Minggu, 22 Maret 2009


A. Pengertian Ayat
Kata âyah (آيَةٌ) adalah bentuk tunggal dari kata âyât (آيَاتٌ). Menurut pengertian etimologi, kata itu dapat diartikan sebagai mu‘jizah (مُعْجِزَةٌ = mukjizat), ‘alâmah (عَلاَمَةٌ = tanda), atau ‘ibrah (عِبْرَةٌ = pelajaran). Selain itu, âyah (آيَةٌ) dapat diartikan pula sebagai al-amrul-‘ajîb (اَْلأَمْرُ اْلعَجِيْبُ = sesuatu yang menakjubkan) dan jamâ‘ah (جَمَاعَةٌ = kelompok, masyarakat), al-burhân/ad-dalîl (اَلْبُرْهَانُ/الدَّلِيْلُ = keterangan/penjelasan). Jika dikaitkan dengan istilah Alquran, âyah (آيَةٌ) berarti huruf-huruf hijaiyah atau sekelompok kata yang terdapat di dalam surah Alquran yang mempunyai awal dan akhir yang ditandai dengan nomor ayat.

Dalam bentuk tunggal kata âyah (آيَةٌ) di dalam Alquran disebut 86 kali, seperti dalam QS. Al-Baqarah [2]: 106; dalam bentuk mutsannâ (dua), ayatain (آيَتَيْنِ) disebut satu kali, yaitu dalam QS. Al-Isra’ [17]: 12, sedangkan dalam bentuk jamak, âyât (آيَاتٌ) disebut 290 kali, seperti dalam QS. Al-Baqarah [2]: 61 dan QS. Al-An‘âm [6]: 4. Dalam bentuk tunggal, kata âyah (آيَةٌ) paling banyak disebut dalam QS. Al-Baqarah [2], QS. Al-An‘âm [6], dan QS. An-Nahl [16] masing-masing tujuh kali, sedangkan dalam bentuk jamak kata itu banyak disebut: dalam QS. آli ‘Imrân [3] sebanyak 18 kali, QS. Al-An‘âm [6] sebanyak 25 kali, dan QS. Al-A‘râf [7] sebanyak 24 kali.

Semua pengertian âyah (آيَةٌ) yang dikemukakan di atas digunakan oleh Alquran. Kata itu di dalam Alquran disebut dalam berbagai konteks pembicaraan. Kata âyah (آيَةٌ) yang disebut dalam QS. Al-Baqarah [2]: 106 misalnya, terkait dengan pembicaraan ayat tentang pengertian ayat-ayat Alquran, yang berhubungan dengan persoalan nasakh di dalam Alquran. Di dalam ayat itu dinyatakan bahwa suatu ayat yang di-nasakh akan digantikan dengan ayat lain yang lebih baik daripada itu, atau yang sama dengan itu. Ayat ini dijadikan dasar oleh sebagian ulama untuk menyatakan bahwa di dalam Alquran terdapat ayat-ayat yang me-nasakh dan ayat-ayat yang di-mansukh.

Dari penggunaannya di dalam Alquran dapat disimpulkan bahwa pengertian kata âyah (آيَةٌ) dapat diartikan dengan “ayat-ayat yang berkaitan dengan kitab suci dan Alquran” apabila di dalam ayat itu kata tersebut dikaitkan dengan kata-kata nazala (نَزَلَ = turun) dan kata-kata lain yang seasal dengan itu atau adanya tantangan yang ditujukan kepada orang-orang untuk membuat sesuatu yang sama dengan ayat-ayat Alquran. Apabila kata ayat dikaitkan dengan kata Allâh (الله) dan segala kata ganti yang berkaitan dengan-Nya, maka kata itu dapat diartikan dengan dua pengertian, yaitu pertama dengan “ayat-ayat Alquran” dan dapat pula dengan “sesuatu yang menunjuk kepada kebesaran dan kekuasaan Allah”. Jika kata âyah (آيَةٌ) yang dihubungkan dengan ungkapan-ungkapan li qaumin yatafakkarûn (لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنَ), ya‘qilûn (يَعْقِلُوْنَ), yasma‘ûn (يَسْمَعُوْنَ), yadzdzakkarûn (يَذَّكَّرُوْنَ) atau yang semakna dengan itu, maka kata itu diartikan sebagai “tanda-tanda kebesaran Allah Swt”. Ayat dalam pengertian ini cukup banyak diungkapkan di dalam Alquran, antara lain dalam QS. Al-Hijr [15]: 77, QS. An-Nahl [16]: 11, dan QS. Al-Anbiyâ’ [21]: 91.

B. Jumlah Ayat al-Qur’an dan Sebab Perbedaan penghitungannya
Para ulama sepakat mengatakan bahwa jumlah ayat Al-Quran lebih dari 6.200 ayat. Namun berapa ayat lebihnya, mereka masih berselisih pendapat.

Menurut Nafi' yang merupakan ulama Madinah, jumlah tepatnya adalah 6.217 ayat. Sedangkan Syaibah yang juga ulama Madinah, jumlah tepatnya 6214 ayat. Lain lagi dengan pendapat Abu Ja'far, meski juga merupakan ulama Madinah, beliau mengatakan bahwa jumlah tepatnya 6.210 ayat.

Menurut Ibnu Katsir, ulama Makkah mengatakan jumlahnya 6.220 ayat. Lalu 'Ashim yang merupakan ulama Bashrah mengatakan bahwa jumlahnya jumlah ayat al-Quran ialah., 6205 ayat.

Hamzah yang merupakan ulama Kufah sebagaimana yang diriwayatkan mengatakan bahwa jumlahnya 6.236 ayat.
Dan pendapat ulama Syria sebagaimana yang diriwayatkan oleh Yahya Ibn al-Harits mengatakan bahwa jumlahnya 6.226 ayat. Sebenarnya tidak ada yang beda di dalam ayat al-Quran. Semua pendapat di atas berangkat dari ayat-ayat Al-quran yang sama.Yang berbeda adalah ketika menghitung jumlahnya dan menetapkan apakah suatu potongan kalimat itu menjadi satu ayat atau dua ayat.

Ada orang yang menghitung dua ayat menjadi satu. Dan sebaliknya juga ada yang menghitung satu ayat jadi dua. Padahal kalau dibaca semua lafadz al-Quran itu, semuanya sama dan itu itu juga. Tidak ada yang berbeda. Lalu mengapa menjadi beda dalam menentukan apakah satu lafadz itu satu ayat atau dua ayat? Jawabnya adalah dahulu Rasulullah SAW terkadang diriwayatkan berhenti membaca dan menarik nafas. Pada saat itu timbul asumsi pada sebagian orang bahwa ketika Nabi menarik nafas, di situlah ayat itu berhenti dan habis. Sementara yang lain berpandangan bahwa Nabi SAW hanya sekedar berhenti menarik nafas dan tidak ada kaitannya dengan berhentinya suatu ayat. Lagian, Nabi SAW saat itu juga tidak menjelaskan kenapa beliau menarik nafas dan berhenti. Dan tidak dijelaskan juga apakah berhentinya itu menunjukkan penggalan ayat, atau hanya semata-mata menarik nafas karena ayatnya panjang.

Dilihat dari jumlah ayat yang terdapat dalam al-Quran, para ulama mempunyai perbedaan pendapat. Abu Abdurrahman As-Salmi, salah seorang ulama Kufah, menyebutkan bahwa ayat-ayat al-Quran berjumlah 6.236 ayat. Jalaluddin As-Suyuti, seorang ulama tafsir dan fiqh, menyebutkan 6.000 ayat. Imam Al-Alusi menyebutkan 6.616 ayat. Perbedaan pandangan mereka dalam hal ini tidak disebabkan karena perbedaan mereka menyangkut ayat-ayatnya, tetapi disebabkan oleh perbedaan cara mereka menghitungnya. Apakah basmalah dihitung pada masing-masing setiap surat atau dihitung satu saja. Apakah setiap tempat berhenti merupakan satu ayat atau bagian dari ayat. Apakah huruf-huruf hijaiyah pada awal surat merupakan ayat yang berdiri sendiri atau digabung dengan ayat sesudahnya. Demikian seterusnya, sehingga timbul perbedaan di kalangan ulama.

Ayat-ayat al-Quran yang dimulai dari ayat pertama surat pertama (S. Al-Fatihah) sampai dengan ayat terakhir surat terakhir (S. An-Nas) disusun secara tauqifi, yaitu berdasarkan petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Allah dan Rasulullah Saw, tidak berdasarkan ijtihad para sahabat. Pengelompokan al-Quran berdasarkan ayat-ayat mengandung beberapa hikmah. Di antara hikmah-hikmah itu ialah: (1) untuk memudahkan mengatur hafalan dan mengatur waqaf (berhenti) berdasarkan batas-batas ayat; dan (2) untuk memudahkan penghitungan jumlah ayat yang dibaca pada saat melakukan shalat atau khutbah.

Dilihat dari periode turunnya, ayat-ayat al-Quran oleh para ulama dikelompokkan atas ayat-ayat Makkiyyah dan Madaniyyah. Terdapat tiga pendapat para ulama dalam memberikan pengertian Makkiyyah dan Madaniyyah. Pendapat pertama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat-ayat Makkiyyah adalah ayat-ayat yang turun di Mekah dan sekitarnya, walaupun sesudah hijrah, dan Madaniyyah ialah ayat-ayat yang turun di Madinah. Pendapat kedua menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Makkiyyah ialah ayat-ayat yang ditujukan kepada masyarakat Makkah yang antara lain ditandai dengan ungkapan yâ ayyuhan-nâs (يآأَيُّهَاالنَّاسُ) dan yang Madaniyyah ialah ayat-ayat yang turun untuk ditujukan kepada masyarakat Madinah yang sudah beriman, yang antara lain ditandai dengan ungkapan yâ ayyuhal-ladzîna âmanû (يآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا). Pendapat ketiga, merupakan pendapat yang populer, menyatakan bahwa ayat Makkiyyah ialah ayat-ayat yang turun sebelum Nabi Muhammad Saw. berhijrah ke Madinah walaupun turunnya di tempat selain Makkah, sedangkan ayat-ayat Madaniyyah ialah ayat-ayat yang turun sesudah hijrah walaupun turun di Makkah.

Dilihat dari segi jumlahnya, ayat-ayat Makkiyyah lebih banyak dibandingkan dengan ayat-ayat Madaniyyah. Dari ayat-ayat al-Quran yang berjumlah 6.236 itu, ayat-ayat Makkiyyah berjumlah 4.726 buah, sedangkan ayat-ayat Madaniyyah berjumlah 1.510 buah. Ini berarti bahwa tiga perempat dari jumlah ayat-ayat al-Quran adalah Makkiyyah.



C. Perbedaan pendapat Tentang Ayat Pertama dan Terakhir Turun

Ayat-ayat al-Quran yang secara lengkap sampai kepada kita saat kini tidak diturunkan sekaligus, tetapi diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan kaum muslimin pada awal Islam itu. Ini berarti bahwa di antara ayat-ayat itu ada yang turun pertama sekali, ada yang turun terakhir sekali, dan ada pula yang turun pada periode-periode di antara keduanya. Di dalam hal ini ada empat pendapat para ulama. Pertama, ulama yang mengatakan bahwa ayat yang pertama turun adalah Ayat 1–5 dari S. Al-‘Alaq [96] berdasarkan, antara lain, hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah Ra. yang menceriterakan kejadian yang dialami Nabi ketika menerima wahyu itu. Kedua, ulama yang menyatakan bahwa ayat yang pertama turun adalah Ayat 1–5 dari QS. Al-Muddatstsir [74], berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abi Salmah bin Abdur Rahman bin ‘Auf. Ketiga, ulama yang berpendapat bahwa ayat yang pertama turun adalah QS. Al-Fâtihah [1], berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari Abu Maisarah ‘Umar bin Syurahbil. Adapun yang keempat, menyatakan ayat yang pertama turun ialah bismillâhir-rahmânir-rahîm, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Al-Wahidi dari Ikrimah dan Al-Hasan.

Mayoritas ulama menyatakan bahwa pendapat yang paling kuat adalah pendapat pertama, yakni Ayat 1–5 dari QS. Al-‘Alaq [96] merupakan wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad Saw, dan tidak satu pun wahyu yang turun sebelum itu. Tiga pendapat lainnya oleh Az-Zarqani dikompromikan sebagai berikut; Ayat 1–5 dari QS. Al-Muddatstsir [74] merupakan ayat-ayat yang turun pertama kali setelah beberapa saat lamanya terjadi kekosongan turunnya wahyu setelah turunnya Ayat 1–5 dari QS. Al-‘Alaq [96]. Ayat-ayat dari QS. Al-Fâtihah [1] mungkin dapat dipandang sebagai surah al-Quran yang diturunkan pertama kali secara lengkap mulai dari ayat pertama sampai dengan ayat terakhir. QS. Al-Fâtihah [1] itu turun beberapa saat lamanya setelah Muhammad diangkat sebagai Nabi.

Mengenai ayat yang terakhir turun, juga terdapat perbedaan pendapat para ulama. Menurut az-Zarqani, terdapat 10 pendapat ulama, yaitu: (1). Ayat 281 dari QS. Al-Baqarah [2], berdasarkan hadis riwayat An-Nasa’i melalui Ikrimah dari Ibnu Abbas dan riwayat Ibnu Abi Hatim; (2). Ayat 278 dari QS. Al-Baqarah [2], berdasarkan hadis riwayat Bukhari dari Ibnu Abbas dan riwayat Baihaqi dari Ibnu Umar; (3). Ayat 282 dari QS. Al-Baqarah [2], berdasarkan hadis riwayat Ibnu Jarir dari Sa‘id bin Al-Musayyib dan riwayat Abu Ubaid dari Ibnu Syihab. (4). Ayat 195 dari S. آli ‘Imrân [3]; (5). Ayat 94 dari S. An-Nisâ’ [4]; (6). Ayat 176 dari S. An-Nisâ’ [4]; (7). Ayat 3 dari S. Al-Mâ’idah [5], (8). Ayat 128 dari S. At-Taubah [9]; (9). Ayat 110 S. Al-Kahf [18], dan (10). Ayat-ayat QS. An-Nashr [110], yang semuanya berdasarkan riwayat. Perbedaan pendapat ini timbul karena perbedaan masa para sahabat mendengarkan ayat yang disampaikan Nabi. Menurut Az-Zarqani dan Subhi As-Salih, ayat-ayat yang terakhir turun adalah Ayat 281 dari S. Al-Baqarah [2]. (Ahmad Thib Raya)

D. Sistematika Penyusunan Ayat dan Argumennya
Sebagaimana urutan dalam sistematika al-Quran, sistematika ayat didalam al-Quran juga memiliki beberapa pandangan yang berbeda, diantaranya yaitu pendapat yang menyatakan bahwa urutan-urutan ayat-ayat al-Quran adalah Tauqifi, karena ayat al-Quran ketentuan dari Rasulallah SAW. Sebagian ulama menyatakan bahwa pendapat ini adalah Ijma’, diantaranya Al-Zarkasy dalam al-Burhan dan Abu Ja’far Ibnu Zubair (seorang ahli nahwu dan Hafidz) dalam munasabahnya ia mengatakan susunan ayat-ayat di dalam surat-surat itu berdasarkan Tauqifi maksudnya merupakan ketentuan dari Rasulalla SAW. Atas perintah Allah, yang tidak diperselisihkan kaum muslimin. Al-Suyuthi memperkuat dengan mengatakan Ijma’ dan nas-nas yang serupa menegaskan urutan ayat-ayat adalah Tauqifi tanpa ada keraguan. Jibril langsung menurunkan beberapa ayat tersebut karena harus diletakkan dalam surat atau ayat-ayat yang turun sebelumnya. Rasulallah SAW kemudian memerintahkan kepada penulis wahyu untuk menuliskannya ditempat tersebut dan mengatakan kepada mereka: Letakkanlah ayat-ayat ini pada surat yang telah disebutkan begini dan begini atau letakkan ayat ini ditempat ini. Susunan penempatan ayat tersebut sebagaimana yang disampaikan sahabat Utsman Ra.:
’’Aku tengah duduk disamping Rasulallah SAW tiba-tiba pandangannya menjadi tajam, lalu kembali seperti semula. Kemudaian katanya Jibril telah dating kepadaku dan memerintahkan agar aku meletakkan ayat ini di tempatanu dari surat ini: ’’Sesungguhnya Allah menyuruh kaum berlaku adil dan kebajikan serta memberi kepada kaum kerabat…’’ (Al-Nahl 16:90)
Az-Zarqani berpendapat berdasarkan kesepakatan Ijma’ ulama sistematika ayat-ayat seperti bentuknya sekaran yaitu pada mushaf Utsmani adalah sistematika yang diperoleh atas Tauqif dari Nabi yang berasal dari Allah. Itu bukan merupakan wilayah akal dan bukan masul pada wilayah ijtihad. Menurut Ijma dan Nash, yang banyak sekali menetapkan tertib ayat disebut Tauqify yaitu terserah kepada petunjuk-petunjuk yang diberikan Nabi.
Dua faktor utama dalam sistem penyusunan al-Quran, yaitu sistem komposisi matematika secara literal (penempatan kata-kata, kalimat dsb) dan sistem struktur matematika yang melingkupi perhitungan surat-surat dan ayat-ayat al-Quran. Dengan kedua sistem ini sekecil apapun distorsi yang dilakukan terhadap al-Quran baik kalimat per kalimat, kata per kata, huruf per huruf maupun pergeseran tata letak dan susunan fisiknya akan segera dapat diketahui.
Sistem penyusunan al-Quran yang berdasarkan struktur matetamtika tersebut ditemukan pada tahun 1974 oleh Dr Rashad Khalifa ahli bio-kimia asal Mesir. Rashad Khalifa melakukan penelitian intensif setelah tertantang oleh pertanyaan anaknya tentang maksud inisial al-Quran ‘Alif Lam Mim’ yang tak dapat ia jawab. Setelah mengutak-atik al-Quran dengan komputer selama lebih dari lima tahun Rashad Khalifa menemukan angka 19 sebagai denominator (angka patokan) yang digunakan di dalam sistem matematika al-Quran. Angka 19 tersebut termaktub di dalam surat Al-Muddatstsir ayat 30, Di atasnya ada sembilan belas (penjaga).
Sedangkan sistem itu sendiri bervariasi dari yang sangat sederhana sampai yang rumit hingga memerlukan komputer untuk mengolahnya. Yang gampang untuk dicerna adalah fakta-fakta berikut. Basmalah terdiri dari 19 huruf Arab, Al-Quran terdiri dari 114 surat atau 19 x 6. Total ayat di dalam al-Quran adalah 6346 atau 19 x 334. Jumlah Basmalah ada 114 kali walaupun absen pada surat 9, ia muncul dua kali dalam surat 27. Antara surat 9 yang tanpa Basamalah dengan surat 27 yang mengandung dua Basmalah terdapat 19 surat. Jumlah ayat yang menyebutkan kata Allah 118123 buah atau 19 x 6217. Jumlah ayat dimana kata “Allah” disebutkan yang nomor ayatnya merupakan kelipatan 19 adalah 133 buah atau 19 x 7.
Al-Quran mempunyai karekteristik unik yang tidak terdapat di dalam buku-buku lain, 29 surat diawali dengan “Inisial Qurani” terkubur misterius selama 1406 tahun. Dengan ditemukannya kode 19, barulah diketahui bahwa inisial tersebut memainkan peranan penting di dalam struktur matematika al-Quran. Surat yang berinisial tertentu seperti K.H.Y.A’.S menunjukkan bahwa huruf-huruf tersebut jumlah penyebutannya merupakan kelipatan 19 di dalam surat itu, yaitu 798 atau 19 x 42.
Untuk lebih jauh mengetahui keajaiban inisial-inisial ini, QS 50 surat pendek yang dibuka dengan inisial huruf “Qaaf” kita ambil sebagai contoh. Frekuensi penyebutan “Qaaf” pada surat ini adalah 57 kali atau 19 x 3. Sedangkan frekuensi penyebutan huruf “Qaaf” pada surat berinisial “Qaaf” yang lain yaitu surat 42, (Aiin siin qaaf) adalah sama, juga 57. Kedua angka tersebut dijumlahkan maka menjadi 114 (19 x 6) persis sama dengan jumlah keseluruhan surat di dalam al-Quran. Mungkinkah “Qaaf” singkatan dari Quran? Tuhan Yang Maha Tahu.
Keunikan komposisi matematika di dalam al-Quran memang menarik untuk diikuti. Kaum yang tidak percaya terhadap Nabi Luth disebutkan dalam 13 surat di dalam Al-Quran, salah satunya ialah surat 50:13 yang berinisial “Qaaf”. Secara konsisten kaum tersebut di sebut sebagai “Qawm” di dalam 12 surat, kecuali surat 50:13, disini mereka disebut “Ikhwaan”. Kok berubah? Dengan minus satu “Qawm” pada 50:13 maka ada 57 buah kata “Qawm” (19 x 3). Inisial “Qaaf’ adalah hint (kode) yang mengarahkan perhatian pembaca kepada kata “Qawn” tersebut.
Contoh lain adalah surat 3 (Ali Imran) yang berinisial Alif Laam Miim, pada ayat 96 nama kota Makkah tidak di eja sebagaimana mestinya, disitu ia di tulis “Bakkah”, sedangkan pada surat lain (48:24) ia ditulis dengan huruf “Miim” (Makkah seperti biasa). Ada apa?. Dalam surat Ali Imran terdapat 2521 buah huruf “Alif”, 1892 buah huruf “Laam” dan 1249 buah huruf “Miim” sehingga ketika ketiga-tiganya dijumlah menjadi 5662 buah huruf, atau 19 x 298. Bagaimana kalau 3:96 di tulis pakai huruf “Miim” maka akan berlebih satu huruf menjadi 5663 yang bukan kelipatan 19.
Ada malam dan ada siang, juga ada yang pro dan kontra terhadap teori diatas. Para pengkritik menemukan kesalahan pada data komputer Rashad Khalifa. Mereka menemukan 153 buah huruf “Sad” di dalam surat 7 (Al-A’raf) yang berinisialkan Alim laam miim shaad, bukan 152 buah seperti yang di klaim Rashad. Akan tetapi terdapat kata BaSTatan pada ayat 69 surat tersebut, diatas perkataan BaSTatan itu terconteng huruf “Sin” kecil. Contengan kecil itu ditemukan pada hampir semua al-Quran yang digunakan saat ini. Ada dua versi tentang contengan kecil ini, selain huruf “Sin” kecil itu ada juga yg ditulis dengan kalimat “yuqrau bil-sini” atau “dibaca dengan Sin”. Dengan kata lain meskipun kata BaSTatan ditulis dengan huruf “Sad” tetapi harus dilafalkan dengan “Sin”. Dan karenanya hitungan huruf “Sad” dalam surat Al A’raf adalah 152 (19 x 8).
Al-Quran adalah kitab yang sangat informatif dan tersusun rapi ayat-ayatnya, bukan saja setiap kata mengandung maksud dan makna tertentu akan tetapi ia juga berfungsi sebagai elemen matematika yang mengikat satu sama lain.

Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, Kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah" (seorang manusia), Maka jadilah Dia. (QS 3:59).
Sangat jelas ayat ini menerangkan bahwa Adam dan Isa adalah sama karena tidak berasal dari sistem reproduksi sebagaimana manusia biasa. Adam tidak mempunyai ibu dan bapak, sedangkan Isa hanya mempunyai ibu saja. Tetapi lebih dari itu, ada persamaan yang lain dimaksud oleh ayat tersebut, nama Isa dan Adam sama-sama disebut sebanyak dua puluh lima kali di dalam Al-Quran.
Selain fakta-fakta disebut diatas dan banyak lagi yang lainnya, data-data yang tercantum dalam Al-Quran berikut menarik pula untuk diketahui. Kata “hari” (yawm) disebutkan sebnyak 365 kali, “hari-hari” (yawmayn) 30 kali, kata “sabt” (hari ketujuh) 7 kali. Kata “setan” dan “malaikat” masing-masing 88 kali. Kata “dunia” dan “akhirat” maisng-masing 115 kali. Kata “qist” (adil) dan “zulm” (tidak adil) masing-masing 15 kali. Kata “daratan” 13 kali sementara “laut” 32 kali sehingga memberikan perbandingan rasio antara daratan dan lautan yang kita kenal 13/45 dan 32/45.
Tuhan menantang umat manusia untuk membuat kitab serupa al-Quran. Banyak pengarang besar yang mengaku mampu membuat kitab serupa itu, seperti Taha Hussein pengarang terkenal dari Mesir. Akan tetapi mereka tidak mengetahui adanya sistem matematika yang rumit dan nyelimet di dalam susunan al-Quran tersebut. al-Quran bukanlah kumpulan bait-bait dan syair-syair tersusun rapi, tetapi ada kunci matematika yang menjaga keutuhan dan keaslian kandungannya. Dengan kata lain al-Quran tidak memerlukan sistim hak cipta, peraturan dan undang-undang untuk melindungi dirinya dari pemalsuan. al-Quran adalah Buku Pintar yang bisa menjaga dirinya sendiri.

Tidak ada komentar: