Minggu, 22 Maret 2009


PENDAHULUAN
Puji syukur kami ucapkan pada Allah atas limpahan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini, shalawat dan salam senantiasa kami haturkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW mudah-mudahan kelak kita mendapatkan syafaatnya di hari akhir nanti.
Suatu hal penting yang tak dapat dilupakan dalam sejarah Islam adalah pada masa abad ke-18 atau ke-19. Abad ini ditandai dengan suatu progresivitas pemikiran yang sangat berpengaruh pada periode-periode selanjutnya. Abad ini, kalau menggunakan tipologi sejarahnya Harun Nasution adalah periode modern. Suatu periode kebangkitan Islam. Pada periode inilah suatu usaha untuk mengembalikan kejayaan Islam diupayakan, mulai dengan proyek pemurnian, (purefication), pembaharuan kembali (renew) dan reformulasi (reformulation).
Pembahasan dalam makalah ini akan menghadirkan pemikiran dari seorang neo-modernisme Islam, Fazlur Rahman (sarjana asal Pakistan yang hengkang dari negaranya dan menetap di Chicago) dalam menjelaskan kondisi umum umat Islam pada masa modernisme klasik kaitannya dengan upaya transformasi intelektual umat dalam menghadapi Modernitas.
Mudah-mudahan makalah ini akan menambah wawasan kita dalam menuntut ilmu lebih utamanya dalam mempelajari mata kuliah Islam dan Modernitas.



ISLAM DAN MODERNITAS:PEMIKIRAN FAZLUR RAHMAN

A. Sekilas Biografi Fazlur Rahman
Fazlur Rahman dilahirkan pada tahun 1919 di daerah barat laut Pakistan. Ia dibesarkan dalam keluarga yang bermadzhab Hanafi, suatu madzhab fiqih yang dikenal paling rasional di antara madzhab sunni lainnya. Ketika itu anak benua Indo-Pakistan belum terpecah ke dalam dua negara merdeka, yakni India dan Pakistan. Anak benua ini terkenal dengan para pemikir Islam liberalnya, seperti Syah Wali Allah, Sir Sayyid Ali dan Iqbal.
Sejak kecil sampai umur belasan tahun, selain mengenyam pendidikan formal, Rahman juga menimba banyak ilmu tradisional dari ayahnya seorang kyai yang mengajar di madrasah tradisional paling bergengsi di anak benua Indo-Pakistan. Menurut Rahman sendiri, ia dilahirkan dalam keluarga muslim yang amat religius. Ketika menginjak usia yang kesepuluh, ia sudah bisa membaca al-Qur’an di luar kepala. Ia juga menerima ilmu hadis dan ilmu syariah lainnya. Menurut Rahman, berbeda dengan kalangan tradisional pada umumnya, ayahnya adalah seorang kyai tradisional yang memandang modernitas sebagai tantangan yang perlu disikapi, bukannya dihindari. Ia apresiatif terhadap pendidikan modern. Karena itu, keluarga Rahman selain kondusif bagi perkenalannya dengan ilmu-ilmu dasar tradisional, juga bagi kelanjutan karier pendidikannya.
Selain itu, latar sosial anak benua Indo-Pakistan yang telah melahirkan sejumlah pemikir Islam liberal, seperti disinggung di atas, juga merupakan benih-benih dari mana pikiran liberal Rahman dan skeptisisme Rahman tumbuh. Misalnya, Rahman sangat apresiatif terhadap pemikiran pendahulunya. Bahkan dalam pembahasannya mengenai wahyu Ilahi dan Nabi, ia secara eksplisit mengakui bahwa pemikirannya merupakan kelanjutan dari pemikiran pendahulunya, yakni Syah Wali Allah dan Muhammad Iqbal.
Dengan demikian, argumen saya tentang kemapanan karakter wahyu al-Qur’an terdiri dari dua bagian. Dalam bagian Pertama, saya telah menyetujui dan tidak berbuat lebih lagi terhadap pernyataan-pernyataan syah wali Allah dan Muhammad Iqbal yang menerangkan prospek psikologis Wahyu.

B. Latar Belakang Pendidikan dan Pengalaman
Setelah menamatkan sekolah menengah, Rahman mengambil studi bidang sastra arab di Departeman Ketimuran pada Universitas Punjab. Pada tahun 1942, ia berhasil menyelesaikan studinya di Universitas tersebut dan menggondol gelar M.A dalam sastra Arab. Merasa tidak puas dengan pendidikan di tanah airnya, pada 1946, Rahman melanjutkan studi doktoralnya ke Oxford University, dan berhasil meraih gelar doktor filsafat pada tahun 1951. Pada masa ini seorang Rahman giat mempelajari bahasa-bahasa Barat, sehinga ia menguasai banyak bahasa. Paling tidak ia menguasai bahasa Latin, Yunani, Inggris, Perancis, Jerman, Turki, Persia, Arab dan Urdu. Ia mengajar beberapa saat di Durham University, Inggris, kemudian menjabat sebagai Associate Professor of Philosophy di Islamic Studies, McGill University Kanada.
Sekembalinya ke tanah air, Pakistan, pada Agustus 1962, ia diangkat sebagai direktur pada Institute of Islamic Research. Belakangan, ia juga diangkat sebagai anggota Advisory Council of Islamic Ideology Pemerintah Pakistan, tahun 1964. Lembaga Islam tersebut bertujuan untuk menafsirkan Islam dalam term-term rasional dan ilmiah dalam rangka menjawab kebutuhan-kebutuhan masyarakat modern yang progresif. Sedangkan Dewan Penasehat Ideologi Islam bertugas meninjau seluruh hukum baik yang sudah maupun belum ditetapkan, dengan tujuan menyelaraskannya dengan “Al-Qur’an dan Sunnah”. Kedua lembaga ini memiliki hubungan kerja yang erat, karena Dewan Penasehat bisa meminta lembaga riset untuk mengumpulkan bahan-bahan dan mengajukan saran mengenai rancangan Undang-undang.

C. Pemikiran "Rahman" Tentang Pendidikan Islam
Dalam tradisi intelektual Islam, pendidikan telah lama dikenal, yaitu sejak awal Islam. Pada masa awal pendidikan idektik dengan upaya da'wah Islamiyah, karena itu pendidikan berkembang sejalan dengan perkembangan agama itu sendiri. Menurut Rahman, kedatangan Islam membawa untuk pertama kalinya suatu instrument pendidikan tertentu berbudayakan agama, yaitu al-Qur’an dan ajaran-ajaran Nabi Menurut "Rahman", sejak dari awal masa Islam, ada dua jenis pendidikan di samping pendidikan dasar dan pendidikan tinggi. Jenis pertama, pendidikan sekolah istana. Jenis pendidikan ini diadakan untuk pangeran-pangeran dengan tujuan untuk mencetak mereka menjadi pemim[pin-pemimpin pemerintah kelak. Pendidikan ini mencakup pendidikan agama, tetapi lebih menekankan pada bidang pidato, kesusastraan, dan lain-lain. Sedangkan pendidikan "nilai-nilai kekesatria" di atas segalanya. Jenis kedua, pendidikan orang dewasa karena diberikan kepada orang banyak, yang tujuannya terutama mengajar mereka mengenai al-Qur'an dan agama, dan bukan keterampilan membaca dan menulis. Menurut "Rahman", dari jenis pendidikan inilah tumbuh sekolah-sekolah tingkat tinggi yang tumbuh melalui halaqah-halaqah atau kelompok-kelompok para murid berkumpul mengelilingi seorang guru tertentu.
Untuk itu, dalam pembahasan ini terlebih dahulu berbicara tentang watak ilmu pengetahuan Islam dan Kurikulum yang menyangkut dengan proses pem-baharuan pendidikan tinggi Islam.
1. Watak Ilmu Pengetahuan Islam Era Pertengahan
Rahman, awal mula dan tersebarnya ilmu pengetahuan Islam pada masa-masa awal Islam berpusat pada individu-individu dan bukannya sekolah-sekolah. Kandungan pemikiran Islam juga bercirikan usaha-usaha individual. Tokoh-tokoh istimewa tertentu, yang telah mempelajari hadits dan membangun sistem-sistem theologi dan hukum mereka sendiri di seputarnya, menarik murid-murid dari daerah lain, yang mau menimba ilmu pengetahuan dari mereka. Karena itu, ciri utama pertama dari ilmu pengetahuan tersebut adalah pentingnya individu guru. Sang, guru, setelah memberikan pelajaran seluruhnya, secara pribadi memberikan suatu sertifikat (ijazah) kepada muridnya yang dengan demikian diizinkan untuk mengajar. Ijazah tersebut kadang-kadang diberikan untuk suatu mata pelajaran tertentu (Fihq atau Hadits), Kadang-kadang ijazah tersebut meliputi beberapa mata pelajaran dan kadang-kadang berlaku untuk kitab-kitab khusus yang telah dibaca muridnya. Tetapi ketika madrasah-madarasah mulai munculan, sistem ujian sering diadakan. Tetapi peranan dan prestise guru secara individual adalah sedemikian besarnya sehingga, bahkan sesudah perngorganisasian madrasah-madrasah.
Pada akhir abad pertengahan, mayoritas ilmuwan-ilmuwan yang termasyhur bukanlah produk madrasah-madrasah, tetapi adalah bekas-bekas murid informal guru-guru individu. Berkaitan erat dengan pentingnya guru secara senteral ini adalah fenomena yang dikenal sebagai mencari ilmu (thalabul ilm). Mahasiswa-mahasiswa pengembara melakukan perjalanan-perjalanan yang jauh, kadang-kadang dari ujung ke ujung dunia Islam. Inilah merupakan fenomena studi atau mencari ilmu pengetahuan pada abad pertengahan.
Sistem madrasah ; yang secara luas didasarkan pada sponsor dan kontrol negara, umumnya telah dipandang sebagai sebab kemunduran dan kemacetan ilmu pengetahuan dan kesarjanaan Islam. Tetapi madrasah dengan kurikulumnya yang terbatas, hanyalah gejala, bukan sebab sebenarnya dari kemunduran ini, walaupun mempercepat dan melestarikan kemacetan tersebut. Menurut Rahman, sebab sebenarnya dari penurunan kualitas ilmu pengetahuan Islam adalah kekeringan yang gradual dari ilmu-ilmu keagamaan karena pengucilannya dari kehidupan intelek-tualisme awam yang juga kemudian mati. Para ulama menentang kaum Mu'tazilah dan Syi'ah, para 'Ulama telah memperoleh pengalaman dalam mengembangkan il-mu-ilmu mereka sendiri dan mengajarkannya dengan cara sedemikian rupa yang bisa mengokohkan pertahanan ilmu-ilmu tersebut. Sistem sekolah secara fisik jadi terisolir dari oposisi.
Lebih penting lagi adalah cara di mana isi dari ilmu-ilmu ortodoks tersebut dikembangkan, hingga dapat diisolir dari kemungkinan tantangan dan oposisi.
Susunan dalam ilmu-ilmu keagamaan dibuat sedemikian rupa hingga mem-buatnya tampak mutlak swa-sembada (self-sufficient); ilmu-ilmu keagamaan tersebut menurut Rahman mengisi dan menempati semua bidang ilmu pengetahuan, sehingga semua ilmu pengetahuan yang lain adalah tambahan-tambahan yang tak diperhitungkan, atau sama sekali dikutuk. Pernyataan yang dikutip dari ahli hukum al-Syathibi, menyatakan bahwa mencari ilmu apapun juga yang tidak langsung berhubungan dengan amal adalah terlarang, pandangan ini merupakan ciri khas pandangan ulama zaman pertengahan. Rahman, mengatakan bahwa pernyataan ulama-ulama Islam zaman pertengahan, mengesampingkan filsafat, tetapi sebenarnya juga matematika, kecuali ilmu berhitung dasar. Sikap ini diambil untuk memberikan kedudukan yang mutlak kepada ilmu hukum-fiqh. Sedangkan mengenai theologi dogmatis bersaing dengan ilmu hukum untuk merebutkan kedudukan puncak dalam skema ilmu pengetahuan Islam, ia menegakkan dirinya sebagai pengganti filsafat-rasional.
Lebih lanjut Rahman mengatakan sejak abad ke-6 H/12 M, Fakhruddin al-Razi, memperluas ruang lingkup dengan mencakup logika dari sistem-sistem filosofis, dengan cara menambah teorinya tentang fisika dan filsafat kealaman, dan juga mengganti metafisika filosofisnya dengan thesis-thesis theologi dogmatisnya. Maka, seorang mahasiswa tidak perlu mempelajari semua karya-karya filosofis, karena theologi telah menghasilkan suatu ilmu yang komprehensif. Skema filosofis-theologis itu tidak perlu dicemohkan, karena pemikiran semacam ini merupakan tanda kesuburan dalam pemikiran Islam. Rahman, mengatakan bahwa Thomas Aquinas pun telah melakukan hal yang sama untuk agama Kristen pada zaman pertengahan Eropa. Tetapi bila kandungan skema tersebut dipandang mutlak secar eksklusif, maka ia akan kehilangan semua kemungkinan tantangan kreatif yang mungkin timbul. Maka, menurut "Rahman" apabila secara organis menghubungkan semua bentuk ilmu pengetahuan dan menjadikannya sebagai alat theologi dogmatis, maka sumber-sumber kesuburan intelektual jadi kering dan pemikiran orisinal mati.
Melalui proses ini, menurut "Rahman", dengan sendirinya kurikulum madrasah diredusir secara sangat merugikan yang mengakibatkan timbulnya pandangan yang sempit dan juga menyebabkan pendidikan keagamaan yang tinggi menjadi lesu. Katib Chelebi (w.10-67 H/1657 M) meretapi kelayuan sain-sain rasional dan juga theologi tinggi sebagai berikut: "Tetapi banyak orang tidak cerdas.... yang pasti laksana batu-batu, membeku dalam peniruan kepada nenek moyangnya. Tanpa berpikir lagi, mereka menolak dan mengingkari ilmu-ilmu yang baru. Sebenarnya menurut "Rahman" ada dua pendekatan dasar kepada pengetahuan modern telah dipakai oleh teori-teori Muslim modern (1) memperoleh pengetahuan modern hanya dibatasi pada bidang teknologi praktis karena pada bidang pemikiran murni kaum Muslimin tidaklah memerlukan produk intelektual Barat. (2) Karena kaum Muslimin tanpa takut bisa dan harus memperoleh tidak hanya teknologi Barat saja, tetapi juga intelektualismenya, karena tidak ada jenis pengetahuan yang merugikan, bagaimanapun juga sain dan pemikiran murni telah giat dibudidayakan oleh kaum Muslimin pada awal abad pertengahan, yang kemudian diambil alih oleh orang Barat.
Menurut "Rahman" , pandangan yang pertama mendorong atau melahirkan sikap dualistis pemikiran yang "sekularis", suatu dualitas loyalitas ; kepada agama dan "urusan dunia". Disisi lain Rahman, mengatakan bahwa : (1) berkembangnnya ilmu dan semangat ilmiah dari abad ke-9 sampai abad ke-13 di kalanngan umat Islam berasal dari terlaksananya perintah al-Qur'an untuk mempelajari alam semesta - karya Allah yang memang diciptakan untuk kepentingan manusia, (2) pada abad- abad pertengahan akhir semangat penyelidikan di dunia Islam macet dan merosot, (3) Barat telah melaksanakan kajian-kajian ilmiah yang sebagian besar dipinjamny dari kaum Muslimin dan karena itu mereka memperoleh kemakmuran, bahkan menjajah negeri-negeri Muslim, (4) karena itu umat Islam, dalam mempelajari ilmu baru dari Barat yang maju, berarti meraih kembali masa lampau mereka dan sekaligus untuk memenuhi sekali lagi perintah-perintah al-Qur'an yang terlupakan.
2. Kurikulum dan Pengajaran
Rahman, melihat dengan penyempitan lapangan ilmu pengetahuan umum melalui tiadanya pemikiran umum dan sain-sain kealaman, maka kurikulum dengan sendirinya menjadi terbatas pada ilmu-ilmu keagamaan murni dengan gramatika dan kesusasteraan sebagai alat-alatnya yang memang diperlukan. Mata pelajaran keagamaan murni yang disebut Rahman adalah Hadits atau Tradisi, Fiqh atau Hukum (termasuk 'Ushul al-Fiqh atau Prinsip-prinsip Hukum), Kalam atau theologi, dan Tafsir atau eksegesis al-Qur'an. Dibanyak madrasah sayap kanan Ahl al-Hadits, bahkan theologi dicurigai, maka dengan sendirinya hanya tiga matapelajaran.
Menurut Rahman, kemerosotan gradual standar-standar akademik selama berabad-abad terletak pada fakta bahwa, sangat sedikit buku-buku yang tercantum dalam kurikulum, waktu yang diperlukan untuk belajar sangat singkat untuk bisa menguasai bahan-bahan yang 'kenyal' dan seringkali sulit dipahami pelajaran ilmu keagamaan yang tinggi pada usia yang relatif muda dan belum matang. Akhirnya kondisi belajar lebih banyak bersifat stusi tekstual buku-buku daripada memahami pelajaran yang bersangkutan. Selain itu juga pelajatan lebih banyak bersifat hapalan dari pada pemahaman yang sebenarnya.
Kurikulum dilaksanakan atas metode urutan mata pelajaran. Bahas Arab dan tatabahasa Arab, kesusastraan, ilmu hitung, filsafat, hukum, yurisprudensi, theologi tafsir al-Qur'an, dan Hadits. Si murid melewati kelas demi kelas dengan menyelesaikan satu mata pelajaran dan memulai dengan mata pelajaran yang lain yang lebih tinggi. Dengan demikian sistem ini tidak memberi banyak waktu untuk setiap mata pelajaran. Tugas guru hanya mengajarkan komentar-komentar orang lain, di samping teks aslinya, dan guru tampa menyertai komentarnya sendiri dalam pelajaran tersebut. Selain Rahman mengatakan bahwa persaingan pendapat tentang mata pelajaran mana yang lebih tinggi dari mata pelajaran yang lain. Persaingan antara ilmu hukum dan theologi, dan banyak orang menganggap Hadits yang paling tinggi atau besar di antara semua mata pelajaran, karena hadits menjadi sumber bahan. Bahkan ada beberapa sekolah di mana hampir-hampir satu-satunya mata pelajaran yang diajarkan adalah Hadits, sangat ironis sekali.
Rahman, membenarkan tesa sementara orang yang berbicara tentang kekakuan disiplin-disiplin keagamaan dan orientasi umum pendidikan madrasah terhadap kepentingan-kepentingan keagamaan, namun lapangan pendidikan pada waktu itu, secara keseluruhannya adalah jauh dari kaku. Rahman, mengatakan seorang pemikir abad kedelapanbelas, Syah Waliyullah (w.1174 H/1761 M) telah meninggalkan warisan kurikulumnya sendiri dalam sketsa otobiografinya? Kurikulum tersebut meliputi matematika, astronomi dan kedokteran. Karena itu, sistem madrasah tidak mewakili keseluruhan pendidikan Islam. Karena Syah Waliyullah tidak pernah belajar di madrasah, tetapi hanya belajar privat di rumah dengan ayahnya.
3. Pemikiran "Rahman" Tentang Pendidikan Tinggi Islam
Esensi "Pendidikan Islam", menurut Rahman tidaklah memaksdukan perlengkapan dan peralatan-peralatan fisik atau kuasi-fisik pengajaran seperti buku-buku yang diajarkan ataupun struktur eksternal pendidikan, tetapi adalah apa yang menurut Rahman sebagai "intelektualisme Islam", karena bagi Rahman inilah esensi pendidikan tinggi Islam. Ia adalah pertumbuhan suatu pemikiran Islam yang asli dan memadai, yang harus memberikan kreteria untuk menilai keberhasilan atau kegagalan sebuah sistem pendidikan Islam. Perumusan pemikiran pendidikan tinggi Islam haruslah didasarkan kepada metoda penafsiran yang benar terhadap al-Qur'an. Mengapa masalah al-Qur'an harus ditempatkan sebagai titik pusat intelektualisme Islam. Jawabannya karena bagi Muslim al-Qur'an adalah kalam Allah yang diwahyukan secara harfiah kepada Nabi Muhammad, dan barangkali tidak ada dokumen keagamaan lain yang dipegang seperti itu (Fazlur Rahman, 1982 : 1). Proses penafsiran yang diusulkan terdiri dari suatu gerakan ganda, dari situasi sekarang ke masa al-Qur'an diturunkan, dan kembali lagi ke masa kini. Karena al-Qur'an adalah respons ilahi, melalui ingatan dan pikiran Nabi, kepada situasi moral-sosial Arab pada masa Nabi.
Gerakan ganda yang dikemukakan "Rahman" terdiri dari dua langkah. Pertama, orang harus memahami arti atau makna dari sesuatu pernyataan dengan mengkaji situasi atau problem historis di mana pernyataan al-Qur'an tersebut merupakan jawabannya. "Kedua", menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral sosial umum yang dapat disaring dari ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosio kultural dan rationes legis yang sering dinyatakan. Sedangkan Intelektualisme Islam yang dimaksud yaitu suatu sisi bertolak dari ajaran Islam yaitu Qur'an dan Hadits oriented, dan sisilain dapat dipertanggung jawabkan secara ilmu pengetahuan kontemporer.
Rahman, menawarkan perumusan pemikiran konsep pendidikan tinggi Islam haruslah didasarkan dan berangkat dari pemahaman yang benar dan pendalaman terhadap al-Qur'an, yang berfungsi sebagai petunjuk atau inspirasi bagi generasi muda Islam. Disertasi DR. 'Abdul Rahman Salih, tentang pendidikan berdasarkan al-Qur'an, karena "cara hidup Islami ditentukan dalam al-Qur'an; mengikuti ini, maka fondasi-fondasi teori pendidikan Islam pada dasarnya diambil dari al-Qur'an. Pendekatan apa pun yang mengabaikan fakta fundamental ini pasti akan meng-hasilkan persepsi-persepsi yang tidak akurat" (Abdul Rahman Salih 'Abdullah, Eduucational Theory: a Qur'anic Qutlook., dalam A.Syafi'i Ma'arif : 8).
Rahman, terdapat kesadaran yang luas dan kadang-kadang mendalam akan adanya dikotomi dalam pendidikan, namum semua upaya ke arah integrasi yang asli sejauh ini, pada umumnya tidak membuahkan hasil. Rahman, mengatakan perlu mencermati ciri-ciri pokok upaya-upaya yang dilakukan untuk memperbahrui pendidikan Islam. Pada dasarnya ada dua segi orientasi pembaharuan. Salah satu pendekatannya menerima pendidikan sekuler modern sebagaimana telah berkembang secara umumnya di Barat dan mencoba untuk "mengislamkan"nya - yakni mengisi dengan konsep kunci tertentu dari Islam. Pendekatan ini memiliki dua tujuan : Pertama, membentuk watak pelajar-pelajar/mahasiswa-mahasiswa dengan nilai Islam dalam kehidupan dan masyarakat, dan kedua, untuk memungkinkan para ahli yang berpendidikan modern untuk menamai bidang kajian masing-masing dengan nilai-nilai Islam pada perangkat-perangkat yang lebih tinggi ; menggunakan perspektif Islam, untuk mengubah - di mana perlu - baik kandungan maupun orientasi kajian-kajian mereka.
Menurut Ahmad Syafii Maarif jika proposisi ini atau pendapat "Rahman" dapat diterima , maka paradigma baru pendidikan tinggi Islam haruslah tetap berangkat dari pemahaman yang benar dan cerdas terhadap Kitab Suci itu, yang berfungsi sebagai petunjuk, pencerahan, penawar, sekalipun kemungkinan resikonya adalah bahwa beberapa bangunan pemikiran Islam klasik harus ditolak atau diperkarakan. Cara ini terpaksa ditempuh karena semua bangunan pemikiran tentang: filsafat, teologi, sufisme, sistem hukum, moral, pendidikan, sosial budaya, dan politik, pasti dipengaruhi oleh suasana ruang dan waktu. Analog dengan ini, maka hasil pemikiran kitapun juga akan diperkarakan oleh generasi sesudah kita kalau ternyata hasil pemikiran itu dinilai telah kehilangan kesegaran dan elan vital untuk menjawab persoalan-persoalan zaman yang salalu berubah.
Lebih lanjut, Ahmad Syafii Maarif mengatakan bahwa salah satu penyebab tersungkurnya dunia Islam adalah karena pendidikan yang diselenggarakan tidak lagi mengacu kepada dan mengantisipasi zaman yang sedang berubah dan bergulir. Umat sibuk "bernyanyi" di bawah payung kebesaran masa lampau dengan sistem politik dinasti otoriter. .....Proses penyadaran kembali terhadap tanggung-jawab global umat ternyata memakan tempo yang lama sekali, karena pendidikan yang diselenggarakan sangat konservatif dalam arti menjaga dan melestarikan segala yang bersifat klasik. Daya kritis dan inovatif hampir-hampir lenyap samasekali dari ruangan madrasah, pondok, dan lembaga pendidikan lainnya di seluruh negeri Muslim.
Rahman, melihat ada dua arah upaya-upaya pembaharuan yang sedemikian jauh telah dilakukan. Dalam satu arah, pembaharuan ini telah terjadi hampir seluruhnya dalam kerangka pendidikan tradisional sendiri. Perubahan ini sebagian besar digerakkan oleh fenomena pembahruan pra-modernis,....pembaharuan ini telah cenderung "menyederhanakan" sillabus pendidikan tradisional, yang dilihatnya sarat dengan materi-materi "tambahan yang tak perlu" seperti theologi zaman pertengahan, cabang-cabang filsafat tertentu (seperti logika). Pada arah kedua, suatu keragaman perkembangan telah terjadi, yang bisa diringkas dengan mengatakan bahwa ragam-ragam perkembangan tersebut semuanya mencerminkan upaya untuk menggabungkan dan memadukan cabang-cabang pengetahuan modern dengan cabang-cabang pe-ngetahuan lama. Dalam kasus seperti ini, lama waktu belajar diperpanjang dan disesuaikan dengan panjang lingkup kurikulum. Rahman, melihat atau catatan percobaan di Indonesia, ditunjang dengan pelajaran-pelajaran sore hari yang diseleng-garakan menurut cara pendidikan rendah modern dari sekolah-sekolah masa kini dengan demikian memperpanjang jam belajar dan bukannya menambah jumlah tahun belajar. Sedangkan pada tingkat akademi, dalam percobaan di Indonesia, upaya-upaya ditujukan pada penggabungan ilmu-ilmu modern dengan ilmu-ilmu tradisional.
Banyak lembaga pendidikan tinggi Islam di Indonesia telah menekankan pelajaran bahasa Arab, dan banyak mahasiswa dan sarjana Indonesia bisa berbicara secara lancar dengan bahasa Arab klasik. Banyak lembaga pendidikan Islam Indonesia mengadakan hubungan dengan al-Azhar melalui guru-guru besar tamu yang datang dari al-Azhar. Selain itu sejumlah mahasiswa Indonesia yang dikirim untuk belajar ke al-Azhar. Maka, dalam pandangan "Rahman", kemungkinan besar apabila diberikan waktu, kesempatan, dan kemudahan-kemudahan, Islam Indonesia pasti akan mampu mengembangkan suatu tradisi Islam pribumi yang bermakna, yang akan benar-benar bersifat Islam kreatif.
Percobaan-percobaan ini tak syak lagi adalah percobaan-percobaan yang di-laukan oleh al-Azhar Mesir dan sistem baru pendidikan Islam diperkenalkan di Turki sejak akhir tahun-tahun 1940-an. Rahman, menilai modernisasi al-Azhar, sebagai sampel lembaga pendidikan ilmu-ilmu keislaman, sekalipun telah diupayakan semenjak abad kesembilan belas, dapat dikatakan tak berubah dalam prosisi intelektual - spiritualnya. Menurutnya, efek pembaruan pada al-Azhar baru dirasakan dalam lapangan reorganisasi, sistem ujian, dan pengenalan pokok-pokok kajian baru, dan tidak dalam kandungan ilmu-ilmu Islam inti seperti teologi dan filsafat.
Rahman menilaia tesa yang dikemukakan oleh 'Abdul Muta'al al-Sha'idi yang menyatakan bahwa pendidikan yang diberikan di al-Azhar tidak bisa melahirkan mujtahid-mujtahid besar, yakni orang-orang yang mempunyai kemampuan dan kehendak untuk melakukan pemikiran baru dalam berbagai aspek pemikiran Islam, sebagai sebuah "truisme".
Tampaknya, kurikulum pendidikan Islam tingkat tinggi yang dikehendaki oleh Rahman adalah kurikulum yang terbuka bagi kajian-kajian filsafat dan sain-sain sosial. Rahman, sangat menekankan peranan filsafat sebagai kegiatan kritis analtis dalam melahirkan gagasan-gagasan yang bebas. Dalam hal ini filsafat berfungsi menyediakan alat-alat intelektual bagi teologi dalam menjalankan tugasnya "mem-bangun suatu pandangan dunia berdasarkan al-Qur'an". Rahman memandang penting keterlibatan sains-sains sosial. Sains-sains tersebut merupakan produk perkembangan modern yang berguna dalam memberikan keterangan kondisi obyektif suatu kehidupan dunia yang obyektif pengejawantahan ajaran-ajaran al-Qur'an.
4. Posisi Pemikiran Rahman dengan Pemikir Kontemporers Lainnya
Rumusan Rahman tentang pendidikan Islam, apabila dibandingkan dengan Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf (1979 : 21-22), mengatakan bahwa, pada saat sekarang ini ada dua sistem pendidikan. Pertama, sistem tradisional, yang telah membatasi dirinya pada pengetahuan klasik, belum menunjukkan minat yang sungguh-sungguh pada cabang-cabang pengetahuan baru yang telah muncul di dunia Barat atau pada metode-metode baru untuk memperoleh pengetahuan yang penting dalam sistem pendidikan Barat. Sistem ini memang berguna untuk pengetahuan teologi klasik, tapi para ahli teologi klasik yang dilahirkan dari sistem ini pun tidak cukup mendapat bekal pengetahuan intetelektual atau suatu metoda guna menjawab tantangan-tantangan dari peradaban teknologi modern yang tak mengenal Tuhan. Sistem pendidikan kedua yang didatangkan ke negeri-negeri Muslim, yang disokong dan didukung sepenuhnya oleh semua pemegang pemerintah, adalah sistem yang dipinjam dari dunia Barat. Puncak dari sistem ini adalah Universitas modern yang bersifat sekuler keseluruhannya dan karena tidak mengindahkan agama dalam pendekatannya terhadap pengetahuan. Orang-orang yang didik melalui sistem pendidikan baru ini, yang dikenal sebagai pendidikan modern, pada umunya tidak menyadari akan tradisi dan warisan klasik mereka sendiri. Kemudian diciptakannya sistem ketiga yang mancakup suatu sistem pendidikan yang terpadu memang perlu, tetapi kepaduan bukanlah suatu proses yang gampang. Ada kekhawatiran sistem perpaduan ini menuntut penghapusan total atas sistem pendidikan tradisonal, atau penurunan keududukan dari sistem itu sampai sedemikian rupa sehingga orang-orang akan memandang rendah padanya, atau tidak menghargai mereka yang ingin mengambil spesialisasi dalam cabang itu.
Dari pendapat ini ada peluang terjadi dikotomi pendidikan Islam, artinya ada dualisme sistem pendidikan Islam dan pendidikan umum yang memisahkan kejian-kajian agama dengan ilmu pengetahuan. Sistem pendidikan yang dikotomi ini menyebabkan pendidikan Islam belum mampu melahirkan mujtahid-mujtahid besar. Pendidikan Islam merupakan lembaga pendidikan ilmu-ilmu keislaman efek pembaharuannya baru dirasakan dalam lapangan reorganisasi, dan tidak dalam kandungan ilmu-ilmu Islam seperti teologi dan filsafat. Pendidikan Tinggi Islam belum mampu membangun paradigma baru yang tetap berangkat dari pemahaman al-Qur'an, sehingga mampu melahirkan apa yang disebut Rahman dengan "intelektualisme Islam".

D. Pemikiran Fazlur Rahman Memahami Islam dengan Metodologi Tafsirnya
Pandangan Rahman mengenai al-Qur’an merupakan landasan bagi perumusan metodologi tafsirnya. bahwa al-Qur’an itu adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW, menurut Rahman, merupakan kepercayaan pokok. Tanpa kepercayaan ini, tidak seorang pun yang bahkan dapat menjadi muslim nominal (hanya nama saja). Karena itu, Rahman memberikan argumen yang sangat kokoh untuk menegaskan kemapanan karakter wahyu dari al-Qur’an ini. Rahman mengutip kembali apa yang telah ditulisnya dalam Islam:
Bagi al-Qur’an sendiri, dan konsekwensinya juga bagi kaum muslimin, al-Qur’an adalah kalam Allah. Muhammad juga dengan tegas meyakinai bahwa ia adalah penerima risalah dari Tuhan, yang sepenuhnya lain, demikian hebatnya, hingga ia menolak atas dasar kuatnya keyakinan ini beberapa klaim mendasar dari tradisi Yudeo-Kristiani mengenai Ibrahim dan nabi-nabi lainnya.
Konsepsinya mengenai al-Qur’an secara sederhana dapat dijabarkan ke dalam nuktah-nuktah sebagai berikut:
1. Al-Qur’an secara keseluruhannya adalah kalam Allah, dan dalam pengertian biasa, juga seluruhnya adalah perkataan Muhammad
2. Al-Qur’an adalah respon Ilahi, melalui ingatan dan pikiran nabi, terhadap situasi moral-sosial arab pada masa nabi, khususnya kepada masalah-masalah masyarakat dagang makkah pada waktu itu.
3. Karenanya, semangat atau elan vital al-Qur’an adalah semangat moral, darimana ia menekankan monoteisme dan keadilan sosial. Hukum moral adalah abadi, ia adalah hukum Allah. al-Qur’an terutama sekali adalah sebuah prinsip-prinsip dan seruan-seruan keagamaan serta moral, bukan sebuah dokumen legal. Karenanya, keabadian kandungan legal spesifik al-Qur’an terletak pada prinsip-prinsip moral yang menasarinya, bukan pada ketentuan-ketentuan harfiahnya.
4. Al-Quran merupakan sosok ajaran yang koheren dan kohesif. Kepastian pemahaman tidaklah terletak pada arti dari ayat-ayat individual al-Qur’an, tetapi terdapat pada al-Qur,an secara keseluruhan, yakni suatu satu set prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang koheren di mana keseluruhan ajarannya bertumpu.

Sampai pada titik ini, Rahman menandaskan bahwa tujuan ideal-moral al-Qur’an yang merupakan elan vitalnya itu telah terkubur dalam endapan geologis sebagai akibat dari proses reifikasi yang begitu panjang. Hal ini merupakan harga yang harus dibayar (cost) dari perluasan wilayah Islam yang terlalu cepat, tanpa diimbangi infrastruktur tingkat pemahaman keagamaan yang memadai. Karena itu, metodologi yang diharapkan adalah metodologi yang, tentu saja, bisa menembus endapan sejarah tersebut sampai lapisan terdalam.
Dengan demikian, dapat pahami bahwa tujuan metodologi tafsir bagi Rahman adalah untuk menangkap kembali pesan moral universal al-Qur’an yang obyektif itu, dengan cara membiarkan al-Qur’an berbicara sendiri, tanpa ada paksaan dari luar dirinya, untuk kemudian diterapkan pada realitas kekinian. Misalnya, dalam masalah hukum, bagi Rahman, tujuan tafsirnya adalah untuk menangkap resiones logis yang berada di balik pernyataan formal al-Qur’an. Untuk inilah Rahman sering menyebut-nyebut kasus ijtihad Umar bin Khaththab yang dinilainya sebagai preseden baik (uswah) untuk mengeneralisasikan prinsip-prinsip dan nilai-niali umum yang berada di bawah permukaan Sunah dan bahkan teks al-Qur’an
.
E. Rekonstruksi Sains Islam
1. Periode Historis
Proposisi bahwa hukum dan lembaga-lembaga syari’ah harus bersumber secara metodik dan sistematik dari al-Qur’an dan teladan Rasul yakni prilaku total beliau dalam cara yang dilukiskan di atas tidak berarti bahwa sains-sains Islam, sebagaimana telah bermula dan berkembang secara histories, harus diabaikan ataupun dibuang. Sungguh sains-sains tersebut tidak dapat diabaikan ataupun dibuang karena alasan-alasan pokok tertentu. Pertama-tama, Islam historislah yang memberiken kontinuitas kepada wujud intelektual dan spiritual masyarakat. Tidak ada satu masyarakat pun yang dapat menghapus masa lalunya dan berharap menciptakan wujud masa depan bagi dirinya.
Faktor yang telah menghasilkan kemampuan mencerna yang besar bisa kita sebut sebagai konservatisme atau semangat ijma’ (konsensus), yang tergantung dari sudut pandang yang kita pilih, tetappi kenyataanyna tetap saja, adalah sangat sulit untuk menggerakkan masyarakat seccara keseluruhan. Apabila orang mempelajari litratur hukum dan litratur spekulatif Islam yang luas dan kaya (bahkan dengan mengesampinngkan sufisme), orang akan menemukan gagasan-gagasan yang mengejutkan, bahkan revolusioner, dalam tulisan tokoh-tokoh yang merupakan otoritas ’’ortodoks’’ tingkat tinggi, tetapi tidak satupun dari gagasan-gagasan tersebut yang menimbulkan bekas dalam wujud masyarakat. Perubahan-perubahan di masyarakat selamanya telah terjadi apabila proses kumulatif telah mencapai titik ’’ledak’’ yang secara harfiah akan setuju dengan pendekatan penyesuaian-penyesuaian secara persial, lambat dan tambal-sulam.
Arti dari proposisi saya bahwa perumusan-perumusan histories Islam yang bersisfat hukum, teologis, spiritual tidaklah bisa diabaikan ataupun dibuang, yang terdiri dari dua bagian, bagian yang pertama seperti yang telah saya isyaratkan diatas, adalah bahwa apabila kita memandang al-Qur’an dalam keadaan sekarang ini, seolah-olah ia baru saja diturunkan oleh karena itulah arti dari membuang Islam histories (dari prespektif ini, sunnah atau perilaku hidup Rasul sendiri berfungsi, sebagiannya, sebagai Islam histories bagi pemahaman al-Qur’an) kita bahkan tidak akan mampu untuk memahaminya. Secara relegius, tak syak lagi al-Qur’an harus seolah-olah dianggap ia di wahyukan kepada nurani tiap orang beriman dan kaum sufi kadang-kadang melakukan hal ini secara ekstrim tetapi ia hanya bisa dianggap di wahyukan kepada nurani seorang beriman sesudah ia dipahami dengan selayaknya, yang menuntut orang untuk menempatkan ajaran-ajaran social dan hukumnya dalam latar historisnya.
Bagian kedua dari arti proposisi ini adalah bahwa kita harus melakukan kajian yang menyelurh, kajian histories dan sistematis, mengenai perkembangan-perkembangan disiplin Islam. Kebutuhan akan kajian yang kritis atas masa lampau Islam intelektual menjadi makin mendesak, disebabkan oleh adanya kompleks psiklogis yang telah tumbuh dalam diri kita dalam menghadapi Barat, kita lalu mempertahankan masa lampau tersebut dengan sepenuh jiwa. Kepekaan paling besar terpaut pada hadis, walaupun pada umumnya diakui bahwa kecuali al-Qur’an, semua yang lain tak lepas dari kemungkinan campur tangan sejarah yang merusak.
2. Rekonstruksi Sistematis
Teologi. Sebuah kritik histories terhadap perkembangan-perkembangan dalam teologi dalam Islam adalah langkah pertama kearah rekonstruksi teologi Islam. Haruslah mengungkapkan lingkup ketidak sesuaian antara pandangan dunia al-Quran dengan berbagai aliran spekulasi teologis dalam Islam dan menunjukan ke arah suatu teologi yang baru. Dengan mengesampingkan berbagai doktrin teologis yang bersifat spekulatif dan berlebih-lebihan dari kaum bathini (esoterisis Islam) dan banyak kaum sufi, aliran-aliran ’’rasional’’ (Mu’tazilah) dan ’’tradisionalis’’ (Asy’ariyah) yang bertentangan, memberi pandangan yang efektif dalam masalah yang sangat peka ini. Sementara mengakui bahwa semua rumusan-rumusan teologis dengan sendirinya terpengaruh oleh campur tangan zaman dan waktu, orang harus menuntut bahwa rumusan-rumusan seperti itu mestilah setia paling tidak kepada struktur dasar gagasan-gagasan agama yang mewakilinya.
Adalah filsuf penyair Muhammad Iqbal yang mengusahakan suatu pendekatan baru terhadap teologi Islamdalam bukunya Reconstruction of Relegious Thougt in Islam. Iqbal adalah seorang pengkaji filsafat Barat modern dan mistisme Islam (terutama dalam bahasa Persia) yang cerdas dan bersermangat tetapi ia bukan seorang sarjana tradisi teologi Islam atau sarjana al-Qur’an (betapapun ia banyak membacanya untuk memperoleh inspirasi). Bagi saya Iqbal nampaknya telah dengan tepat memahami dorongan utama al-Qur’an adalah dinamis dan berorientasi kepada tindakan berusaha mengarahkan sejarah pada pola nilai spiritual dan mencoba menciptakan suatu tatanan dunia.
Hukum dan Etika. Selama ini para sarjana Muslim belum pernah mengupayakan suatu etika al-Qur’an, baik secara sistematis atau pun tidak.Namun siapa pun yang telah mempelajari al-Qur’an, secara cermat pasti akan terkesan oleh semangat etikanya. Etika al-Qur’an, sungguh, adalah esensinya, dan merupakan mata rantai yang perlu antar teologi dan hukum. Adalah benar bahwa al-Qur’an cenderung mengkongkritkan hal-hal yang bersifat etis, untuk membungkus hal-hal yang umum dalam suatu pradigma yang khusus, dan menerjemahkan hal-hal yang bersifat etis ke dalam perintah-perintah yang bersifat hukum atau setengah hukum. Tetapi adalah merupakan tanda semangat moralnya bahwa al-Qur’an tidak puas hanya dengam proporsi-proporsi etis yang bisa di generalisasikan, tetapi mendesak untuk menterjemahkan ke dalam pradigma-pradigma aktual.
Nilai-nilai moral adalah poros yang penting dari keseluruhan system dan dari nilai-nilai tersebut tumbuhlah suatu hukum. Karenanya hukum adalah bagian terakhir dari mata rantai ini dan mengatur semua pranata ’’agama’’, sosial, politik, dan ekonomi masyarakat. Karena hukum harus dirumuskan atas dasar nilai-nilai moral, dengan sendirinya ia akan berhubungan secara organis dengannya. Akan tetapi, karena hukum mengatur kehudupan keseharian masyarakat, dalam setiap perubahan social ia harus ditafsirkan kembali.
Filsafat. Dalam Islam zaman pertengahan, dengan berbasis pemikiran filsafat Yunani, serangkaian pemikiran yang cemerlang dan orisinal telah membangun suatu wawasan sistematis dan komperhensif dengan konsep-konsep kunci dan doktrin-doktrin Islam tertentu yang hasilnya memberikan kepuasan kepada diri mereka dan banyak kaum intelegensia Muslim yang berpikiran canggih. Filsafat adalah sebuah kebutuhan intelektual yang abadi dan mesti dibiarkan tumbuh subur baik demi dirinya sendiri maupun demi disiplin yang lain, karena ia menanamkan semangat kritis analistis yang sangat diperlukan dan melahirkan gagasan-gagasan baru yang menjadikan alat intelektual yang penting bagi sains-sains yang lain, tak kurang bagi agama dan teologi. Karena suatu bangsa yang membuang kekayaan filsafatnya berarti mencampakkan dirinya dalam bahaya kelaparan dalam hal gagasan-gagasan segar melakukan bunuh diri intelektual.
Ilmu-ilmu Sosial. Ilmu-ilmu social, sebagai sosok pengetahuan yang disistematikan, yakni sebagai disiplin-disiplin ilmu, adalah suatu fenomena modern. Ilmu-ilmu tersebut tak syak lagi merupakan perkembangan yang sangat penting, karena menjadikan manusia yang ada di masyarakat sebagai objek kajiannya, ilmu-ilmu tersebut bisa bercerita banyak kepada kita tentang bagaimana tentang kelompok-kelompok maanusia sesungguhnya berprilaku dalam berbagai lapangan keyakinan dan tindakan manusia.

KESIMPULAN
Dari apa yang diuraikan makalah Islam dan Modenitas pemikiran Fazlur Rahman di atas, dapat kami simpulkan sebagai berikut:
1. Kemunculan gagasan Rahman dilatarbelakangi oleh pengamatanya terhadap perkembangan pendidikan Islam di era modern di beberapa negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam seperti Turki, Indonesia, Mesir dan Pakistan. Menurut Rahman Pendidikan islam di negara-negara tersebut masih dihadapkan kepada beberapa problema pendidikan yang antara laian berkaitan dengan; (1) Tujuan Pendidikan tidak diarahkan kepada tujuan yang positif. (2) Dikotomi sistem pendidikan (3) Rendahnya kualitas anak didik, munculnya pribadi-pribadi yang pecah dan tidak lahirnya anak didik yang memiliki komitmen spiritual dan intelektual yang mendalam terhadap Islam
2. Fazlur Rahman menawarkan perumusan pemikiran konsep pendidikan tinggi Islam yang hendak dikembangkan haruslah dibangun di atas sebuah paradigma yang kokoh spritual, intelektual, dan moral dengan al-Qur'an sebagai acuan pertama dan utama. Karena dengan paradigma model inilah akan membangun peradaban akan datang yang unggul secara intelektual, anggun secara moral yang berdasarkan al-Qur'an.
3. Tawaran kurikulum yang sifatnya terbuka bagi kajian-kajian filsafat dan sain-sain sosial. Karena itu, Rahman sangat menekankan peranan filsafat sebagai kegiatan kritis analtis dalam melahirkan gagasan-gagasan yang bebas. Dalam hal ini filsafat berfungsi menyediakan alat-alat intelektual bagi teologi dalam menjalankan tugasnya "mem-bangun suatu pandangan dunia berdasarkan al-Qur'an". Maka, Rahman memandang penting keterlibatan sains-sains sosial dalam khasanah pendidikan Islam.


DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Syafi’i Maarif, Pengembangan Pendidikan Tinggi Post Graduate Studi Islam Melalui Paradigma Baru yang Lebih Efektif, Makalah Seminar, 1997.
Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer Tentang isu-isu Global, (Jakarta: Paramadina, 2003)
Fazlur Rahman, “Membangkitkan Kembali Visi Al-Qur’an: Sebuah Catatan Otobiografis”, dalam Jurnal Al-Hikmah, Dzulhijjah 1412-Rabi’ Al-Awwal1413/Juli-Oktober 1992
Fazlur Rahman, al-Qur'an dan Pemikirannya dalam Islam, Edisi Indonesia, Pustaka, Bandung, 1984.
TaufikAdnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi Atas Pemikiran Hukum fazlur Rahman, (Bandung: Mizan, 1996).
Taufik Adnan Amal, “Fazlur Rahman dan Usaha-usaha Neomodernisme Islam Dewasa Ini”, dalam Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif.

A. Pengertian Ayat
Kata âyah (آيَةٌ) adalah bentuk tunggal dari kata âyât (آيَاتٌ). Menurut pengertian etimologi, kata itu dapat diartikan sebagai mu‘jizah (مُعْجِزَةٌ = mukjizat), ‘alâmah (عَلاَمَةٌ = tanda), atau ‘ibrah (عِبْرَةٌ = pelajaran). Selain itu, âyah (آيَةٌ) dapat diartikan pula sebagai al-amrul-‘ajîb (اَْلأَمْرُ اْلعَجِيْبُ = sesuatu yang menakjubkan) dan jamâ‘ah (جَمَاعَةٌ = kelompok, masyarakat), al-burhân/ad-dalîl (اَلْبُرْهَانُ/الدَّلِيْلُ = keterangan/penjelasan). Jika dikaitkan dengan istilah Alquran, âyah (آيَةٌ) berarti huruf-huruf hijaiyah atau sekelompok kata yang terdapat di dalam surah Alquran yang mempunyai awal dan akhir yang ditandai dengan nomor ayat.

Dalam bentuk tunggal kata âyah (آيَةٌ) di dalam Alquran disebut 86 kali, seperti dalam QS. Al-Baqarah [2]: 106; dalam bentuk mutsannâ (dua), ayatain (آيَتَيْنِ) disebut satu kali, yaitu dalam QS. Al-Isra’ [17]: 12, sedangkan dalam bentuk jamak, âyât (آيَاتٌ) disebut 290 kali, seperti dalam QS. Al-Baqarah [2]: 61 dan QS. Al-An‘âm [6]: 4. Dalam bentuk tunggal, kata âyah (آيَةٌ) paling banyak disebut dalam QS. Al-Baqarah [2], QS. Al-An‘âm [6], dan QS. An-Nahl [16] masing-masing tujuh kali, sedangkan dalam bentuk jamak kata itu banyak disebut: dalam QS. آli ‘Imrân [3] sebanyak 18 kali, QS. Al-An‘âm [6] sebanyak 25 kali, dan QS. Al-A‘râf [7] sebanyak 24 kali.

Semua pengertian âyah (آيَةٌ) yang dikemukakan di atas digunakan oleh Alquran. Kata itu di dalam Alquran disebut dalam berbagai konteks pembicaraan. Kata âyah (آيَةٌ) yang disebut dalam QS. Al-Baqarah [2]: 106 misalnya, terkait dengan pembicaraan ayat tentang pengertian ayat-ayat Alquran, yang berhubungan dengan persoalan nasakh di dalam Alquran. Di dalam ayat itu dinyatakan bahwa suatu ayat yang di-nasakh akan digantikan dengan ayat lain yang lebih baik daripada itu, atau yang sama dengan itu. Ayat ini dijadikan dasar oleh sebagian ulama untuk menyatakan bahwa di dalam Alquran terdapat ayat-ayat yang me-nasakh dan ayat-ayat yang di-mansukh.

Dari penggunaannya di dalam Alquran dapat disimpulkan bahwa pengertian kata âyah (آيَةٌ) dapat diartikan dengan “ayat-ayat yang berkaitan dengan kitab suci dan Alquran” apabila di dalam ayat itu kata tersebut dikaitkan dengan kata-kata nazala (نَزَلَ = turun) dan kata-kata lain yang seasal dengan itu atau adanya tantangan yang ditujukan kepada orang-orang untuk membuat sesuatu yang sama dengan ayat-ayat Alquran. Apabila kata ayat dikaitkan dengan kata Allâh (الله) dan segala kata ganti yang berkaitan dengan-Nya, maka kata itu dapat diartikan dengan dua pengertian, yaitu pertama dengan “ayat-ayat Alquran” dan dapat pula dengan “sesuatu yang menunjuk kepada kebesaran dan kekuasaan Allah”. Jika kata âyah (آيَةٌ) yang dihubungkan dengan ungkapan-ungkapan li qaumin yatafakkarûn (لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنَ), ya‘qilûn (يَعْقِلُوْنَ), yasma‘ûn (يَسْمَعُوْنَ), yadzdzakkarûn (يَذَّكَّرُوْنَ) atau yang semakna dengan itu, maka kata itu diartikan sebagai “tanda-tanda kebesaran Allah Swt”. Ayat dalam pengertian ini cukup banyak diungkapkan di dalam Alquran, antara lain dalam QS. Al-Hijr [15]: 77, QS. An-Nahl [16]: 11, dan QS. Al-Anbiyâ’ [21]: 91.

B. Jumlah Ayat al-Qur’an dan Sebab Perbedaan penghitungannya
Para ulama sepakat mengatakan bahwa jumlah ayat Al-Quran lebih dari 6.200 ayat. Namun berapa ayat lebihnya, mereka masih berselisih pendapat.

Menurut Nafi' yang merupakan ulama Madinah, jumlah tepatnya adalah 6.217 ayat. Sedangkan Syaibah yang juga ulama Madinah, jumlah tepatnya 6214 ayat. Lain lagi dengan pendapat Abu Ja'far, meski juga merupakan ulama Madinah, beliau mengatakan bahwa jumlah tepatnya 6.210 ayat.

Menurut Ibnu Katsir, ulama Makkah mengatakan jumlahnya 6.220 ayat. Lalu 'Ashim yang merupakan ulama Bashrah mengatakan bahwa jumlahnya jumlah ayat al-Quran ialah., 6205 ayat.

Hamzah yang merupakan ulama Kufah sebagaimana yang diriwayatkan mengatakan bahwa jumlahnya 6.236 ayat.
Dan pendapat ulama Syria sebagaimana yang diriwayatkan oleh Yahya Ibn al-Harits mengatakan bahwa jumlahnya 6.226 ayat. Sebenarnya tidak ada yang beda di dalam ayat al-Quran. Semua pendapat di atas berangkat dari ayat-ayat Al-quran yang sama.Yang berbeda adalah ketika menghitung jumlahnya dan menetapkan apakah suatu potongan kalimat itu menjadi satu ayat atau dua ayat.

Ada orang yang menghitung dua ayat menjadi satu. Dan sebaliknya juga ada yang menghitung satu ayat jadi dua. Padahal kalau dibaca semua lafadz al-Quran itu, semuanya sama dan itu itu juga. Tidak ada yang berbeda. Lalu mengapa menjadi beda dalam menentukan apakah satu lafadz itu satu ayat atau dua ayat? Jawabnya adalah dahulu Rasulullah SAW terkadang diriwayatkan berhenti membaca dan menarik nafas. Pada saat itu timbul asumsi pada sebagian orang bahwa ketika Nabi menarik nafas, di situlah ayat itu berhenti dan habis. Sementara yang lain berpandangan bahwa Nabi SAW hanya sekedar berhenti menarik nafas dan tidak ada kaitannya dengan berhentinya suatu ayat. Lagian, Nabi SAW saat itu juga tidak menjelaskan kenapa beliau menarik nafas dan berhenti. Dan tidak dijelaskan juga apakah berhentinya itu menunjukkan penggalan ayat, atau hanya semata-mata menarik nafas karena ayatnya panjang.

Dilihat dari jumlah ayat yang terdapat dalam al-Quran, para ulama mempunyai perbedaan pendapat. Abu Abdurrahman As-Salmi, salah seorang ulama Kufah, menyebutkan bahwa ayat-ayat al-Quran berjumlah 6.236 ayat. Jalaluddin As-Suyuti, seorang ulama tafsir dan fiqh, menyebutkan 6.000 ayat. Imam Al-Alusi menyebutkan 6.616 ayat. Perbedaan pandangan mereka dalam hal ini tidak disebabkan karena perbedaan mereka menyangkut ayat-ayatnya, tetapi disebabkan oleh perbedaan cara mereka menghitungnya. Apakah basmalah dihitung pada masing-masing setiap surat atau dihitung satu saja. Apakah setiap tempat berhenti merupakan satu ayat atau bagian dari ayat. Apakah huruf-huruf hijaiyah pada awal surat merupakan ayat yang berdiri sendiri atau digabung dengan ayat sesudahnya. Demikian seterusnya, sehingga timbul perbedaan di kalangan ulama.

Ayat-ayat al-Quran yang dimulai dari ayat pertama surat pertama (S. Al-Fatihah) sampai dengan ayat terakhir surat terakhir (S. An-Nas) disusun secara tauqifi, yaitu berdasarkan petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Allah dan Rasulullah Saw, tidak berdasarkan ijtihad para sahabat. Pengelompokan al-Quran berdasarkan ayat-ayat mengandung beberapa hikmah. Di antara hikmah-hikmah itu ialah: (1) untuk memudahkan mengatur hafalan dan mengatur waqaf (berhenti) berdasarkan batas-batas ayat; dan (2) untuk memudahkan penghitungan jumlah ayat yang dibaca pada saat melakukan shalat atau khutbah.

Dilihat dari periode turunnya, ayat-ayat al-Quran oleh para ulama dikelompokkan atas ayat-ayat Makkiyyah dan Madaniyyah. Terdapat tiga pendapat para ulama dalam memberikan pengertian Makkiyyah dan Madaniyyah. Pendapat pertama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat-ayat Makkiyyah adalah ayat-ayat yang turun di Mekah dan sekitarnya, walaupun sesudah hijrah, dan Madaniyyah ialah ayat-ayat yang turun di Madinah. Pendapat kedua menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Makkiyyah ialah ayat-ayat yang ditujukan kepada masyarakat Makkah yang antara lain ditandai dengan ungkapan yâ ayyuhan-nâs (يآأَيُّهَاالنَّاسُ) dan yang Madaniyyah ialah ayat-ayat yang turun untuk ditujukan kepada masyarakat Madinah yang sudah beriman, yang antara lain ditandai dengan ungkapan yâ ayyuhal-ladzîna âmanû (يآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا). Pendapat ketiga, merupakan pendapat yang populer, menyatakan bahwa ayat Makkiyyah ialah ayat-ayat yang turun sebelum Nabi Muhammad Saw. berhijrah ke Madinah walaupun turunnya di tempat selain Makkah, sedangkan ayat-ayat Madaniyyah ialah ayat-ayat yang turun sesudah hijrah walaupun turun di Makkah.

Dilihat dari segi jumlahnya, ayat-ayat Makkiyyah lebih banyak dibandingkan dengan ayat-ayat Madaniyyah. Dari ayat-ayat al-Quran yang berjumlah 6.236 itu, ayat-ayat Makkiyyah berjumlah 4.726 buah, sedangkan ayat-ayat Madaniyyah berjumlah 1.510 buah. Ini berarti bahwa tiga perempat dari jumlah ayat-ayat al-Quran adalah Makkiyyah.



C. Perbedaan pendapat Tentang Ayat Pertama dan Terakhir Turun

Ayat-ayat al-Quran yang secara lengkap sampai kepada kita saat kini tidak diturunkan sekaligus, tetapi diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan kaum muslimin pada awal Islam itu. Ini berarti bahwa di antara ayat-ayat itu ada yang turun pertama sekali, ada yang turun terakhir sekali, dan ada pula yang turun pada periode-periode di antara keduanya. Di dalam hal ini ada empat pendapat para ulama. Pertama, ulama yang mengatakan bahwa ayat yang pertama turun adalah Ayat 1–5 dari S. Al-‘Alaq [96] berdasarkan, antara lain, hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah Ra. yang menceriterakan kejadian yang dialami Nabi ketika menerima wahyu itu. Kedua, ulama yang menyatakan bahwa ayat yang pertama turun adalah Ayat 1–5 dari QS. Al-Muddatstsir [74], berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abi Salmah bin Abdur Rahman bin ‘Auf. Ketiga, ulama yang berpendapat bahwa ayat yang pertama turun adalah QS. Al-Fâtihah [1], berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari Abu Maisarah ‘Umar bin Syurahbil. Adapun yang keempat, menyatakan ayat yang pertama turun ialah bismillâhir-rahmânir-rahîm, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Al-Wahidi dari Ikrimah dan Al-Hasan.

Mayoritas ulama menyatakan bahwa pendapat yang paling kuat adalah pendapat pertama, yakni Ayat 1–5 dari QS. Al-‘Alaq [96] merupakan wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad Saw, dan tidak satu pun wahyu yang turun sebelum itu. Tiga pendapat lainnya oleh Az-Zarqani dikompromikan sebagai berikut; Ayat 1–5 dari QS. Al-Muddatstsir [74] merupakan ayat-ayat yang turun pertama kali setelah beberapa saat lamanya terjadi kekosongan turunnya wahyu setelah turunnya Ayat 1–5 dari QS. Al-‘Alaq [96]. Ayat-ayat dari QS. Al-Fâtihah [1] mungkin dapat dipandang sebagai surah al-Quran yang diturunkan pertama kali secara lengkap mulai dari ayat pertama sampai dengan ayat terakhir. QS. Al-Fâtihah [1] itu turun beberapa saat lamanya setelah Muhammad diangkat sebagai Nabi.

Mengenai ayat yang terakhir turun, juga terdapat perbedaan pendapat para ulama. Menurut az-Zarqani, terdapat 10 pendapat ulama, yaitu: (1). Ayat 281 dari QS. Al-Baqarah [2], berdasarkan hadis riwayat An-Nasa’i melalui Ikrimah dari Ibnu Abbas dan riwayat Ibnu Abi Hatim; (2). Ayat 278 dari QS. Al-Baqarah [2], berdasarkan hadis riwayat Bukhari dari Ibnu Abbas dan riwayat Baihaqi dari Ibnu Umar; (3). Ayat 282 dari QS. Al-Baqarah [2], berdasarkan hadis riwayat Ibnu Jarir dari Sa‘id bin Al-Musayyib dan riwayat Abu Ubaid dari Ibnu Syihab. (4). Ayat 195 dari S. آli ‘Imrân [3]; (5). Ayat 94 dari S. An-Nisâ’ [4]; (6). Ayat 176 dari S. An-Nisâ’ [4]; (7). Ayat 3 dari S. Al-Mâ’idah [5], (8). Ayat 128 dari S. At-Taubah [9]; (9). Ayat 110 S. Al-Kahf [18], dan (10). Ayat-ayat QS. An-Nashr [110], yang semuanya berdasarkan riwayat. Perbedaan pendapat ini timbul karena perbedaan masa para sahabat mendengarkan ayat yang disampaikan Nabi. Menurut Az-Zarqani dan Subhi As-Salih, ayat-ayat yang terakhir turun adalah Ayat 281 dari S. Al-Baqarah [2]. (Ahmad Thib Raya)

D. Sistematika Penyusunan Ayat dan Argumennya
Sebagaimana urutan dalam sistematika al-Quran, sistematika ayat didalam al-Quran juga memiliki beberapa pandangan yang berbeda, diantaranya yaitu pendapat yang menyatakan bahwa urutan-urutan ayat-ayat al-Quran adalah Tauqifi, karena ayat al-Quran ketentuan dari Rasulallah SAW. Sebagian ulama menyatakan bahwa pendapat ini adalah Ijma’, diantaranya Al-Zarkasy dalam al-Burhan dan Abu Ja’far Ibnu Zubair (seorang ahli nahwu dan Hafidz) dalam munasabahnya ia mengatakan susunan ayat-ayat di dalam surat-surat itu berdasarkan Tauqifi maksudnya merupakan ketentuan dari Rasulalla SAW. Atas perintah Allah, yang tidak diperselisihkan kaum muslimin. Al-Suyuthi memperkuat dengan mengatakan Ijma’ dan nas-nas yang serupa menegaskan urutan ayat-ayat adalah Tauqifi tanpa ada keraguan. Jibril langsung menurunkan beberapa ayat tersebut karena harus diletakkan dalam surat atau ayat-ayat yang turun sebelumnya. Rasulallah SAW kemudian memerintahkan kepada penulis wahyu untuk menuliskannya ditempat tersebut dan mengatakan kepada mereka: Letakkanlah ayat-ayat ini pada surat yang telah disebutkan begini dan begini atau letakkan ayat ini ditempat ini. Susunan penempatan ayat tersebut sebagaimana yang disampaikan sahabat Utsman Ra.:
’’Aku tengah duduk disamping Rasulallah SAW tiba-tiba pandangannya menjadi tajam, lalu kembali seperti semula. Kemudaian katanya Jibril telah dating kepadaku dan memerintahkan agar aku meletakkan ayat ini di tempatanu dari surat ini: ’’Sesungguhnya Allah menyuruh kaum berlaku adil dan kebajikan serta memberi kepada kaum kerabat…’’ (Al-Nahl 16:90)
Az-Zarqani berpendapat berdasarkan kesepakatan Ijma’ ulama sistematika ayat-ayat seperti bentuknya sekaran yaitu pada mushaf Utsmani adalah sistematika yang diperoleh atas Tauqif dari Nabi yang berasal dari Allah. Itu bukan merupakan wilayah akal dan bukan masul pada wilayah ijtihad. Menurut Ijma dan Nash, yang banyak sekali menetapkan tertib ayat disebut Tauqify yaitu terserah kepada petunjuk-petunjuk yang diberikan Nabi.
Dua faktor utama dalam sistem penyusunan al-Quran, yaitu sistem komposisi matematika secara literal (penempatan kata-kata, kalimat dsb) dan sistem struktur matematika yang melingkupi perhitungan surat-surat dan ayat-ayat al-Quran. Dengan kedua sistem ini sekecil apapun distorsi yang dilakukan terhadap al-Quran baik kalimat per kalimat, kata per kata, huruf per huruf maupun pergeseran tata letak dan susunan fisiknya akan segera dapat diketahui.
Sistem penyusunan al-Quran yang berdasarkan struktur matetamtika tersebut ditemukan pada tahun 1974 oleh Dr Rashad Khalifa ahli bio-kimia asal Mesir. Rashad Khalifa melakukan penelitian intensif setelah tertantang oleh pertanyaan anaknya tentang maksud inisial al-Quran ‘Alif Lam Mim’ yang tak dapat ia jawab. Setelah mengutak-atik al-Quran dengan komputer selama lebih dari lima tahun Rashad Khalifa menemukan angka 19 sebagai denominator (angka patokan) yang digunakan di dalam sistem matematika al-Quran. Angka 19 tersebut termaktub di dalam surat Al-Muddatstsir ayat 30, Di atasnya ada sembilan belas (penjaga).
Sedangkan sistem itu sendiri bervariasi dari yang sangat sederhana sampai yang rumit hingga memerlukan komputer untuk mengolahnya. Yang gampang untuk dicerna adalah fakta-fakta berikut. Basmalah terdiri dari 19 huruf Arab, Al-Quran terdiri dari 114 surat atau 19 x 6. Total ayat di dalam al-Quran adalah 6346 atau 19 x 334. Jumlah Basmalah ada 114 kali walaupun absen pada surat 9, ia muncul dua kali dalam surat 27. Antara surat 9 yang tanpa Basamalah dengan surat 27 yang mengandung dua Basmalah terdapat 19 surat. Jumlah ayat yang menyebutkan kata Allah 118123 buah atau 19 x 6217. Jumlah ayat dimana kata “Allah” disebutkan yang nomor ayatnya merupakan kelipatan 19 adalah 133 buah atau 19 x 7.
Al-Quran mempunyai karekteristik unik yang tidak terdapat di dalam buku-buku lain, 29 surat diawali dengan “Inisial Qurani” terkubur misterius selama 1406 tahun. Dengan ditemukannya kode 19, barulah diketahui bahwa inisial tersebut memainkan peranan penting di dalam struktur matematika al-Quran. Surat yang berinisial tertentu seperti K.H.Y.A’.S menunjukkan bahwa huruf-huruf tersebut jumlah penyebutannya merupakan kelipatan 19 di dalam surat itu, yaitu 798 atau 19 x 42.
Untuk lebih jauh mengetahui keajaiban inisial-inisial ini, QS 50 surat pendek yang dibuka dengan inisial huruf “Qaaf” kita ambil sebagai contoh. Frekuensi penyebutan “Qaaf” pada surat ini adalah 57 kali atau 19 x 3. Sedangkan frekuensi penyebutan huruf “Qaaf” pada surat berinisial “Qaaf” yang lain yaitu surat 42, (Aiin siin qaaf) adalah sama, juga 57. Kedua angka tersebut dijumlahkan maka menjadi 114 (19 x 6) persis sama dengan jumlah keseluruhan surat di dalam al-Quran. Mungkinkah “Qaaf” singkatan dari Quran? Tuhan Yang Maha Tahu.
Keunikan komposisi matematika di dalam al-Quran memang menarik untuk diikuti. Kaum yang tidak percaya terhadap Nabi Luth disebutkan dalam 13 surat di dalam Al-Quran, salah satunya ialah surat 50:13 yang berinisial “Qaaf”. Secara konsisten kaum tersebut di sebut sebagai “Qawm” di dalam 12 surat, kecuali surat 50:13, disini mereka disebut “Ikhwaan”. Kok berubah? Dengan minus satu “Qawm” pada 50:13 maka ada 57 buah kata “Qawm” (19 x 3). Inisial “Qaaf’ adalah hint (kode) yang mengarahkan perhatian pembaca kepada kata “Qawn” tersebut.
Contoh lain adalah surat 3 (Ali Imran) yang berinisial Alif Laam Miim, pada ayat 96 nama kota Makkah tidak di eja sebagaimana mestinya, disitu ia di tulis “Bakkah”, sedangkan pada surat lain (48:24) ia ditulis dengan huruf “Miim” (Makkah seperti biasa). Ada apa?. Dalam surat Ali Imran terdapat 2521 buah huruf “Alif”, 1892 buah huruf “Laam” dan 1249 buah huruf “Miim” sehingga ketika ketiga-tiganya dijumlah menjadi 5662 buah huruf, atau 19 x 298. Bagaimana kalau 3:96 di tulis pakai huruf “Miim” maka akan berlebih satu huruf menjadi 5663 yang bukan kelipatan 19.
Ada malam dan ada siang, juga ada yang pro dan kontra terhadap teori diatas. Para pengkritik menemukan kesalahan pada data komputer Rashad Khalifa. Mereka menemukan 153 buah huruf “Sad” di dalam surat 7 (Al-A’raf) yang berinisialkan Alim laam miim shaad, bukan 152 buah seperti yang di klaim Rashad. Akan tetapi terdapat kata BaSTatan pada ayat 69 surat tersebut, diatas perkataan BaSTatan itu terconteng huruf “Sin” kecil. Contengan kecil itu ditemukan pada hampir semua al-Quran yang digunakan saat ini. Ada dua versi tentang contengan kecil ini, selain huruf “Sin” kecil itu ada juga yg ditulis dengan kalimat “yuqrau bil-sini” atau “dibaca dengan Sin”. Dengan kata lain meskipun kata BaSTatan ditulis dengan huruf “Sad” tetapi harus dilafalkan dengan “Sin”. Dan karenanya hitungan huruf “Sad” dalam surat Al A’raf adalah 152 (19 x 8).
Al-Quran adalah kitab yang sangat informatif dan tersusun rapi ayat-ayatnya, bukan saja setiap kata mengandung maksud dan makna tertentu akan tetapi ia juga berfungsi sebagai elemen matematika yang mengikat satu sama lain.

Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, Kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah" (seorang manusia), Maka jadilah Dia. (QS 3:59).
Sangat jelas ayat ini menerangkan bahwa Adam dan Isa adalah sama karena tidak berasal dari sistem reproduksi sebagaimana manusia biasa. Adam tidak mempunyai ibu dan bapak, sedangkan Isa hanya mempunyai ibu saja. Tetapi lebih dari itu, ada persamaan yang lain dimaksud oleh ayat tersebut, nama Isa dan Adam sama-sama disebut sebanyak dua puluh lima kali di dalam Al-Quran.
Selain fakta-fakta disebut diatas dan banyak lagi yang lainnya, data-data yang tercantum dalam Al-Quran berikut menarik pula untuk diketahui. Kata “hari” (yawm) disebutkan sebnyak 365 kali, “hari-hari” (yawmayn) 30 kali, kata “sabt” (hari ketujuh) 7 kali. Kata “setan” dan “malaikat” masing-masing 88 kali. Kata “dunia” dan “akhirat” maisng-masing 115 kali. Kata “qist” (adil) dan “zulm” (tidak adil) masing-masing 15 kali. Kata “daratan” 13 kali sementara “laut” 32 kali sehingga memberikan perbandingan rasio antara daratan dan lautan yang kita kenal 13/45 dan 32/45.
Tuhan menantang umat manusia untuk membuat kitab serupa al-Quran. Banyak pengarang besar yang mengaku mampu membuat kitab serupa itu, seperti Taha Hussein pengarang terkenal dari Mesir. Akan tetapi mereka tidak mengetahui adanya sistem matematika yang rumit dan nyelimet di dalam susunan al-Quran tersebut. al-Quran bukanlah kumpulan bait-bait dan syair-syair tersusun rapi, tetapi ada kunci matematika yang menjaga keutuhan dan keaslian kandungannya. Dengan kata lain al-Quran tidak memerlukan sistim hak cipta, peraturan dan undang-undang untuk melindungi dirinya dari pemalsuan. al-Quran adalah Buku Pintar yang bisa menjaga dirinya sendiri.