Selasa, 26 Januari 2010

Bila hati dimabuk cinta

Ibnul Jauzi rahimahullah pernah ditanya tentang beberapa bait syair yang menceritakan bolehnya mabuk asmara yang berbunyi: Wahai orang ‘alim bagaimana pendapat anda? Tentang orang yang hancur luluh dimabuk cinta?..
Maka Ibnu Al-Jauzi menjawab: Wahai pemuda yang tenggelam dalam badai asmara, yang selalu menghadang bahaya dengan semangatnya, dengarlah dari jiwa yang ingin memberikan nasihatnya, semoga engkau mendapat petunjuk karenanya.. Hingga perkataannya: Seluruh perkara yang engkau sebutkan dan engkau tanyakan, adalah perkara yang diharamkan Allah atas hamba-Nya, Allah tidak pernah halalkan, dalam syari’atnya perkara yang telah menjeratmu, maka menyingkirlah dari jalan hawa nafsumu dan menjauhlah darinya, berhentilah dan ketuk pintu Rabbmu Yang Maha Esa dan Tunggal, dan berdo’alah agar Dia menyembuhkan penyakitmu, tidak menyiksamu dan mengadzab hatimu, tahanlah dirimu dari cinta dan jangan tunduk padanya, dan bersabarlah serta sembunyikan sekuat tenaga, jika engkau mati dalam keadaan bersabar dan mengharapkan ganjaran Allah, engkau akan berbahagia kelak di Surga yang kekal abadi.. (Raudhatul Muhibbin, hal. 151-152 [Dikutip dari: Buku 'Al 'isyq Bila Hati Dimabuk Cinta Hakikat, makna beserta terapinya menurut Al-Qur'an dan Sunnah oleh Muhammad Ibrahim Al-Hamd, hal. 64-66, Pustaka At-Tibyan])
Abu Al-Khatthab Mahfudz bin Ahmad Al-Kalwazani rahimahulloh pernah ditanya tentang hukum mabuk asmara dan hukum berhubunga dengan orang yang dicintai. Pertanyaan ini dalam bentuk syair yang tertulis di atas secarik kertas maka Abu Al-Khattab menjawab:”Wahai Syaikh yang bijaksana yang telah mengalahkan syair para pujangga di zamannya. Kemudian Abul Khatthab melanjutkan:”Barangsiapa menyelami lautan fitnah kemudian mendakwa dirinya dapat selamat darinya.. Maka dia telah berlaku nifak dalam urusannya, syari’at tidak pernah membolehkan segala sarana yang dapat menjatuhkan seorang muslim dalam bahaya.. Maka selamatkan dirimu dan tinggalkan kotoran hawa nafsu, semoga engkau dapat terhindar dari kejahatannya, inilah jawaban Al-Kalwadzaani telah datang kepadamu mengharap pahala dari Allah.” (Raudhatul Muhibbin hal. 151 [buku hal. 64])
“Jika anda ingin mengetahui dan menilai seorang insan dan martabatnya maka lihatlah siapa kekasih yang dicintainya dan cita-citanya. Ketahuilah bahwa cinta yang terpuji tidak akan terkena segala bentuk bahaya mabuk cinta yang telah disebutkan.” (Raudhatul Muhibbin hal. 213 [buku hal. 61].. Benarlah ungkapan seorang penyair:”Harga seseorang dinilai sesuai dengan besarnya cita-cita, maka terpujilah busurmu jika mengenai sasaran yang berharga.” (Khawatir Al-Hayat, karya Syaikh Muhammad Al-Khidir Hasan hal. 139 [buku hal. 62])

Rabu, 06 Januari 2010


WAWASAN AL-QUR'AN TENTANG PROSEDUR KIAMAT
PEMBAHASAN
YAUM AL-BA'TS / YAUM AL-QIYAMAH
Banyak redaksi yang digunakan Al-Quran untuk menguraikan hari akhir, misalnya yaum Al-Ba'ts (hari kebangkitan) yaum Al-Qiyamah (hari kiamat),' yaum Al-Fashl (hari pemisah antara pelaku kebaikan dan kejahatan), dan masih banyak lainnya.
Al-Quran Al-Karim menguraikan masalah kebangkitan secara panjang lebar dengan menggunakan beberapa metode dan pendekatan. Kata "Al-Yaum Al-Akhir" saja terulang sebanyak 24 kali, di samping kata "akhirat" yang terulang sebanyak 115 kali. Belum lagi kata-kata padanannya. Ini menunjukkan betapa besar perhatian al-Qur'an dan betapa penting permasalahan ini.
Banyak juga sisi dari "hari" tersebut yang diuraikan Al-Quran, dan uraian itu yang tidak jarang berbeda informasinya; bahkan berlawanan diletakkan dalam berbagai surat. Seakan-akan
Al-Quran bermaksud untuk memantapkan keyakinan tersebut bagian demi bagian serta fasal demi fasal- dalam jiwa pemeluknya. Di sisi lain, banyak pula cara yang ditempuh Al-Quran ketika menguraikan masalah tersebut serta banyak pula pembuktiannya.
Penafsir besar Al-Biqa'i (809-885 H) mengamati bahwa "kebiasaan Allah Swt. adalah bahwa Dia tidak menyebut keadaan hari kebangkitan, kecuali Dia menetapkan dua dasar pokok, yaitu qudrat (kemampuan) terhadap segala yang sifatnya mungkin1 dan pengetahuan tentang segala sesuatu yang dapat diketahui baik yang bersifat kulli (umum) maupun juz'I (rinci). Karena, siapa pun tidak dapat melakukan kebangkitan kecuali yang menghimpun kedua sifat tersebut." Untuk membuktikan hipotesisnya, Al-Biqa'i mengutip surat Al-An'am (6): 72-73.
Tentu saja tulisan ini tidak dapat menguraikan secara rinci seluruh persoalan "hari akhir" yang dikemukakan Al-Quran. Namun, semoga hal-hal pokok yang berkaitan dengannya dapat dikemukakan.

PADANG MAHSYAR
1. Definisi
Mahsyar (Arab: محشر) dalam Islam adalah Tempat berkumpul.
"Setiap jiwa datang bersama dengan satu penggiring dan satu penyaksi" (QS. Qaaf [50]: 21)
Penggiring adalah Malaikat dan penyaksi adalah dirinya manusia sendiri yang tidak dapat mengelak, atau amal perbuatan masing-masing. Begitulah penafsiran para Ulama.
"Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan." (QS. An-Nur [24]: 24.
Yang diinformasikan oleh ayat-ayat di atas dan semacamnya adalah bahwa pada hari itu tidak ada yang dapat mengelak, tidak ada juga yang dapat menyembunyikan sesuatu di hadapan pengadilan yang Maha Agung itu.
Dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa matahari ketika itu demikian rendahnya sehingga semua dibasahi keringatnya sesuai dengan dosa masing-masing ada yang keringatnya meleleh ke lantai sampai mencapai setinggi lututnya atau tangannya bahkan mulutnya. ( H.R. Muslim dan At-Tirmidzy melalui Al-Miqdad bin Al-Sawad ).
Sementara Ulama mengecualikan tujuh kelompok manusia yang terhindar dari sengatan matahari itu, yaitu mereka yang mendapat perlindungan di bawah naungan singgasana Allah Swt. Dalam konteks ini Nabi Muhammad Saw. Bersabda: "Ada tujuh kelompok manusia yang diberi naungan oleh Allah pada hari tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. Mereka adalah: Penguasa yang adil, Pemuda yang tumbuh berkembang dalam Ibadah kepada Allah, Siapa yang hatinya terkait dengan Masjid, Dua orang yang saling mencintai demi karena Allah, Siapa yang diajak melakukan dosa oleh seorang wanita cantik dan berkedudukan tetapi menolak karena takut kepada Allah, Siapa yang bersedekah secara rahasia, dan Siapa yang mengingat Allah lalu mencucurkan air mata." ( H.R. Bukhari dan Muslim melalui Abu Hurairah ).
2. Syafaat Nabi Muhammad Saw.
Pada situasi yang sangat mencekam di Padang Mahsyar itulah Allah Swt. menunjukkan secara nyata betapa tingginya kedudukan Nabi Muhammad Saw. Di sisi-Nya. Ketika itu sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, manusia saling mandang memandang, mencari siapa gerangan yang dapat diandalkan untuk bermohon kepada Allah agar situasi yang mencekam dan sengatan matahari itu dapat dielakan. Mereka pergi kepada Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa As. Tetapi semua Nabi mulia itu menolak dan menyebut dosa masing-masing sambil berkata: nafsy, nafsy, kecuali Isa As yang juga menolak tanpa menyebut dosa. Akhirnya mereka menuju Nabi Muhammad Saw. Beliau menerima permohonan mereka dan bermohon setelah menyampaikan pujian kepada Allah Swt. pujian yang belum pernah terucapkan sebelumnya. Allah Swt. memerintahkan beliau mengangkat sambil bermohon, maka beliau berkata singkat: "Tuhanku, Umatku-umatku". (HR. Bukhari, Muslim dll melalui Abu Hurairah).
Syafaat ini dinamai juga syafaat terbesar. Sementara Ulama berpendapat bahwa inilah yang dimaksud dengan al-Maqam al-Mahmudah yang dijanjikan Allah kepada Rasul Saw.
Di samping syafaat ini ada juga syafaat-syafaat khusus bagi orang-orang yang memperoleh izin untuk dianugerahi syafaat, baik dari Nabi Muhammad Saw maupun selain beliau. Nabi bersabda: "Setiap Nabi mempunyai doa yang dikabulkan Allah. Mereka semua telah bergegas memohonnya, sedang aku menangguhkan permohonanku (sampai hari kemudian) untuk memohon syafaat bagi umatku." (HR. Bukhari dan Muslim).

HISAB/PERHITUNGAN
1. Definisi
Yawm al Hisãb artinya hari perhitungan/ penghakiman amal baik dan amal buruknya manusia. Setelah berada di Mahsyar selanjutnya mereka satu persatu dihisab. Sebelum dihisab, mereka diberitahu tentang amal perbuatan yang telah mereka kerjakan meskipun mereka telah lupa apa yang mereka kerjakan. Amal manusia didunia telah dicatat oleh Malaikat Kirâman Kâtibîn, tanpa ada kekliruan sedikitpun.
2. Peristiwa Hisab
Pada peristiwa pengadilan dan hisab itu, para rasul didatangkan untuk dimintai pertanggungjawaban tentang amanat Allah pikulkan kepada mereka, yaitu menyampaikan wahyu Allah kepada umatnya, mereka pun member kesaksian atas hal yang mereka ketahui tentang kaum mereka.
"Pada hari Ini kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan." (QS. Yasiin [36]: 65.
Pada hari besar itu para saksi berdiri dan memberikan kesaksian perbuatan makhluk. Para saksi itu antara lain para malaikat yang dahulu mencatat amal perbuatan, para nabi dan ulama, bumi langit, malam dan siang.
Para hamba yang akan dihisab dalam peradilan agung oleh Allah didatangkan dan dihadapkan kepada Allah dengan berbaris-baris.
"Dan mereka dihadapkan kehadapan Tuhanmu dengan berbaris-baris.(QS.Al-Kahfi[18]:48.
Allah Swt. telah menceritakan kepada kita tentang peristiwa hisab dan pembalasan di "Hari Penghabisan":
"Dan terang benderanglah bumi (padang Mahsyar) dengan cahaya (keadilan) Tuhannya; dan diberikanlah buku (perhitungan perbuatan masing-masing) dan didatangkanlah para nabi dan saksi-saksi dan diberi Keputusan di antara mereka dengan adil, sedang mereka tidak dirugikan. (QS. Az-Zumar [39]: 69.
Yang mengadili dan menghisab adalah Allah, Hakim yang Maha adil, Pemelihara langit dan bumi, cukup bagi kita untuk memahami betapa pentingnya dan hebatnya peristiwa itu. Barangkali terang benderangnya bumi yang dinyatakan ayat tersebut terjadi saat datangnya Sang Raja Yang Maha Besar untuk membuat keputusan. Allah berfirman:
"Tiada yang mereka nanti-nantikan melainkan datangnya Allah dan malaikat (pada hari kiamat) dalam naungan awan, dan diputuskanlah perkaranya. dan Hanya kepada Allah dikembalikan segala urusan." (QS. Al-Baqarah [02]: 210).
Ayat itu juga menyatakan kedatangan malaikat. Ini berarti, peristiwa itu adalah peristiwa besar yang dihadiri oleh para malaikat dengan membawa buku-buku catatan amal.
3. Pembagian Buku Catatan Amal
Allah telah mensyifati Hari Kiamat dengan Firman-Nya, "Dan ketika catatan-catatan (amalan) dibukakan" (QS. At-Takwir [81]: 10). 'Ali Ibnu Ibrahim menafsirkan catatan-cacatan itu adalah "Buku yang memuat amalan setiap orang."
"Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: "Aduhai celaka kami, Kitab apakah Ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang Telah mereka kerjakan ada (tertulis). dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun".( QS. Al-Kahfi [18]: 49.
"Dan apabila catatan-catatan (amal perbuatan manusia) dibuka," (QS. At-Takwir [81]: 10.
'Ali Ibnu Ibrahim berkata: "Yang dimaksud dengan catatan catatan amalan itu adalah buku yang memuat amalan setiap orang." Begitu juga Allah berfirman:
7. Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya,
8. Maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah,
9. Dan dia akan kembali kepada kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan gembira.
10. Adapun orang-orang yang diberikan kitabnya dari belakang,
11. Maka dia akan berteriak: "Celakalah aku". (QS. Al-Insyiqaq [84]: 7-11)
'Ayyasyi meriwayatkan dari Imam Ja'far Ash-Shadiq, "Ketika Hari Kiamat tiba, setiap orang diberi buku amalannya dan dikatakannya, "Bacalah" Kemudian Allah mengingatkannya akan semua yang telah dikerjakan: melihat, berbicaara, melangkah kaki, dan sebagainya. Seakan-akan semuanya tampak baru saja mereka lakukan. Kemudian mereka berseru, "Celakalah kami! Kitab macam apa ini, yang merekam semua amalan, sampai yang paling kecil sekalipun?."
Semua makhluk yang dibebani tanggungjawab akan menghadapi penghitungan, bukan hanya perbuatan dosa yang akan dimintai pertanggungjawaban, tetapi juga nikmat-nikmat yang diperoleh. Ini secara tegas dinyatakan oleh Allah dalam firman-Nya:
"Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)." (QS. At-Takatsur [102]: 8).
Angin sepoi, kesejukan air, sesuap nasi dan semua kesejahteraan yang pernah dinikmati akan dipertanyakan penggunaan dan pemanfaatannya.
Dalam sebuah riwayat dinyatakan bahwa Nabi Saw. Bersabda: "Tidaklah beranjak kaki putra putri Adam pada hari kiamat (dari Padang Mahsyar) sebelum ditanyai tentang empat hal: tentang umurnya, bagaimana dia habiskan, tentang jasadnya dalam hal apa dia gunakan, tentang ilmunya, apakah dia amalkan, dan tentang hartanya, bagaimana ia peroleh dan ke mana ia nafkahkan." (HR. At-Tirmidzy yang dinilainya Hasan Shahih, melalui Abu Barzah al-Aslamy).
MIZAN / TIMBANGAN
1. Definisi
Dihari itu mizan akan ditegakkan untuk menimbang amal perbuatan manusia. Al-Qurthubi mengatakan, "Setelah hisab (penghitungan) selesai, berikutnya adalah penimbangan amal perbuatan. Karena penimbanganuntuk menentukan balasan, maka harus dilakukan setelah penghitungan. Hisab untuk menilai amal perbuatan dan mizan untuk mengetahui kadar amal agar balasannya setimpal.
Banyak Nash menunjukkan bahwa mizan di sini dalam pengertian hakiki, yang ukurannya hanya Allah Swt. yang tahu. Al-Hakim meriwayatkan dari Salman dari Nabi Saw., yang bersabda, "Pada hari kiamat akan dipasang mizan, yang langit dan bumi pun dapat ditimbang dengan mizan itu. Malaikat berkata, ''Ya Tuhan, untuk siapa mizan ini?" Allah menjawab, "Untuk makhluk-makhluk-Ku yang Ku kehendaki." Malaikat berkata, Maha Suci Engkau, kami dahulu menyembah-Mu belum secara sebenar-benarnya."
Mizan itu sangat akurat, tidak lebih dan tidak kurang sedikitpun. Allah berfirman:
"Kami akan tegakkan timbangan yang adil pada hari kiamat, Sehingga tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. dan jika (amalan itu) Hanya seberat biji sawipun pasti kami mendatangkan (pahala)nya. dan cukuplah kami sebagai pembuat perhitungan." (QS. Al-Anbiya [21]: 47.
Para Ulama berbeda pendapat tentang jumlah mizan, apakah satu atau banyak. Sebagian Ulama berpendapat bahwa setiap orang mendapat satu mizan, atau satu mizan untuk setiap amal. Allah berfirman: "Kami akan tegakkan timbangan (mawazin: bentuk jamak dari 'mizan') yang adil pada hari kiamat"
Yang lain berpendapat. Mizan hanya satu, sedangkan penggunaan bentuk jamak dalam ayat di atas karena banyaknya amal dan manusia yang ditimbang.
Ibn Hajr mendukung pendapat bahwa mizan itu hanya satu. Ia mengatakan, "Tidak masalah dengan banyaknya orang yang ditimbang, karena keadaan hari kiamat tidak seperti dunia.
As-Syafarini berkata:
Al-Hasan Al-Bashri pernah mengatakan, setiap mukalaf mendapat satu timbangan. Sebagian orang mengatakan pendapat lebih kuat adalah bahwa timbangan pada hari kiamat bukan hanya satu, berdasarkan firman Allah, "Kami akan tegakkan mawazin," dan, "Siapa yang mawazin-nya berat.” Al-Hasan Al-Bashri mengatakan, bisa saja ada satu mizan untuk perbuatan hati, satu mizan untuk perbuatan anggota-anggota badan, dan satu mizan untuk perkataan. Sedangkan Ibn 'Athiyyah berpendapat bahwa manusia ditimbang secara bergantian, masing-masing mendapat penimbangan yang khusus untuknya, tetapi mizannya tetap satu. Sebagian mengatakan penggunaan bentuk jamak (mawazin) dalam ayat di atas adalah karena banyaknya manusia yang ditimbang amalanya.
Pengadilan itu menggunakan "timbangan" yang hak sehingga tidak ada yang teraniaya karena walau sebesar biji sawi pun Tuhan akan mendatangkan ganjarannya. (Baca QS Al-Anbiya [21]: 47). Apakah timbangan itu sesuatu yang bersifat material atau hanya kiasan tentang keadilan mutlak, tidaklah banyak pengaruhnya dalam akidah, selama diyakini bahwa ketika itu tidak ada lagi
sedikit penganiayaan pun. Yang pasti adalah:
"Timbangan pada hari itu adalah kebenaran. Barangsiapa yang berat timbangan (amal salehnya) maka mereka adalah orang-orang beruntung, dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri disebabkan mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami." (QS Al-A'raf [7]: 8-9)

2. Apa yang Ditimbang
Para Ulama berbeda pendapat tentang apa yang ditimbang pada hari kiamat. Ada beberapa pendapat:
Pertama: Yang ditimbang pada hari kiamat adalah amal perbuatan itu sendiri. Amal berwujud secara fisikal dan diletakkan ditimbangan. Dasarnya adalah Hadis Abu Hurairah R.a dalam Shahih al-Bukhari bahwa Rasulullah Saw bersabda, " Ada dua kalimat yang dicintai ar-Rahman (Allah), ringan diucapkan tetapi berat dalam timbangan, yaitu Subhaanallah wa bi hamdihi dan Subhanallah al'Adzim.
Kedua: Yang ditimbang adalah lembaran-lembaran catatan amal perbuatan. At-Tirmidzy meriwayatkan dalam Sunan-nya, dari 'Abd Allah ibn 'Amr ibn 'Ash R.a., bahwa Rasulallah Saw. Bersabda: "Pada hari kiamat Allah akan memisahkan salah seprang dari umat-Ku di hadapan semua makhluk. Kepadanya disodorkan 99 buku catatan. Panjang setiap bukunya sepanjang penglihatannya. Allah bertanya, Adakah yang engkau ingkari buku ini? Apakah para penulis-Ku yang mencatat telah melalimimu? Orang itu menjawab, Tidak. Tuhan. Allah bertanya lagi, Apakah engkau memiliki alasan? Ia menjawab, Tidak. Tuhan. Allah berkata, Baik, dalam catatan Kami, engkau memiliki kebaikan. Tidak ada kelaliman hari ini. Lalu dikeluarkanlah sebuah kartu yang berisi dua kalimat syahadat. Allah berfirman, Hadiri penimbanganmu! Orang itu berkata, Apakah maksudnya kartu dengan buku-buku itu diletakkan di salah satu daun timbangan dan kartu itu di daun yang lain. Ternyata buku-buku itu ringan dan kartu itu berat. Tidak ada yang berat dibandingkan dengan nama Allah.
Al-Qurtubhi lebih cenderung pada pendapat ini. Ia berkata, "Yang benar, mizan menimbang berat atau ringannya buku-buku yang berisikan catatan amal perbuatan.
Hemat kami, kita harus percaya bahwa di hari kiamat nanti akan dilakukann timbangan amal, bagaimana cara menimbangnya dan apa alatnya tidaklah harus kita ketahui, tetapi yang jelas dan yang harus dipercayai adalah, bahwa ketika itu keadilan Allah Swt. akan sangat nyata dan sangat sempurna dan tidak ada seorang pun yang mengingkari keadilan itu sekalipun orang itu terhukum. Wallahu a'lam.
SHIRATH
1. Definisi
Shirath dalam segi bahasa adalah jembatan di atas Neraka Jahannam,( جسر علي متن جهنم) . dan tak seorang pun dapat memasuki Surga sebelum melewatinya. Dalam berbagai riwayat digambarkan bahwa Shirath lebih tipis daripada rambut, lebih tajam daripada pedang serta lebih panas daripada api.
2. Telaga
Dalam beberapa riwayat telah ditemukan informasi bahwa sebelum mencapai ash-shirath, mereka melalui apa yang dinamakan al-Haudh, yakni telaga. Airnya sangat jernih, siapa yang meminumnya tidak akan merasakan haus lagi. (HR. Bukhari melalui Abdullah bin 'Amr bin Ash R.a) Imam Muslim menambahkan bahwa ketika itu sunggguh banyak yang berebut untuk minum dari telaga Nabi Muhammad Saw, itu, tetapi hanya kaum muslimin yang diperkenankan meminumnya. "Kalian mempunyai tanda yang tidak dimiliki oleh umat yang lain, yaitu cahaya wajah dan dahi bekas-bekas air wudhu, yang membasahi anggota badan kalian." (HR.Muslim melalui Abu Hurairah). Sahabat lain, Anas bin Malik R.a, demikian juga Abu Hurairah R.a menyampaikan bahwa Rasul Saw, menginformasikan ada sekian banyak umat Islam, bahkan yang semasa dan melihat wajah beliau lagi mengucapkan dua kalimat syahadat, ada di antara mereka itu yang dihalangi meneguk dari telaga itu. Nabi Saw mengenal mereka dan bersabda: (Biarkan mereka minum) "Itu sahabat Ku", tetapi yang menghalanginya berkata: "Engkau tidak mengetahui apa yang telah mereka lakukan sepeninggal Mu (Wahai Nabi Muhammad)." (HR. Bukhari).
Minumlah dari Haudh Nabi Saw, siapa yang berbahagia untuk minum. Umat-umat Nabi-nabi mereka, karena menurut riwayat At-Tirmidzy melalui Sumarah R.a Nabi Bersabda: "Setiap Nabi mempunyai telaga. Mereka berbangga dengan banyaknya pengunjung. Saya mengharap kiranya telagaku lah yang terbanyak pengunjungnya."
Dari mahsyar (tempat berkumpul), manusia menuju surga atau neraka. Beberapa ayat dalam Al-Quran menginformasikan bahwa dalam perjalanan ke sana mereka melalui apa yang dinamai " shirath" .
"Antarlah mereka (hai malaikat) menuju Shirath Al-Jahim."(QS Al-Shaffat [37]: 23).
Dalam konteks pembicaraan tentang hari akhirat, Allah berfirman:
"Dan jika Kami menghendaki, pastilah Kami hapuskan penglihatan mata mereka, lalu mereka berlomba-lomba (mencari) ash-shirath (jalan). Maka, bagaimana mereka dapat melihatnya?" (QS Ya Sin [36]: 66).

Sementara Ulama memahami kata shirath bukan dalam arti material, ia adalah gambaran tentang kesulitan yang dihadapi oleh siapapun di hari kemudian.
Apapun maknanya, yang jelas semua orang akan mendatanginya, yakni melalui shirath itu. Allah menegaskan dalam Firman-Nya:
"Dan tidak seorang pun di antara kamu kecuali melewatinya (neraka). Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan-Nya. Kemudian Kami menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zalim, di dalam neraka dalam keadaan berlutut." (QS Maryam [19]: 71-72).

Berdasar ayat-ayat tersebut, sementara ulama berpendapat bahwa ada yang dinamai "shirath" berupa jembatan yang harus dilalui setiap orang menuju surga. Di bawah jalan (jembatan) itu terdapat neraka dengan segala tingkatannya. Orang-orang mukmin akan melewatinya dengan kecepatan sesuai dengan kualitas ketakwaan mereka. Ada yang melewatinya bagaikan kilat, atau seperti angin berhembus, atau secepat lajunya kuda; dan ada juga yang merangkak, tetapi akhirnya tiba juga. Sedangkan orang-orang kafir akan menelusurinya pula tetapi mereka jatuh ke neraka di tingkat yang sesuai dengan kedurhakaan mereka.
Konon shirath itu lebih tipis dari rambut dan lebih tajam dari pedang, (kalimat dalam bahasa Arab) Demikian kata Abu Sa'id sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Para ulama khususnya kelompok Mu'tazilah yang sangat rasional menolak keberadaan shirath dalam pengertian material di atas, lebih-lebih melukiskannya "dengan sehelai rambut di belah tujuh". Memang, melukiskannya seperti itu, paling tidak, bertentangan dengan pengertian kebahasaan dari kata shirath. Kata tersebut berasal dari kata saratha yang arti harfiahnya adalah "menelan". Kata shirath antara lain diartikan "jalan yang lebar", yang karena lebarnya maka seakan-akan ia menelan setiap yang berjalan di atasnya.

DAFTAR PUSTAKA

Quraisy Syihab, Wawasan al-Qur'an, Bandung: Mizan pustaka, Cet.II, 2007
Quraisy Shihab, Perjalanan Menuju Keabadian, Jakarta: Lentera Hati, Cet. I 2001
Umar Sulaiman, Al-Asyqar, Ensiklopedi Kiamat, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, Cet. II 2005.
Syaikh 'Abbas Qummiy Dastanha-e Safar-e Akhirat Terjmh, Intisyarat-e Syahab: Persia, Penerjemah Faruq bin Dhiya' Bandung: Pustaka Hidayah, Mei, Cet. Pertama 1995.
A.Choiran Marzuki, Kiamat Surga dan Neraka, Yogyakarta: Mitra Pusaka, Cet. II,1999.
Abu Hamid Al-Gahazali, Metafisika Alam Akhirat, Surabaya: Risalah Gusti, Cet. Pertama 1997.
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath al-Bari, Cairo: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah, xxiv.
Ali Atabik, dan Ahmad Zuhri Muhdhar, Al-'Ashri(Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, Cet. Kedelapan, 2003.