercayaan, dan dhabit kecuali Muhammad bin ‘Amr, seorang yang adil tetapi kedhabitannya kurang, karena lemah hafalannya, Hadis tersebut tidak terdapat syadz, dan terbebas dari illat.
Oleh karena ada Muhammad bin ‘Amr tersebut, maka Hadis itu dinamakan Hadis Hasan Li Dzatihi



b. Contoh Hadis Hasan Li Ghairihi.
الترمذي حدثنا احمد بن منيع حد ثنا هشيم عن يزيد بن ابي زياد عن عبدالرحمن بن ابي ليلي عن البراء بن عازب قال: قال رسول الله ص : حقا علي المسلمن ان يغتسلوا يوم الجمعة
Artinya: (Kata Turmudziy): Telah menceritakan kepada kami, Ahmad bin Mani’, telah menceritakan kepada kami, Husyaim, dari Yazid bin Abi Zi-yad, dari ‘Abdirrahman bin Abi Laila, dari al-Bara’ bin ‘Azib, ia berkata: Telah bersabda Rasulallah saw: ”Sesungguhnya satu kewajiban atas umat Islam mandi pada hari Jum’ah”.
Kalau diperiksa perawi yang ada dalam sanad ini, semua orang kepercayaan, kecuali Husyaim terkenal sebagai mudallis. Karena itu maka sanadnya dianggap tidak terlalu lemah, karena orangnya kepercayaan.
Tetapi Hadis ini dikuatkan dengan jalan sanad yang lain, riwayat Turmudzi juga yaitu: Turmudzi, Ali bin Hasan al-Kufi, Abu Yahya Ismail bin Ibrahim at-Taimi, Yazid bin Abi Ziyad, Abdurrahman bin Abi Laila. Bara’ bin Azib sampai Rasulallah SAW., rawi-rawi isnad ini juga semua kepercayaan, kecuali Abu Yahya, seorang yang dianggap lemah, tetapi Hadis yang diriwayatkannya diterima.
Oleh karena sanad yang pertama itu dbantu dengan sanad yang kedua, maka Hadis sanad yang pertama itu dinamakan Hasan Li Ghairihi, demikian juga sebaliknya.
E. Kehujahan Hasan
Hadis hasan dapat dijadikan hujah walaupun kualitasnya di bawah hadis shahih. Semua Fuqaha, sebagian Muhadditsin dan Ushuliyyin mengamalkannya kecuali sedikit dari kalangan orang yang sangat ketat dalam mempersyaratkan penerimaan hadis (musyaddidin). Bahkan sebagian Muhadditsin yang mempermudah dalam persyaratkan shahih (mutasahilin) memasukan kedalam hadis shahih, seperti Al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah.

III. HADIS DHA’IF
A. Definisi Hadis Dha’if
Hadis Dha’if menempati urutan yang ketiga dalam pembagian Hadis. Batasannya yang paling tepat adalah: Hadis yang padanya tidak terdapat cirri-ciri Hadis Shahih dan Hadis Hasan. Beberapa ahli Hadis ada yang mencoba menghimpun bentuk- bentuk logis bermacam Hadis Dha’if yang tidak memenuhi persyaratan Hadis Shahih atau Hadis Hasan. Ternyata bisa terhimpun sebanyak 381 macam bentuk, yang kebanyakan tidak aktual dan tidak menunjukkan ciri-ciri tertentu di antara banyak macam Hadis Dha’if yang diistilahkan oleh para penekun ilmu ini.
Ibnu Shalah berpendapat bahwa jumlah jenis yang mungkin bagi Hadis Dha’if tidak lebih dari 42 macam, yang cara mentakhrijkannya telah dijelaskan. Al-Hafidz al-Iraqi juga mengutip bentuk-bentuk itu dan sebagian ulama yang lain membaginya menjadi 129 macam.
Definisi Hadis Dha’if ialah Hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat bisa diterima. Mayoritas ulama’ menyatakan: Hadist Dha’if yaitu Hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat Shahih ataupun syarat-syarat Hasan.
هو ما لم يجمع صفة الحسن بفقد شرط من شروطه
Hadis yang tidak menghimpun sifat atau ciri-ciri Hadis Hasan, yang kehilangan satu syarat dari syarat-syaratnya Hadis Hasan.
Atau definisi lain yang biasa diungkapkan mayoritas Ulama:
هومالم يجمع صفة الصحيح والحسن
Hadis yang tidak menghimpun sifat hadis shahih dan hasan.
Jadi hadis dha’if adalah hadis yang tidak memenuhi sebagian atau semua persyaratan hadis hasan atau shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung (muttashil), para perawinya tidak adil dan tidak dhabit, terjadi keganjilan baik dalam sanad atau matan (syadz) dan terjadinya cacat yang tersembunyi (illat) pada sanad dan matan.
B. Contoh Hadis Dha’if
Sebagaimana Hadis dari Turmudzi dari jalan Hakim al-Atsram dari Abu Tamimah Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, bersabda:
"حكم الأثرم "عن ابي تميمة الهجيمي عن ابي هريرة عن النبي ص:من اتي حائضااوامرأة في دبرها او كاهنافقد كفربماانزل علي محمد
Barang siapa yang mendatangi pada seseorang wanita menstruasi (haid) atau pada seorang wanita dari jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka ia telah mengingkari apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
C. Hukum Periwayatan Hadis Dha’if
Hadis dha’if tidak identik dengan hadis maudhu’ (hadis palsu). Di antara hadis dha’if terdapat kecacatan para perawinya yang tidak terlalu parah, seperti daya hafalanya yang kurang kuat tetapi adil dan jujur. Sedang hadis maudhu’ perawinya pendusta. Maka para ulama memperbolehkan meriwayatkan hadis dha’if sekalipun tanpa menjelaskan kedha’ifannya dengan dua syarat, yaitu:
1. Tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah.
2. Tidak menjelaskan hokum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram, tetapi berkaitan masalah mauidzhah, targhib wa tarhib (hadis-hadis tentang ancaman dan janji), kisah-kiisah dan lain-lain.





DAFTAR PUSTAKA
As-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi Syarah Taqrib an-Nawawi, (Mesir: 1307 H)
Abd.Qadir Hasan, Ilmu Musthalah Hadis, (Bandung: PT.cv.Diponegoro, 1991) cet.V
Abd. Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, Februari 2008), cet. I
Al-Bukhari, Shahih Bukhari.
At-Tirmidzi, Sunan Tirmidzi
Fathur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadis, (Bandung: PT.Al-Ma’arif, 1974), cet. I
Hasbi Ash-Shiddiqy, Ulum al-Hadits, (Yogyakarta: Sumbangsih), I, hal.62.
Ibn Ash-Shalah, Abu Amr, Ulum al-Hadits, (Math.Al-Ilmiyah Halb: 1350 H – 1931 M) hal.6.
Ibn Ash-Subki,An-Nawawiy, Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra,(Kairo: Al-Husainiyah, 1324 H), Juz V, hal. 165.
Ibn Hajar, Tahdzib at-Tahdzib, (Heideradab: 1327 H
Mahmud Tahan, Taisir Musthalah al-Hadits, (Kairo: Darul Fikri), hal.30
Muh.Mahfudz at-Tarmasy, Manhaj Dzawin Nadhar, (Surabaya: Maktabah Nabhaniyah), hal.29.
Subhi ash-Shalah, Membahas Ilmi-ilmu Hadis, (Jakarta: PT.Pustaka Firdaus,2007), cet.VI

Tidak ada komentar: