KAJI FILSAFAT ETIKA, DUNIA IDEA DAN LOGIKA
Oleh Pusat Kajian Filsafat Madina Ilmu
(Nunung FH.)
Tulisan ini memerikan / mendeskripsikan perkembangan pemikiran dari keprihatinan moral Socrates menuju gagasan Dunia Idea Plato dan bermuara kepada Logika Formal Aristoteles. Uraian ini cukup menarik mengingat ketiga tokoh filsuf Yunani ini berpengaruh besar terhadap pemikiran filosofis hingga sekarang.
Pengungkapan ini diharapkan menyadarkan kita bahwa pemikiran filosofis yang terlihat 'abstrak', besar dan 'melangit' sebetulnya merupakan hasil proses pergulatan dan pergumulan dengan kehidupan nyata sehari-hari. Tidak ada logika Aristoteles tanpa Idea Plato dan tidak ada Idea Plato tanpa keprihatinan moral Socrates. Bisa dikatakan 'pemikiran langit' berpijak pada 'kehidupan bumi'.
Sekarang marilah kita lanjutkan pada pembahasan Logika Formal Aristoteles sebagai penutup seri pembahasan tentang perkembangan pemikiran filosofis Socrates, Plato dan Aristoteles.
LOGIKA FORMAL ARISTOTELES
Pedebatan adu argumentasi yang terjadi antara Socrates dan Plato dengan kaum Sofis yang relativistik menjadi kajian yang sangat menarik bagi Aristoteles untuk menganalisis penggunaan bahasa dan bentuk-bentuk pemikiran. Ditemukan oleh Aristoteles bahwa bahasa sangat terkait dengan penalaran manusia; bahwa bahasa adalah lambang pemikiran; bahwa terdapat kaidah-kaidah berpikir yang universal dan dapat menguji kesahihan bentuk-bentuk penalaran.
Mengenai bentuk penalaran, Aristoteles juga menemukan dua (2) alur atau cara berpikir, yaitu analitika dan dialektika. Analitika merupakan cara berpikir yang bertitik tolak dari putusan-putusan yang benar lalu membuat kesimpulan. Dialektika merupakan cara berpikir yang bertitik tolak dari hipotesa menuju penyimpulan yang bersifat mungkin. Dua istilah ini, analitika dan dialektika, kini menjadi bagian dari ilmu yang sekarang disebut logika. Oleh karena itu, Aristoteles boleh dipandang sebagai penemu logika yang memainkan peranan penting dalam sejarah intelektual umat manusia. Aristoteles sendiri tidak menyebutnya dengan logika melainkan analitika. Hal ini menunjukkan kecendrungan cara berpikir Aristoteles yang analitik yang dicirikan dengan keketatan dan jelasnya penggunaan term-term.
Menurut McKeon dalam Introduction to Aristotle (The Modern Library, New York, 1947), tulisan-tulisan logika Aristoteles terdapat pada enam buku yang kemudian secara tradisi dikelompokkan menjadi sebuah nama, Organon. Keenam buku asli Aristoteles yang membahas logika itu adalah Categories, On Interpretation, Prior Analytics, Posterior Analytics, Topics, dan On Sophistical Refutations. Buku yang disebut terakhir inilah, On Sophistical Refutations, membeberkan kesalahan-kesalahan penalaran (fallacious argument) yang dilakukan oleh kaum Sofisme. Dalam buku itu, Aristoteles tidak luput pula menyerang kaun Sofis dengan menyebutkan 13 tipe kesesatan dengan perincian: enam (6) kesesatan karena bahasa dan tujuh (7) kesesatan relevansi mengenai materi penalaran. Perincian kesesatan-kesesatan penalaran kaum Sofis tentunya tidak dibahas di sini.
Sesuai dengan maksud tulisan kali ini, kita tidak akan membahas panjang lebar hal ihwal logika Aristoteles. Yang perlu ditandaskan di sini, pernyataan tentang Aristoteles yang menemukan logika adalah dalam pengertian bahwa Aristoteles untuk pertama kalinya dalam sejarah pemikiran manusia yang menyusun secara sistematis kajian logika. Sebelum Aristoteles, Socrates dan Plato telah menggunakan prinsip-prinsip logika dalama rgumen-argumen mereka, bahkan, termasuk kaum Sofis, meski yang terakhir ini memakainya secara keliru untuk menyesatkan penalaran.
Seperti yang telah diuraikan dalam pembahasan sebelumnya, pertanyaan-pertanyaan atau pernyataan-pernyataan Socrates telah mengandung unsur-unsur logika. Misalnya, pernyataan Socrates: "Setiap kebajikan adalah kesalehan, tapi tidak setiap kesalehan adalah kebajikan", telah mempekenalkan pengertian genus (kesalehan) dan spesies (kebajikan), dua konsep/pengertian yang kerap dipakai dalam logika Aristoteles. Kalimat Socrates itu identik dengan pernyataan logika: "Setiap anjing adalah binatang, tapi tidak setiap binatang adalah anjing." Karena, binatang adalah genus, sedangkan anjing adalah spesies atau anggota dari genus binatang.
Upaya pencarian definisi umum pengertian-pengertian etis Socraes juga telah mengandung makna identitas dari masing-masing pengertian etis tersebut. Lalu, oleh Aristoteles pengertian-pengertian ini diperluas mencakup entitas-entitas lain, tidak terbatas pada etika.
Dengan menganalisis definisi, spesies, genus, muncullah istilah kategori yang didefinisikan sebagai 'ultimate concept', yaitu pengertian yang sifatnya paling umum sehingga tidak bisa diturunkan dari pengertian lain. Ada sepuluh (10) kategori menurut Aristoteles, yaitu substansi (contoh: manusia), kuantitas (contoh: dua), kualitas (bagus), relasi (separuh), tempat (di toko), waktu (sekarang), keadaan (berdiri), posesi (bersepatu), aksi (membakar), dan pasivitas (terbakar).
Selain substansi (ousia= ousia), sembilan ketegori lainnya termasuk ke dalam aksiden (pathos= pathos). Nah, kedua pengertian ini juga telah digunakan Socrates dalam dialognya dengan Euthyphro (lihat kolom Dari Etika ke Logika bagian 2). Masalah kategori ini dibahas khusus oleh Aristoteles dalam bukunya Categories.
Pengaruh ajaran Plato juga nampak dalam buku Aristoteles, Prior Analytics. Dalam buku itu termuat bahwa Aristoteles menemukan bentuka penalaran yang bergerak dari universal ke partikular yang disebut dengan silogisme (syllogismos=syllogismos). Silogisme adalah pola berpikir deduktif yang memiliki kebenaran pasti dan niscaya; berangkat dari hal-hal umum menuju hal-hal khusus. Kesahihan deduksi tidak tergantung kepada pengalaman inderawi, tapi semata-mata kepada konsistesi rasio.
Oleh karena itu, kebenaran silogisme adalah termasuk kebenaran apriori. Hal ini mengingatkan kita kepada teori pengetahuan Plato yang mengklaim bahwa kebenaran berasal dari Dunia Idea-Idea; pengetahuan inilah yang disebut episteme (episteme), suatu istilah yang menjadi akar dari kata epistemologi yang terpakai sampai sekarang. Sedangkan pengalaman indrawi, menurut Plato, hanyalah menggingatkan kembali apa yang dulu telah diketahui di Dunia Idea, yang disebut dengan anamnesis.
Menurut David Ross dalam Aristotle (Methuen & Co. Ltd., London, 1960), istilah syllogismos sendiri berasal dari Plato ketika mengemukakan Dunia Universal, hanya saja Plato belum menggunakannya lebih jauh untuk menarik kesimpulan secara umum sebagaimana yang kemudian digunakan Aristoteles. Aristoteles sendiri menyebut silogisme Plato itu dengan istilah weak syllogism (silogisme lemah).
Dengan demikian, silogisme Aristoteles boleh dipandang sebagai perkembangan dari "silogisme lemah" Plato, dengan pengertian bahwa prinsip silogisme Aristoteles telah digunakan secara umum dan sistematis. Berikut disajikan perbandingan kedua jenis silogisme tersebut:
Silogisme lemah Plato:
Dunia Idea-Idea adalah universal
Keadilan mengandung Idea
________________________________
Keadilan mengandung (nilai) universal
Silogisme umum Aristoteles:
Semua manusia akan mati (Premis mayor)
Socrates adalah manusia (Premis minor)
_____________________
Socrates akan mati (Konklusi)
ETOS LOGIKA
Sesuai dengan tujuan tulisan ini, berikut akan kita paparkan sedikit etos atau semangat yang melatarbelakangi studi logika. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa logika lahir dari pergumulan filsuf untuk memperjuangkan nilai-nilai obyektivitas dan universalitas dalam berpikir dan bertindak. Socrates dan Plato tampil secara gigih melawan kaum Sofisme yang menganut paham relativisme, skeptisisme, subyektivisme dan, bahkan, nihilisme.
Kedua tokoh filsuf Yunai klasik ini berjuang keras untuk menunjukkan adanya nilai-nilai kebenaran yang obyektif, absolut dan universal; terutama dalam lapangan moralitas yang mereka geluti. Aristoteles lah kemudian yang merumuskan perjuangan moral Socrates dan Plato ke dalam aturan-aturan berpikir secara sistematis. Dengan kata lain, logika lahir sebagai kristalisasi dari perjuangan moral.
Kata logika (Inggris: logic, Yunani: logikos) berarti sesuatu yang dapat dimengerti (reasonable), akal budi yang teratur, konsisten, dan sistematis. Kata logika memiliki akar kata yang sama dengan kata logos berarti ucapan, kata, akal pikiran, studi tentang, pertimbangan tentang, ilmu tentang. Makna logos mengacu kepada sesuatu yang dapat dimengerti (reasonable), keteraturan akal budi, konsistensi penalaran, dan sistematika pemikiran. Secara ringkas dapat disebutkan beberapa padanan dari kata logos: utterance, statement, argument, account, definition, formula, ratio, language, reason, principle.
Kata logos sering dipakai sebagai lawan dari kata mitos. Dalam hal ini filsafat dikatakan sebagai upaya manusia untuk membebaskan diri dari belenggu-belenggu mitos dengan menggunakan logos. Penerjemahan kata logos menjadi logika ini kerapkali hanya dipahami dalam pengertian teknis, yaitu sejenis metode menalar yang tepat guna melahirkan cara berpikir yang benar, menarik kesimpulan yang tepat. Padahal jika kita menyingkap makna kata logos dalam arti yang lebih luas, maka terdapat yaitu etos atau semangat (geist), cara-pandang, sikap, dan paradigma yang terkandung dalam konsep logos itu. Dalam hal ini, logos juga menolak cara berpikir stigmatisasi atau stereotip. Stigmatisasi/stereotip adalah pelekatan suatu nilai yang dianggap dimiliki secara permanen oleh suatu kelompok atau komunitas tanpa melihat keragaman dan dinamika di antara anggota-anggotanya.
Semangat atau etos logos (logika) itu adalah pertanggungjawaban (account) rasio manusia yang dapat dikomunikasikan kepada sesama (proses saling memahami), transparansi maksud pikiran dan rencana; karena itu makna logos sebagai kata dimaksudkan sebagai pengungkapan pikiran yang dikomunikasikan melalui simbol bahasa yang dimengerti oleh penyampai gagasan dan penerima gagasan (pendengar). Hal ini secara seratus delapan puluh derajat berseberangan secara diametral dengan gejala skizofrenia, sofistik, relativistik.
Gejala skizofrenia yang dimaksud di sini bukanlah dalam artian medis atau sejenis patologi psikis, melainkan sebuah patologi sosial, budaya dan filosofis. Manusia skizofrenik menderita kehilangan kemampuan mengenal realitas obyektif di luar dirinya sehingga seakan-akan ia hidup di dunia ilusi dan khayalan dirinya sendiri. Ia tidak mampu membedakan antara khayalan subyektif dirinya dengan realitas obyektif di luar dirinya. Kaum skeptisisme, subyektivisme, relativisme dan nihilisme termasuk kaum yang mengidap skizofrenik.
Jadi, beberapa etos yang terkandung dalam konsep logos itu adalah : rasionalitas, eksplanasi (penjelasan), konsistensi, komunikasi, transparansi, pertanggungjawaban, dan keterarahan/sistematika berpikir, kejernihan berpikir, lebih mengandalkan rasio daripada emosi, keteraturan daripada anarki, dan ketepatan penggunaan istilah. Oleh karena itu, logika berperan menghilangkan kerancuan dan kesemena-menaan makna kata-kata melalui studi definisi, misalnya : perdebatan kontemporer tentang konstitusi, sistem presidensial, parlementer, dekrit presiden, oposisi, kebebasan, demokrasi, reformasi, teroris, jihad.
Salah satu implikasi makna logos itu adalah digunakannya kata logos pada setiap jenis ilmu pengetahuan (pengetahuan yang sistematis, metodis, dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, rasional), yaitu seperti : biologi, psikologi, fisiologi, sosiologi, antropologi, farmakologi, teologi.
PENUTUP: KESIMPULAN
Urain-uraian yang telah dipaparkan dalam empat tulisan berturut-turut membawa kita untuk menarik beberapa kesimpulan, yaitu:
(1) Terdapat kesinambungan pemikiran Socrates, Plato dan Aristoteles meskipun di antara mereka, terutama Plato dan Aristoteles, memiliki perbedaan-perbedaan pandangan filosofis.
(2) Terjadi perkembangan yan sangat menarik bagaimana motivasi etis Socrates diformulasikan menjadi teori Idea Plato dan mengkristal dalam logika Aristoteles.
(3) Berkaitan dengan butir (2) di muka, dapat disebutkan pula bahwa telah terjadi lompatan wacana etika menjadi wacana logika; keprihatinan etis mengalami transformasi menjadi wawasan logos.
(4) Perkembangan filsafat Yunani klasik bermula dari pertanyaan-pertanyaan Socrates yang lalu dicoba dicari jawabannya oleh Plato dan kemudian disusun secara sistematis oleh Aristoteles.
(5) Dengan mengacu kepada sejarah pemikiran filosofis Yunani klasik ini kita dapat mengambil pelajaran bagaimana proses perumusan dan penyelesaian problem-problem filosofis. Inilah salah satu alasan mengapa ulasan sejarah filsafat masih sangat relevan dipelajari sekarang, sejauh diuraikan dengan cara apik, bernas dan sistematis sedemikian rupa sehingga dapat diambil nilai-nilai, pesan-pesan universal atau hikmah-hikmahnya.
RENUNGAN
Dapatkah pelbagai krisis multidimensional (moral, sosial politik, ekonomi, intelektual, spiritual) yang melanda bangsa kita sekarang secara kreatif kita transformasikan menjadi obor dan semangat untuk melakukan gerakan pencerahan pemikiran dalam masalah-masalah keagamaan, kemanusiaan, kemasyarakatan dan kebangsaan?
sumber: pelita
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar