Senin, 30 November 2009
بسم الله الرحمن الرحيم
وَقَالَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى نَحْنُ أَبْنَاء اللّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ قُلْ فَلِمَ يُعَذِّبُكُم بِذُنُوبِكُم بَلْ أَنتُم بَشَرٌ مِّمَّنْ خَلَقَ يَغْفِرُ لِمَن يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَن يَشَاءُ وَلِلّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ ﴿١٨
"Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: "Kami Ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya". Katakanlah: "Maka Mengapa Allah menyiksa kamu Karena dosa-dosamu?" (kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia(biasa) diantara orang-orang yang diciptakan-Nya dan mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. dan kepunyaan Allah-lah kerajaan antara keduanya. dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu)." ( QS.al-Maidah: 18).
ASBABUN NUZUL
عن ابن عباس قال: أتى رسولَ الله صلى الله عليه وسلم نعمانُ بن أص وبحريّ بن عمرو، وشأس بن عدي، فكلموه، فكلّمهم رسول الله صلى الله عليه وسلم، ودعاهم إلى الله وحذّرهم نقمته، فقالوا: ما تُخَوّفنا، يا محمد!! نحن والله أبناء الله وأحبَّاؤه!! كقول النصارى، فأنزل الله جل وعز فيهم:"وقالت اليهودُ والنصارى نحن أبناء الله وأحباؤه"، إلى آخر الآية.
Dari Ibnu Abbas Ra beliau berkata: ”Nu’man bin Ash, Bahriy bin Amr dan Sya’s bin ‘Adi datang kepada Rasulallah Saw, mereka mencela/berkata-kata kepada Rasulallah Saw dan Rasulallah Saw pun membalasnya dan menyeru mereka kepada Allah dan memperingatkan mereka tentang azab-Nya. Mereka berkata: ”engkau tidak membuat kami takut wahai Muhammad!! Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-Nya!!” Begitu juga kaum Nasrani berkata seperti mereka..” maka Allah menurunkan ayat diatas berkenaan tentang mereka.
PEMBAHASAN
Ayat ini sebenarnya masih ada kaitan dengan ayat sebelumnya yaitu masih berkisar tentang Yahudi dan Nasrani (Ahli Kitab). Aspek keserasian antara ayat ini dan sebelumnya adalah pada ayat sebelumnya Allah mengungkap argumen kesesatan ahli kitab dari yahudi dan nasrani secara umum, dan menjelaskan bahwa mereka adalah bangsa yang sangat enggan untuk beriman dengan syari’at islam yang dibawa Nabi Muhammad saw. Maka pada ayat ini Allah menjelaskan bentuk lain dari kekufuran mereka secara khusus.
Allah Ta’ala berfirman :
وَقَالَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى نَحْنُ أَبْنَاء اللّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ
"Orang yahudi dan Nasrani berkata bahwa mereka adalah anak-anak Allah dan kekasih-Nya".
Dalam ayat ini terdapat sesuatu yang ganjil yaitu ahli kitab yang sejatinya mereka telah membaca al-Kitab Taurat dan Injil mengaku anak tuhan. Tentu menjadi suatu pertanyaan mengapa sampai terjadi seperti ini. Apakah ada hal yang melatar belakangi mereka berani mengatakannya. As-Sudi didalam tafsir Khozin mengatakan bahwa mereka berkata bahwa Allah swt mewahyukan kepada Israil “Nabi Ya’kub” bahwa Dia akan memasukkan anak cucunya kedalam neraka selama 40 hari saja sehingga habis semua kesalahan mereka didalam neraka. Setelah itu mereka dikeluarkan dari dalamnya. Inilah yang menyebabkan Yahudi mengatakan “Api neraka tidak akan menyentuh kami kecuali beberapa hari tertentu saja”.
Secara lebih umum ayat ini menurut al-Alusy adalah tentang “suatu kelompok yang mendeklarasikan sebuah doktrin dan pernyataan sesat yang menyalahi pernyataan umum, dan penjelasan sebuah kesesatan umum yang serupa dengan mereka dan menjelaskan kesesatan, intinya adalah ada keserupaan illat dengan apa yang diceritakan oleh ayat ini. ”
Adapun kaum Nasrani mengatakan bahwa Isa itu adalah anak Allah yang kemudian mereka mengaku-ngaku dan menasabkan diri kepada Nabi Isa yang menurut mereka anak Allah itu.
Adapun dalam lafadz أَبْنَاء اللّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ, ada beberapa pendapat tentang lafadz tersebut:
1. ‘Athofnya “Ahibba’ ” terhadap lafadz “abna’ullah” adalah sebagai bentuk perkataan mereka yang sangat menarik. Yaitu “Anak-anak yang dicintai “ walau si anak tersebut dimurkai. ”yang dicinta, yang dimurka”. Wallahu ‘alam.
2. Ahli kitab tidak benar-benar mengatakannya. Untuk pendapat ini ada beberapa permasalahan :
1. Bagaimana bisa al-Qur’an mengatakan bahwa mereka ahli kitab mengatakan anak-anak dan kekasih Allah?
2. Nasrani menganggap Isa adalah anak Allah, tetapi bukan pada hak mereka. Bagaimana boleh mereka disifati sebagai mengaku anak tuhan?
Adapun jawaban yang pertama adalah seperti yang telah dinukil dari Imam Fakhrurrazi dalam tafsirnya “Mafatihul Ghaib” atau “Tafsir Kabir” :
أجاب المفسرون عنه من وجوه : الأول : أن هذا من باب حذف المضاف ، والتقدير نحن أبناء رسل الله ، فأضيف إلى الله ما هو في الحقيقة مضاف إلى رسل الله ، ونظيره قوله { إِنَّ الذين يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ الله } ( الفتح :10).
Jadi pernyataan yahudi dalam mendeklarasikan “anak Allah” ternyata “anak Rasul Allah Israil/Nabi Ya’qub” yang mereka dijamin “masuk neraka cuma 40 hari”. Tetapi dari sini pula pangkal jatuhnya mereka sehingga menjadi sombong yang selalu dalam kekufuran karena keyakinan mereka bahwa mereka tidak akan tinggal dineraka selamanya.
Jawaban yang kedua : “lafadz Ibn sebagaimana dipakai untuk anak kandung, maka bisa dipakai pula terhadap orang yang mengambil anak. Mengambil anak berarti mengkhususkan untuk memberikan perhatian dan kecintaan lebih terhadap anak angkatnya. Suatu kaum ketika mengaku bahwa perhatian dan pengawasan Allah lebih dari kaum selainnya, tidak diragukan lagi Allah melegalisir pernyataan mereka “bahwa perhatian Allah lebih untuk mereka” sehingga dapat dikatakan bahwa mereka adalah anak-anak Allah...” sebagaimana mereka mengaku bahwa Isa adalah anak Allah dan Nasrani adalah kaum yang paling baik diantara kaum yang lain.
قُلْ فَلِمَ يُعَذِّبُكُم بِذُنُوبِكُم
Kemudian Allah Swt memerintahkan Nabi-Nya untuk menyanggah pernyataan mereka. “kalau seandainya memang perkara tersebut seperti apa yang kalian sangka, maka bagaimana pula kalian di azab disebabkan dosa-dosa kalian didunia? Sebagaimana Allah telah menghancurkan kerajaan kalian dari muka bumi, dan banyak lagi kejadian yang ditimpakan kepada kalian karena pelanggaran-pelanggaran yang kalian lakukan. Maka logikanya itu adalah kekasih tidak akan menghukum kekasihnya, orangtua juga tidak akan menghukum anaknya. Kalau dihukum, bahkan dimasukkan dineraka berarti sama saja bukan kekasih namanya.”. Karena kalau kalian adalah anak-anak(Nabi)Allah pasti kalian mewarisi sifat bapaknya yaitu kalian tidak melakukan tindakan pelanggaran serta tidak akan dihukum, kalau kalian memang kekasih Allah mengapa kalian mengkhianati dan mendurhakai Allah?
Sungguh kalimat diatas suatu sanggahan yang sangat rasional sekali dan dapat mengundang rasa malu untuk orang yang mengaku sebagai “seseorang yang dekat yang disayang” akan tetapi “disama ratakan dengan yang lain dalam hal strata sosial”. Seakan-akan ada isyarat “kok kamu bisa mengaku sebagai ini itu, ini itu akan tetapi realisasinya sama saja dengan orang yang tidak mengatakan ini itu ini itu”. Sungguh suatu sanggahan Balagi yang sangat menusuk tajam kedalam jiwa bagi orang-orang yang benar-benar meresapinya. Pertanyaannya adalah apakah sanggahan hal seperti ini berlaku kepada orang-orang yang telah dibutakan hatinya? Menyombongkan diri ketika sudah ada ditampu kepemimpinan? Menyombongkan diri ketika tidak ada lagi seseorang yang melebihinya... wallahu’alam.
بَلْ أَنتُم بَشَرٌ مِّمَّنْ خَلَقَ
Sudah tentu sanggahan tadi sangat menyakitkan. Oleh karena itu seyogyanya bagi orang yang berfikir untuk kalah berargumentasi ketika dihadapkan dengan pernyataan diatas. Dan sudah pasti jawabannya adalah satu “kalau seperti itu kejadiannya, berarti kamu sama saja dengan saya”. Kasarnya adalah, sudahlah tidak usah menyombongkan diri menganggap lebih dari orang lain, jangan sok suci kalau masih ada kesalahan, jangan berlagak benar sendiri jika dalam berargumen masih belum dapat diterima oleh publik. Bahkan argumen yang dilontarkan oleh selain orang yang berlagak alim (orang-orang biasa itu), dekat dengan Tuhan itu lebih relevan, lebih kongkrit, dan dapat diterima oleh khalayak ramai. Intinya adalah kamu sama seperti saya. Hanya Allah yang berhak membedakan mana yang benar dekat dengan Tuhannya, mana yang cuma ngaku-ngaku benar dekat Tuhannya dan yang lain tidak seperti kami. Ya itulah sifat yahudi. Mau menang sendiri.
يَغْفِرُ لِمَن يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَن يَشَاءُ
Allah mengampuni orang-orang yang bertaubat dari kesalahannya dan tidak mengulangi lagi kesalahan tersebut serta mengazab orang-orang yang tidak bertaubat dari kesalahannya serta mati dalam keadaan tersebut. Dikatakan maknanya adalah seseorang tersebut diberi petunjuk kejalan yang benar kemudian Allah mengampuni mereka dan mematikan orang yang dikehendakinya dalam keadaan kafir maka Allah mengazabnya. Mungkin dapat juga kalimat ini dikatakan sebagai “ancaman serta hiburan”. Mengancam tetapi dengan memberikan solusi dengan pilihan yang lain. Disini juga terdapat isyarat halus seakan-akan Allah mengatakan “Bertaubatlah sebelum terlambat” atau seperti kata orang “Sholatlah sebelum disholatkan”.
وَلِلّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا
Sebuah kesempunaan penolakan terhadap pernyataan mereka. Bahwa pernyataan mereka tidak mempengaruhi kekuasaan Allah sedikitpun. Bahwa sesungguhnya Dialah pemilik sejati alam semesta. Mengatur atas kehendak dan hikmahnya. Dialah pemilik sejati alam raya, mengadakan dan meniadakan, mematikan dan menghidupkan, memberi pahala atau mengazab. Maka darimana mereka bisa mendapatkan kepastian bahwa Allah pasti mengampuni mereka?
Ketika Allah menggunakan term السموات memberikan arti hakikat. Memang dzatnya betul-betul. Bukan hanya arah yang biasa terkandung dalam term السماء.
وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ
Dan hanya kepada Allah swt saja tempat kembali semua makhluq yang ada. Kembali kapada pemilik sejati bukan kepada selainnya. Maka setiap orang akan dibalas menurut amal perbuatannya. Jika baik amalnya, maka yang akan didapatkan diakhirat baik pula. Dan apabila jelek, tidaklah seseorang mendapatkan kecuali apa yang telah dia perbuat.
Ayat ini kalau boleh pemakalah katakan adalah sebuah ayat ancaman. Karena dari permulaan ayat menceritakan perihal yahudi dan nashrari sepaket dengan kekufuran mereka. Dilanjutkan dengan jadal dan diakhiri dengan kesemuanya akan kembali kepada Allah. Kalau difikirkan lebih lanjut, seakan ayat ini mengisyaratkan sebuah pelajan penting didalam hidup. Yaitu, ketawadduan, saling menghormati, tidak egois yang maunya benar sendiri. Hasbunallah.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ayat 18 surat al-Maidah ini seakan-akan memberikan pencerahan bagi kita akan pentingnya rasa rendah hati, tidak mengklaim paling baik dan benar sendiri. Meninggalkan strata sosial, mengedepankan toleransi sesama bahwa setiap manusia mempunyai hak yang sama didalam hidup. Dengan metode jadal yang mengena dihati, mudah dicerna oleh nalar, hingga meninggalkan kesan yang positif untuk para pencari Tuhan yang sejati.
Ayat ini berkisar tentang kisah Yahudi dan Nasrani bersama sifat-sifat mereka. Suatu gambaran umum bahwa yang bersifat seperti mereka adalah golongan mereka walau dari segi aqidah bukan dari golongan mereka. من تشبه بقوم فهو منهم.
Allah Swt sebagai pemilik otoritas tertinggi diatas semua makhluk-Nya, Pemilik jagat raya, berkuasa untuk mengampuni atau mengazab, mematikan atau menghidupkan, semua atas kehendak dan menurut hikmah-Nya. Dan semuanya akan kembali pada-Nya.
B. DAFTAR PUSTAKA
Al-Tabarī Muhammad b. Jarīr Abū Ja‘far " Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta'wīl Āy al-Qur'ān, ( Mesir: Mus (1968),
Wahbah al-Zuhaylī, al-Tafsīr al-Munīr fi al-‘Aqīdah wa al-Syarī‘ah wa al-Manhaj, (Beirut: Dār al-Fikr al-Mu‘ās, 1991)
Al-Alūsīy, Syihāb al-Dīn al-Sayyid Mahmud Abū al-Fad al-Baghdādī, Rūh al-Ma‘ānī fī Tafsīr al-Qur'ān al-'Azīm wa al-Sab‘ al-Mathānī, (Beirut: Dār al-Fikr)
Al-Zarkasyhî Badr al-Dîn Muhammad, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur`ân (Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmîyah, 1408/1988)
Ar-Razi Fakhruddin, Mafatih al-Ghaib min al-Qur'an al-Karim/Tafsir al-Fakh al-Razi, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000)
al-Bagdady , 'Alauddin 'Ali bin Muhammad bin Ibrahim, Tafsir al-Khozin, Maktabah as-Syamilah, Juz 1
Ibnu ‘Asyur, Muhammad Thahir, At-Tahrir wat Tanwir, Maktabah As-Syamilah, Juz 6
Al-Zamakhsyari, Abu al-Qashim Mahmud bin Umar, Maktabah as-Syamilah, Juz 1
Selasa, 10 November 2009
Kamis, 29 Oktober 2009
HADITS KEDUA
HADITS KEDUA عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضاً قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّد أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : اْلإِسِلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكاَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً قَالَ : صَدَقْتَ، فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ قَالَ : أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. قَالَ صَدَقْتَ، قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ . قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ: مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَاتِهَا، قَالَ أَنْ تَلِدَ اْلأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي الْبُنْيَانِ، ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا، ثُمَّ قَالَ : يَا عُمَرَ أَتَدْرِي مَنِ السَّائِلِ ؟ قُلْتُ : اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمَ . قَالَ فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتـَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ . {رواه مسلم} Dari Umar Radhiallahu 'anh juga dia berkata : Ketika kami duduk-duduk disisi Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada kepada lututnya (Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam) seraya berkata: " Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam ?", maka bersabdalah Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam : " Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu ", kemudian dia berkata: " anda benar ". Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: " Beritahukan aku tentang Iman ". Lalu beliau bersabda: " Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk ", kemudian dia berkata: " anda benar". Kemudian dia berkata lagi: " Beritahukan aku tentang ihsan ". Lalu beliau bersabda: " Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau" . Kemudian dia berkata: " Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)". Beliau bersabda: " Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya ". Dia berkata: " Beritahukan aku tentang tanda-tandanya ", beliau bersabda: " Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba, (kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya ", kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau (Rasulullah) bertanya: " Tahukah engkau siapa yang bertanya ?". aku berkata: " Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui ". Beliau bersabda: " Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian ". (Riwayat Muslim) A. MARAJI'UL HADITS (REFERENSI HADITS) 1. Shahih Muslim, Kitabul Iman. Hadits Nomor 8. 2. Sunan At-Tirmidzi, Kitabul Iman, Hadits Nomor 2738. 3. Sunan Abu Dawud, Kitabus Sunnah, Bab Al-Qadr, Hadits Nomor 4695. 4. Sunan An-Nasa'I, Kitabul Iman, Bab Na'tul Islam: 8/97. B. AHAMMIYATUL HADITS (URGENSI HADITS) Ibnu Daqiq Al'id berkata, "Hadits ini sangat penting meliputi semua amal perbuatan, yang dhahir dan batin, bahkan semua ilmu Syari'at mengacu padanya, karena memuat segala hal yang ada dalam semua hadits, bahkan seakan menjadi Ummus-Sunnah (Induk bagi hadits), sebagaimana surat Al-Fatihah disebut Ummul Qur'an karena ia mencakup seluruh nilai-nilai yang ada dalam al-Qur'an. Hadits itu mutawatir karena diriwayatkan dari 8 Sahabat ra: Abu Hurairah ra, umar ra, Abu Dzar ra, Anas ra, Ibnu Abbas ra, Ibnu Umar ra, Abu 'Amir, Al-Asy'ari, dan Jarir Al-Bajali ra. C. FIQHUL HADITS (KANDUNGAN HADITS) Dalam hadits tersebut di atas terdapat beberapa isi kandungan yaitu: 1. Memperbaiki pakaian dan penampilan. Ketika hendak masuk masjid dan akan menghadiri majelis ilmu, disunnahkan memakai pakaian yang rapih, bersih dan memakai minyak wangi. Bersikap baik dan sopan di majelis ilmu dan dihadapan para ulama adalah prilaku yang sangat baik, karena jibril saja dating kepada Nabi Muhammad saw dengan penampilan dan sikap yang baik. 2. Definisi Islam يَا مُحَمَّد أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِسْلاَمِ " Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam ? Secara etimologi, Islam berarti tunduk dan menyerah sepenuhnya pada Allah SWT, secara terminologi, adalah agama yang dilandasi oleh lima dasar, yaitu: 1) Syahadatain. 2) Menunaikan shalat wajib pada waktunya, dengan memenuhi syarat, rukun dan memperhatikan adab dan hal-hal yang sunnah. Adapun Makna: وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ " engkau mendirikan shalat" ini seakan-akan shalat merupakan suatu bangunan yang kokoh, di dalam bangunan tersebut orang itu tinggal, bermunajat, berdialog dengan Allah dan berikrar dengan mengucapkan: "Hanya Engkaulah yang kami sembah,dan Hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan" Dengan ikrar ini, ia mengakui ke-Esaan Allah, karena Dial ah yang mempunyai hak Ubudiyah, yaitu hak untuk disembah dan diibadahi, dan orang itu berikrar bahwa hanya kepada-Mu lah kami menyembah / mengabdikan diri 3) Mengeluarkan zakat. 4) Puasa di bulan Ramadhan. 5) Haji sekali seumur hidup bagi yang mampu, mempunyai biaya untuk pergi ke tanah suci dan mampu memenuhi kebutuhan keluarga yang ditinggalkan. Allah berfirman: "Kalau engkau mampu mendapatkan jalan ke sana" Ini berarti kalau ada jalan yang aman, tidak dalam keadaan perang dan sebagainya, juga bila ongkos-ongkos dan semua fasilitas tersedia, badan sehat dan sebagainya. 3. Definisi Iman قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ " Kemudian dia bertanya lagi:" Beritahukan aku tentang ihsan…?" Secara etimologi, Iman berarti 'Pengakuan atau pembenaran'. Secara terminologi, berarti 'pembenaran dan pengakuan' yang mendalam akan 1) Adanya Allah swt, Pencipta alam semesta yang tidak mempunyai sekutu apapun. 2) Adanya makhluk Allah swt. yang bernama Malaikat. Mereka adalah hamba Allah yang mulia, tidak pernah melakukan maksiat dan slalu menuruti perintah-Nya. Mereka diciptakan dari cahaya, tidak makan, tidak berjenis (laki-laki ataupun wanita), tidak mempunyai keturunan dan tidak ada yang tahu jumlahnya kecuali Allah swt. 3) Adanya kitab-kitab samawi yang diturunkan Allah swt dan meyakini bahwa kitab-kitab tersebut (sebelum diubah dan diselewengkan manusia) merupakan syar'iat Allah. 4) Adanya rasul-rasul yang telah diutus Allah, yang dibekali dengan kitab samawi, sebagai perantara untuk memberikan hidayah pada umat manusia. Meyakini bahwa mereka adalah manusia biasa yang diistimewakan dan ma'shum (terjaga dari segala dosa). 5) Adanya hari Akhir. Pada hari itu Allah membangkitkan manusia dari kuburnya, lalu diperhitungkan seluruh amal perbuatannya. Amal perbuatan yang baik akan dibalas dengan kebaikan, dan amal perbuatan yang buruk dibalas dengan keburukan. 6) Adanya Qadha dan Qadar. Artinya, apapun yang terjadi pada alam semesta inii merupakan ketentuan dan kehendak Allah semata, untuk satu tujuan yang hanya diketahui-Nya. Inilah rukun-rukun Iman. Siapapun yang meyakini, maka ia akan selamat dan beruntung, dan barangsiapa yang menentangnya maka ia akan sesat dan merugi, Allah swt, berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada Kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya (Muhammad saw), serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya". (Qs.An-Nisa: 136). 4. Islam dan Iman Melalui penjelasan di atas maka kita pahami bahwa Iman dan Islam dalah dua hal yang berbeda, secara etimologi maupun secara terminologi. Pada dasarnya, jika berbeda nama tentu berbeda makna. Meskipun demikian, tidak jarang dipergunakan dengan arti yang sama, Islam berarti Iman, dan sebaliknya. Keduanya saling melengkapi. Iman sia-sia tanpa Islam, demikian juga sebaliknya. 5. Definisi Ihsan قَالَ:فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِحْسَانِ قَالَ :أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ Kemudian dia berkata lagi: " Beritahukan aku tentang ihsan…? Lalu beliau bersabda: " Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau" Ihsan adalah ikhlas dan penuh perhatian. Artinya sepenuhnya ikhlas beribadah hanya kepada Allah dengan penuh perhatian sehingga seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika tidak mampu, maka ingatlah bahwa Allah senantiasa melihatmu dan melihat apapun yang ada pada dirimu.[5] Hadits ini memberitahukan kepada kita bahwa bila anda lalai dalam shalat atau dalam ibadah lainnya, maka Allah melihat anda. Dan ketahuilah ibadah yang terbaik ialah kalau apa yang anda lakukan itu dan tahu, sadar bahwa Allah ada di samping anda dan melihat anda. 6. Hari Kiamat dan tanda-tandanya قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ: مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ Kemudian dia berkata: " Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)". Beliau bersabda: " Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya. Tibanya hari Kiamat adalah rahasia Allah swt. tidak satu pun makhluk mengetahuinya, baik malaikat maupun Rasul. Karenanya, Nabi saw bersabda kepada Jibril, "Tidaklah yang ditanya lebih tahu daripada yang bertanya." Meskipun demikian, Nabi Muhammad saw. Menjelaskan sebagian tanda-tandanya, antara lain: · Krisis moral, sehingga banyak anak yang durhaka kepada orang tuanya, mereka memperlakukan orang tuanya seperti perlakuan tuan terhadap budaknya. · Kehidupan yang jungkir balik. Banyak orang bodoh menjadi pemimpin, pemberian wewenang kepada orang yang tidak mempunyai kemampuan, harta melimpah, manusia banyak yang berlaku sombong dan foya-foya, bahkan mereka berlomba dan saling meninggikan bangunan dengan penuh kebanggaan. Mereka berlaku congkak pada orang lain, bahkan mereka seakan ingin menguasainya. قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَاتِهَا، قَالَ أَنْ تَلِدَ اْلأَمَةُ رَبَّتَهَا Dia berkata: " Beritahukan aku tentang tanda-tandanya ", Beliau bersabda: " Jika seorang hamba melahirkan anak tuannya…. Maksudnya kaum muslim kelak akan menguasai negeri-negeri kafir sehingga banyak tawanan, maka budak-budak perempuan banyak yang melahirkan anak tuannya dari anak ini akan menempati kedudukan sebagai majikan karena kedudukan bapaknya 7. Etika bertanya. Seorang muslim, akan menanyakan sesuatu yang membawa manfaat bagi dunia dan akhiratnya. Ia tidak akan menanyakan hal-hal yang tidak mendatangkan manfaat. Bagi orang yang menghadiri sebuah majlis ilmu lalu ia melihat bahwa audiens ingin mengetahui satu hal. Ternyata hal tersebut belum ada yang menanyakan, maka sepatutnya ia menanyakan meskipunia sudah mengetahuinya agar orang-orang yang hadir bisa mengambil manfaat dari jawaban yang diberikan. Orang yang ditanya tentang suatu hal, dan ia tidak mengetahui jawabannya, hendaknya ia mengakui ketidaktahuannya agar tidak menjerumus pada hal-hal yang tidak mengetahuinya. 8. Metode Tanya jawab. Pendidikan modern pun mengakui bahwa metode Tanya jawab adalah metode pendidikan yang relatif berhasil, karena memberikan tambahan semangat pada diri pendengar untuk mengetahui jawaban yang akan diberikan. Metode ini sering dipergunakan Rasulallah saw. Dalam mendidik generasi Shabat ra. KESIMPULAN Dari hadits yang ke-dua dari Arba'in Nawawi, diatas dapat diambil kesimpulan bahwa kata Islam dan Iman memiliki perbedaan baik secara lughah (bahasa) maupun secara syar'i, bila dilihat dari asal pengertian dari dua kata tersebut. Akan tetapi dalam pengertian syar'i terkadang satu kata telah mengandung dua makna yang lain dan sebaliknya. Poin yang paling penting dalam hadis hadits ke-dua ini adalah penjelasan tentang Islam, Iman dan Ihsan serta wajibnya mengimani kekuasaan Allah swt. DAFTAR PUSTAKA
|
Senin, 31 Agustus 2009
PERKAWINAN
Kita melihat di kehidupan alam semesta ini pasti mempunyai pasangan. Ada jantan, ada betina. Ada gelap, ada terang. Ada hidup dan ada mati. Bahkan sesuatu yang dulu belum kita ketahui ternyata berpasangan. Contohnya di dalam atom, ternyata ada electron yang berpasangan dengan proton. Yang tidak memiliki pasangan hanyalah Allah swt.
Manusia pun diberi pasangan oleh Allah. Karena itu, berpasangan adalah sunnah kehidupan. Karena itu, Allah menganjurkan bagi yang mampu untuk nikah dan kawin.
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu…” (QS.24:32).
Namun apabila kita tidak mampu, kita dianjurkan oleh Allah untuk menunda perkawinan.
“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. 24:33).
Judul diatas Perkawinan adalah yang dimaksud sebenarnya adalah berpasang-pasangan karena diambil dari kata Zawaj yang artinya berpasang-pasangan.
Mengapa manusia harus kawin?
Pada dasarnya manusia tidak senang dengan kesendirian, dia membutuhkan teman untuk mencurahkan isi hatinya, dengan ngobrol, bercanda dan menumpahkan cintanya pada orang yang disayanginya.
Perkawinan atau berpasang-pasangannya alam termasuk binatang berbeda dengan perkawinan antar manusia. Hal itu dikarenakan jika binatang kawin maka anak hasil perkawinannya bisa langsung mandiri, sedangkan manusia tidak. Karena itulah maka syarat-syarat untuk perkawinan dituntun oleh agama agar dapat diikuti oleh manusia sehingga fungsi-fungsi kehidupan manusia dapat berjalan dengan baik.
Syarat-syarat perkawinan adalah :
Allah menetapkan siapa yang boleh dikawini dan siapa juga yang tidak boleh dikawini.
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” (QS.4:22)
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. 4:23).
“dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami” (QS. 4:24).
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.” (QS. 2:221)
Jangan pula kita melamar seorang wanita yang sedang dilamar oleh orang lain, begitu pesan Nabi.
1. Ada calon mempelai laki-laki dan perempuan
2. Ada Wali
3. Ada Saksi 2 orang cukup
4. Ada Mahar atau mas kawin.
Nah jika syarat-syarat diatas memenuhi maka nikah sudah menjadi sah. Kita kadang terlalu mensakralkan berlebihan terhadap perkawinan pada tempat yang salah, sehingga perkawinan harus ada pesta dan aturan-aturan yang menjelimet. Tapi agama pun tidak melarang jika harus diadakan itu (aturan-aturan tambahan dari adat setempat dan sebagainya) jika sanggup, tapi jika tidak mampu maka syarat-syarat tadi sudah halal jika ijab qabul terlaksana, tidak perlu ada bacaan-bacaan Quran dan sebagainya, cukup ijab qabul, dah selesai. Kemudian agar dapat tercatat di kenegaraan kita, kita ikuti aturan pemerintah tersebut yaitu mencatat perkawinan kita di KUA untuk pendataan.
“Kebaikan itu hendaknya jangan ditunda-tunda, tapi disegerakan”. Jadi jika memang sudah sanggup diantara kedua pasangan untuk menikah maka disegerakan, jangan menunggu kaya dulu.
Tujuan perkawinan bukan hanya untuk kebutuhan seks semata, tapi tujuan perkawinan yang sesungguhnya adalah sakinah (ketenangan) untuk kita manusia.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari diri kamu, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”(QS.30:21)
Kita lihat ayat diatas. Allah mengatakan Dia telah menciptakan untukmu isteri-isteri dari diri kamu. Apa maknanya? Maknanya adalah pasangan kita sesungguhnya adalah diri kita. Maukah kita merugikan diri Anda sendiri dalam arti merugikan pasangan Anda? Maukah Anda menyakiti diri sendiri artinya menyakiti pasangan Anda yang merupakan diri Anda sendiri? Pasangan kita adalah diri kita. Apabila kita menginginkan sesuatu maka sebelum kita mengucapkan, suami/isteri kita sudah dapat menebaknya dengan tepat apa yang kita inginkan, karena dia adalah diri kita. Begitu juga sebaliknya karena kita juga adalah dirinya. Semakin terjadi persesuaian suami-isteri, akan semakin bahagia mereka.
Untuk itu, dalam memilih pasangan, perlu ada kesetaraan, baik kesetaraan dalam beragama, kesetaraan dalam konsep hidup, pandangan hidup, kesetaraan dalam berfikir, kesetaraan dalam kedudukan. Nabipun menganjurkan “Lihatlah wanita itu sebelum kamu nikahi”. Nabi mengatakan seperti itu dengan maksud untuk melanggengkan perkawinan yang akan terjadi.
Berkaitan dengan kesetaraan dalam pandangan hidup dan kesetaraan dalam agama, maka tidak dianjurkan kawin antar agama. Larangan perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda ini, dilatarbelakangi oleh keinginan menciptakan “sakinah” dalam keluarga yang merupakan tujuan perkawinan. Perkawinan baru akan langgeng dan tenteram jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antara suami dan isteri. Jangankah perbedaan agama, perbedaan budaya bahkan tingkat pendidikan pun tidak jarang menimbulkan kesalahpahaman dan kegagalan perkawinan.
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman.” (QS. 2:221).
Kecuali seorang laki-laki muslim diperbolehkan untuk menikahi wanita terhormat dari ahlul kitab (nasrani), wanita terhormat bukan wanita sembarang dari ahlul kitab. Dan tidak berlaku jika wanita-wanita mu’min menikah dengan laki-laki ahlul kitab (nasrani), haram hukumnya.
“(Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita muhsonat di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.” (QS.5:5).
Muhsonat dalam ayat tersebut adalah wanita terhormat, bukan wanita sembarang dari ahli kitab.
Mengapa demikian aturannya? Karena Allah menghendaki perkawinan kita langgeng, tidak hanya di dunia ini saja tapi sampai akhirat.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari diri kamu, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu mawaddah dan rahmah.” (QS.30:21).
Coba kita perhatikan lagi arti ayat diatas. Mawaddah itu bukan berarti hanya cinta. Cinta mengenal arti ‘putus’, tapi mawaddah tidak mengenal arti putus. Cinta bisa putus, tapi mawaddah tidak. Apa sebenarnya arti Mawaddah?
Mawaddah mempunyai arti dasar yang berarti kosong. Kosong hati kita dari memori kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan oleh pasangan kita. Suami/isteri harus sadar kalau suami/isteri bisa melakukan kesalahan yang lebih besar dari pasangannya, karena itu kosongkanlah hati dari memori kesalahan pasangan Anda.
Karena itu, selama ada mawaddah di hati berdua, tidak ada kata cerai. Allah menutup serapat-rapatnya celah untuk terjadinya perceraian, karena Allah tidak menghendaki hal itu. Seharusnya tidak ada lagi celah untuk melegitimasi adanya perceraian yang diperbolehkan.
Kata Nabi, perkawinan adalah suatu ikatan yang sangat kuat (mitsaqan ghalidzha), tidak ada ikatan kuat antar manusia sekuat perkawinan atau berpasangan.
Kalaupun tidak ada mawaddah lagi, maka perlu ditanya apakah masih ada rasa rahmah (kasih sayang) pada isteri/suaminya. Kalaupun rasa rahmah juga tidak ada lagi, bagaimana dengan amanah? masih adakah amanah di hati tiap-tiap pasangan tersebut.
Amanah termasuk didalamnya adalah anak-anak, tapi juga termasuk aib dari masing-masing pasangan. Seorang isteri rela untuk menunjukkan perhiasannya kepada suaminya itu adalah sebuah amanah.
Begitulah ketika ada seseorang yang akan menceraikan istrinya, maka Umar bin Khattab bertanya kepadanya, apakah dia sudah tidak mempunyai rasa mawaddah kepadanya? Dijawab dengan tidak oleh orang tersebut. Lalu Umar bertanya kembali, apakah dia memang sudah tidak rahmah (sayang) lagi kepada isterinya? Dijawab dengan tidak kembali oleh orang tersebut. Lalu Umarpun kembali bertanya? Bagaimana dengan amanah yang sudah dia berikan kepadamu dan kamupun memberikan amanah kepadanya?
Di sini sangat menekankan Allah sangat tidak menyukai kepada perceraian, segala celah alasan untuk terjadinya perceraian ditutup rapat.
“bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”(QS.4:19).
Sabda Nabi pula kurang lebih demikian : “Bertakwalah kepada Allah terhadap perempuan-perempuan, yang ditanganmu terdapat keputusan untuk menceraikan mereka. Kamu kawinkan mereka dengan kalimat-kalimat Allah dan menjadi halal hubungan kamu dengan mereka atas kalimat-kalimat Allah”.
Apa kalimat Allah itu? Kalimat Allah itu hanya digunakan dalam Al-Quran hanya untuk dua hal, Nikah dan Zawaj (Perkawinan, tapi arti yang lebih dekat adalah berpasang-pasangan). Kalimat Allah adalah kalimat-kalimat yang mengandung kejujuran dan adil.
Allah mengatakan bahwa Dia tidak akan mengubah kalimat-kalimatNya. Nah seharusnya manusia yang menikah dan berpasang-pasangan jika menikah itu atas kalimat-kalimat Allah tentunya mereka tidak akan mengubah-ubah. Perceraian adalah mengubah-ubah kalimat Allah. Tidak bisa diubah kalau pernikahan dan perkawinan itu terjadi dengan kalimat-kalimat Allah.
“Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah.” (QS.10:64).
Berpasangan itu harus ada bedanya, misal sepatu kanan harus berbeda dengan sepatu kiri agar bisa digunakan. Tajam dan kuatnya jarum harus diimbangi dengan lemahnya kain agar dapat digunakan dan dibuat menjadi baju. Seandainya jarum yang tajam dan kuat tidak diimbangi dengan kain yang lemah tapi dengan kain yang keras seperti tembok, maka kita tidak bisa membuat baju. Begitu juga dengan kehidupan manusia, antara suami dan isteri, kalau dua-duanya ingin mempunyai peran menjadi bapak maka perkawinan tidak akan langgeng.
Apakah lemahnya kain menandakan rendahnya derajat kain ? Tidak. Itu merupakan fenomena kesetaraan, karena kuatnya jarum jika dia sendirian, tidak ada kain maka tidak akan ada baju yang jadi. Karena itu, manusia yang sendirian maka banyak sesuatu yang belum optimal atau dapat terwujud.
Subhanallah, Allah telah menjadikan segala sesuatu berpasang-pasangan, banyak hikmah yang dapat kita renungkan.
Kawin atau berpasang-pasangan sesungguhnya adalah kita menyatukan jiwa, pikiran, perasaan dan jasmani kepada pasangan kita. Kita satukan semua yang ada dalam diri kita dengan pasangan kita tersebut.
NB :
Tidak mengapa dalam memilih pasangan, perempuan yang mengidolakan ayahnya mencari calon yang mempunyai karakter seperti bapaknya, begitu juga sebaliknya, laki-laki yang mengidolakan ibunya mencari calon yang mirip dengan karakter ibunya.
Dikutip dari:(Prof. Dr. Quraish Shihab, Lc, MA)
Metro TV, 22 Agustus 2004, 14.00 – 15.00 WIB
Publikasi: 23/08/2004