Jumat, 24 April 2009


USHUL FIQIH


PENDAHULUAN

Segala puji kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah membimbing manusia dengan hidayah-Nya, sebagaimana yang terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Kami bersyukur kepada-Nya yang telah memudahkan penulisan dan penyajian makalah Ushul Fiqih yang sederhana ini hingga dapat terselesaikan.
Shalawat dan salam senantiasa dihaturkan kepada junjungan baginda Nabi Muhammad SAW, para sahabat, keluaraga dan para pengikutnya sampai di hari kiamat nanti.
Ushul Fiqih Sebagai pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ Islam mengenai perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalil hukum syara’ secara detail dari al-Qur’an maupun al-Hadis yang sebagian dijelaskan melalui ijma’ dan Qiyas. Dengan Ushul Fiqih ini diharapkan mampu membantu para mujtahid dan pemimpin-pemimpin umat untuk memaknai al-Qur’an dan al-Hadis secara aktual dan kontekstual. Hal ini seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman yang menuntut ketegasan dan kejelasan acuan setiap prilaku, sehingga ajaran Islam selalu mampu menjawab segala persoalan dan permasalahan umat di segala aspek kehidupan.
Kami akan mencoba menjelaskan Ushul Fiqih dari segi definisi Ushul Fiqih, objek kajian, tujuan mempelajari dan fungsi ushul fiqih serta perbedaan antara Ushul Fiqih dan Fiqih.
Mudah-mudahan penjelasan dalam makalah kami ini, akan menambah wawasan keagamaan kita dalam mempelajari Ushul Fiqih, kritik dan saran serta nasehat dari dosen pembimbing serta teman-teman semua selalu kami harapkan.


USHUL FIQIH

A.Definisi Ushul Fiqih

Untuk mengetahui makna dari kata Ushul Fiqih dapat dilihat dari dua aspek: Ushul Fiqih kata majemuk (murakkab), dan Ushul Fiqih sebagai istilah ilmiah.
Dari aspek pertama, Ushul Fiqih berasal dari dua kata, yaitu kata ushul bentuk jamak dari kata ashl dan kata fiqih, yang masing-masing memiliki pengertian yang luas. Ashl secara etimologi diartikan sebagai “fondasi sesuatu, baik yang bersifat materi ataupun bukan”.
Ushul itu bentuk jamak , sedang bentuk mufradnya adalah ashl, yang mengandung makna sumber atau dalil yang menjadi dasar sesuatu atau juga berarti yang kuat.
Adapun menurut istilah, ashl mempunyai beberapa arti berikut ini:
1. Dalil, yakin landasan hukum, seperti pernyataan para ulama ushul Fiqih bahwa ashl dari wajibnya shalat lima waktu adalah firman Allaj SWT dan Sunnah Rasul.
2. Qa’idah, yaitu dasar atau fondasi sesuatu, seprti sabda Nabi Muhammad SAW.:
بني الاسلام علي خمسة أصول
“ Islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau fondasi).
3. Rajih, yaitu yang terkuat, seperti dalam ungkapan para ahli ushul Fiqih
الأصل في الكلام الحقيقة
“ Yang terkuat dari (kandungan) suatu hukum adalah arti hakikatnya”.
Maksudnya, yang menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna hakikat dari perkataan tersebut.
4. Mustashhab, yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula selama tidak ada dalil yang mengubahnya. Misalnya, seseorang yang hilng, apakah ia mendapatkan haknya seperti warisan atau ikatn perkawinannya? Orang tersebut harus dinyatakan masih hidup sebelum ada berita tentang kematiannya. Ia tetap terpelihara haknya seperti tetap mendapatkan waris, begitu juga ikatan perkawinan dianggap tetap.
5. Far’u (cabang), seperti perkataan ulama ushul;
الولد فرع للأب
“Anak adalah cabang dari ayah.” (Al-Ghazali, 1:5)
Dari kelima pengertian ashl di atas, yang biasa digunakan adalah dalil, yakni dalil-dalil fiqih.
Adapun fiqh menurut etimologi berarti pemahaman yang mendalam dan membutuhkan pengerahan potensi akal. Pengertian tersebut terdapat ditemukan dalam al-Qur’an, yakni dalam surat Thaha (20): 27-28, An-Nisa (4): 78, Hud (11 91. Dan terdapat pula dalam hadis, seperti sabda Rasulallah SAW.:
من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين
“Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi seseorang,. Dia akan memberikan pemahaman agama (yang mendalam) kepadanya.”
(H.R.Al-Bukhari, Muslim, Ahmad Ibnu Hanbal, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Adapun pengertian fiqih secara terminologi, pada mulanya diartikan sebagaikan pengetahuan keagamaan yang mencakup seluruh ajaran agama, baik berupa akidah (ushuliyah) maupun amaliah (furu’ah). Ini berarti fiqih sama dengan pengertian syari’ah Islamiyah, yaitu pengetahuan tentang hukum syariah Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat (mukallaf) dan diambil dari dalil yang terkunci.
Untuk lebih jelas tentang definisi fiqih secara terminologi dapat dikemukakan pendapat para ahli fiqih terdahulu, yaitu:
العلم بالاحكام الشرعية العملية المكتسبة من أد لتها التفصيلية
“Ilmu tentang hukum syara’ tentang perbuatan manusia (amaliyah) yang diperoleh melalui dalil-dalilnya yang terperinci.”
مجموعة الأحكام الشرعية العملية المكتسبة من أد لتها التفصيلية
“Himpunan tentang hukum syara’ tentang perbuatan manusia (amaliyah) yang diperoleh melalui dalil-dalilnya yang terperinci.”
Definisi pertama menunjukkan bahwa fiqih dipandang sebagai ilmu yang berusaha menjelaskan hukum. Sedangkan definisi kedua menunjukkan fiqih dipandang sebagai hukum. Hal ini terjadi karena adanya kemiripsn antara fiqih sebagai ilmu dan fiqih sebagai hukum. Ketika fiqih didefinisikan sebagai ilmu, diungkapkan secara deskriptif. Manakala didefinisikan sebagai hukum dinyatakan secara deskriptif.
Keterangan di atas menunjukkan bahwa kajian fiqih ialah hukum perbuatan mukallaf, yakni halal, haram, wajib, mandub, makruh, dan mubah beserta dalil-dalil yang mendasari ketentuan hokum tersebut.
Pada umumnya, dalam memberikan pengertian fiqih, ulama menekankan bahwa fiqih adalah hukum syari’at yang diambil dari dalilnya. Namun menarik untuk diperhatikan adalah pernyataan Imam Haramain dan Al-Amidi yang menegaskan bahwa fiqih adalah pengetahuan hukum syara’ melalui penalaran (nadzar dan istidlal). Pengetahuan hukum yang tidak melalui ijtihad (kajian), tetapi yang bersifat daruri, seperti shalat lima waktu itu wajib, zinah itu, haram, dan sebagainya. Setiap masalah yang Qath’I bukan merupakan bahasan fiqih.
Pada perkembangan selanjutnya, istilah fiqih sering dirangkaikan dengan Al-Islami sehingga terangkai Al-Fiqh Al-Islami. Dan Al-Fiqh Al-Islami sering diterjemahkan pada hukum Islam. Istilah lain yang digunakan untuk istilah ini adalah Asy-Syari’ah Al-Islamiyah dan Al-Hukm Al-Islami.
Setelah dijelaskan pengertian ushul dan fiqih, baik menurut bahasa maupun istilah maka disini dikemukakan pengertian ushul fiqih yang menjadikan pokok bahasan pada bab ini. Para ahli hukum Islam, dalam memberikan definisi Ushul Fiqih, beraneka ragam, ada yang menekankan pada hakikatnya. Namun, pada prinsipnya sama, yaitu ilmu pengetahuan yang obyeknya dalil hukum syara’ secara global dengan semua seluk beluknya.
Menurut Al-Baidhawi dari kalangan ulama Syafi’iyah bahwa yang dimaksud Ushul Fiqih itu adalah:
معرفة دلا ئل الفقه اجمالا وكيفية الاستفادة منها وحال المستفيد
“Ilmu pengetahuan tentang dalil fiqih secara global, metode penggunaan dalil tersebut, dan keadaan (persyaratan) orang menggunakannya”
Selain itu Ibnu Al-Subkhi (juz 1: 25) mendefinisikan Ushul Fiqih sebagai:
دلائل الفقه اجمالا
“Himpunan dalil fiqih secara global”
Jumhur ulama Ushul Fiqih mendefinisikannya sebagai berikut:
اصول الفقه هوالقواعدالتي يتوصل بها استنباط الأحكام الشرعية من الأدلة
“Ushul Fiqih adalah kaidah-kaidah yang dapat mencapai kemampuan kepada istinbathpenggaliian hukum syara’ dari dalil-dalilnya”
Pendapat ini dikemukakan oleh Syaikh Muuhammad Al-Khudhary Beik, seorang guru besar Universitas Al-Azhar Kairo. Adapun Kamaluddin Ibnu Humam dari kalangan ulama Hanafiyah mendefinisikan Ushul Fiqih sebagai:
ادراك القواعد التي يتوصل بها الي استنباط الفقه
“Mengetahui kaidah-kaidah yang dapat mencapai kemampuan dalam penggalian fiqih.”
Sementara itu Abdul Wahab Khalaf, seorang guru besar hukum di Universitas Kairo Mesir menyatakan:
فعلم اصول الفقه في الاصطلاح الشرعي هوالعلم بالقواعد والبحوث التي يتوصل بهاالي استفادة الأحكام الشرعية العملية من ادلتها التفصيلية. أومجموعة القواعد والبحوث التي يتوصل بهاالي استفادة الأحكام الشرعية العملية من ادلتها التفصيلية
“ Ushul Fiqih menurut istilah syara’ ialah Ilmu tentang kaidah-kaidah dan pembahasan yang menghasilkan hukum-hukum syara’ yang praktis dari dalil-dalilnya yang terperinci, atau kumpulan kaidah-kaidah dan pembahasan yang menghasilkan hukum syara’ mengenai perbuatan manusia (amaliah) dari dalil-dalil yang terperinci (tafhiliy). ’’
Dari pengertian Ushul Fiqih di atas, terdapat penekanan yang berbeda. Menurut ulama Syafi’iyah, objek kajian ulama ushul adalah dalil-dalil yang bersifat ijmali (global), bagaiman cara mengistinbath hukum, syarat orang yang menggali hukum atau syarat-syarat seorang mujtahid. Hal ini berbeda dengan definisi yang dikemukakan oleh jumhur Ulama. Mereka menekankan pada operasional atau fungsi Ushul Fiqih itu sendiri, yaitu bagaimana menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqih dalam menggali hukum syara’.
Dengan demikian, Ushul Fiqih adalah ilmu pengetahuan yang objeknya dalil hukum atau sumber hukum dengan semua seluk-beluknya, dan metode penggaliannya. Metode tersebut harus ditempuh oleh ahli hukum Islam dalam mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya. Seluk-beluk tersebut antara lain menertibkan dalil-dalil dan menilai kekuatan dalil-dalil tersebut.
Pada masa kini istinbath hukum yang lebih relevan adalah istinbath dengan maksud syariah (ruh hukum), bahkan cenderung menggunakan kaidah fiqhiyah seperti yang dilikukan oleh para perumus komplikasi hukum Islam di Indinesia. Dalam merumuskannya, tampaknya mereka mengacu pada kaidah-kaidah fiqhiyah yang dijadikan suatu kerangka teori.

B. Objek Kajian Ushul Fiqih
Dari definisi Ushul Fiqih di atas, terliihat jelas bahwa yang menjadi objek kajian Ushul Fiqih secara garis besarnya ada tiga:
1. Sumber hukum dengan semua seluk beluknya.
2. Metode pendayagunaan sumber hukum atau metode penggalian hukum dari sumbernya.
3. Persyaratan orang yang berwenang melakukan istinbath dengan semua permasalahannya.

Sementara itu, Muhammad Al-Juhaili merinci objek kajian Ushul Fiqih sebagai berikut:
1. Sumber-sumber hukum syara’, baik yang disepakati seperti al-Qur’an dan Sunnah, maupun yang diperselisihkan, seperti istihsan dan mashlahah mursalah.
2. Pembahasan tentang ijtihad, yakni syarat-syarat dan sifat-sifat orang yang melakukan ijtihad.
3. Mencarikan jalan keluar dari dua dalil yang bertentangan secara dzahir, ayat dengan ayat atau sunnah dengan sunnah, dan lain-lain baik dengan jalan pengompromian (Al-jam’u wa At-Taufiq), menguatkan salah satu (tarjih), pengguguran salah satu atau kedua dalil yang bertentangan (nasakh/tatsaqut Ad-dalilain).
4. Pembahasan hukum syara’ yang meliputi syarat-syarat dan macam-macamnya, baik bersifat tuntunan, larangan, pilihan atau keringanan (rukhsah). Juga dibahas tentang hukum, hakim, mahkum ‘alaih (orang yang dibebani), dan lain-lain.
5. Pembahasan kaidah-kaidah yang akan digunakan dalam mengistinbath hukum dan cara menggunakannya.

C. Perbedaan Ushul Fiqih dan Fiqih
Dari keterangan di atas, dapat terlihat dengan jelas bahwa Ushul Fiqih merupakan timbangan atau ketentuan untuk istinbath hukum dan objeknya selalu dalil hukum, sementara objek fiqihnya selalu perbuatan mukallaf yang diberi status hukumnya. Walaupun ada titik kesamaan, yaitu keduanya merujuk pada dalil, namun konsentrasinya berbeda, yaitu ushul fiqih memandang dalil dari sisi cara penunjukkan atas suatu ketentuan hukum, sedanggkan fiqih memandangg dalil hanya sebagai rujukannya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalil sebagai pohon melahirkan buah, sedangkan fiqih sebagai buah yang lahir dari pohon tersebut.

D. Tujuan Mempelajari dan Fungsi Ushul Fiqih
Tujuan mempelajari Ushul Fiqih dapat dikategorikan ke dalam dua tujuan utama, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Secara umum, tujuan mempelajari Ushul Fiqih adalah untuk mengetahui dan dapat menggunakan cara-cara ber istinbath dengan menerapkan kaidah-kaidah Ushuliyah dan teori-teorinya terhadap dalil-dalil yang tafshiliy agar hukum syara’ diketahui dengan baik, baik dengan jalan yakin ataupun dengan jalan dhann.
Adapun secara khusus, dengan mempelajari Ushul Fiqih, kita dapat mengembalikan masalah-masalah cabang kepada asalnya (muttabi’). Dengan kata lain, mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui dasar-dasarnya dan cara pengambilannya. Untuk mencapai tujuan umum tersebut di atas, sesungguhnya pendekatan lingguistik saja tidaklah cukup, padahal kitab-kitab Ushul Fiqih pada umumnya diwarnai oleh pendekatan linguistik ini dimana dibicarakan secara panjang lebar tentang amr, nahyi, ‘am, khas, muthlaq,muqayyad, manthuq, mqfhum, muradif, musytarak, dhahir, khafi, haqiqah, majaz, dan sebagainya. Sudah tentu pendekatan linguistikini tetap penting, sebab al-Qur’an dan al-Hadis yang merupakan sumber pokook di dalam hukum Islam ditulis dalam satu bahasa tertentu, yaitu bahasa Arab. Hanya saja masih perlu diperdalam dan dikembangkan masalah-masalah istihsan, maslahah mursalah, dan atau qawq’id ushuliyyah tasyri’iyyah.
Para ulama ushul sepakat mengatakan bahwa Ushul Fiqih merupakan salah satu sarana untuk mendapatkan hukum-hukum Allah sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, baik yang berkaitan denggan masalah aqidah, ibadah, mu’amalah,’uqubah, maupun akhlak. Dengan kata lain, Ushul Fiqih bukanlah sebagai tujuan melainkan sebagai sarana.
Oleh karena itu, secara rinci Ushul Fiqih berfungsi sebagai berikut:
1. Memberikan pengertian dasar tenntang kaidah-kaidah dan metodologi para ulama mujtahid dalam mengggali hukum.
2. Menggambarkan persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid, agar menggali hukum syara’ secara tepat, sedangkan bagi orang awam supaya lebih mantap dalam mengikuti pendapat yang dikemukakan oleh para mujtahid setelah mengetahui cara yang mereka gunakan untuk berijtihad.
3. Memberikan bekal untuk menentukan hukum melalui berbagai metode yang dikembangkan oleh para mujtahid,, sehingga dapat memecahkan persoalan yang baru.
4. Memelihara agama dari penyimpangan dan penyalahgunaan dalil. Dengan berpedoman pada Ushul Fiqih, hukum yang dihasilkan melalui ijtihad tetap diakui syara’..
5. Menyusun kaidah-kaidah umum (asas hukum) yang dapat dipakai untuk menetapkan berbagai persoalan dan fenomena social yang terus berkembang di masyarakat.
6. Mengetahui keunggulan dan kelemahan para mujtahid, sejalan dengan dalil yang mereka gunakan. Dengan demikian, para peminat hukum Islam (yang belum mampu berijtihad) dapat memilih pendapat mereka yang terkuat disertai alasan-alasan yang tepat.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Al-Ushul Al-Fiqh, ( Kairo: Dar Al-Qalam, 1978), Cet. VII, Hal.12
Ad-Dawalibi, Muhammad Ma’ruf, Al-Madkhal ila ‘ilm ushûl al-fiqh, ( Damsyik: Darul ‘ilm lil Malayin, 1965) Cet. Ke-5
Al-Mahalli, Jalal Syam Ad-Din, Syarh ‘ ala Matn Jam’u al-Jawami’, (Mesir: Musthafa Al-Babi Al-Halabi, 1937). 3
Al-Baidhawi, Minhaj Al-Wushul, ‘Ilm Al-Ushul, (Mesir: Al-Maktabah Al-Tijariyah Al-Kubra, 1326 H), Juz 1: 16.
Syafe’I Rahmat, Ilmu Ushul Fiqih, ( Bandung: Pustaka Setia, 2007), Cet III
Abu Zahrah, Ushul Fiqh, ( Cairo: Dar Al-Fikr Al-Arobi, t.t )
Djazuli dan Nurol ‘Ain, Usul Fiqh, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), Cet. Pertama

Tidak ada komentar: