Jumat, 24 April 2009

HADIS MUSALSAL

A. Definisi Hadis Musalsal
Menurut bahasa musalsal berasal dari kataسلسل يسلسل سلسلة yang berarti berantai dan bertali menali. Hadis ini dinamakan musalsal karena ada kesamaan dengan rantai (silsilah) dalam segi pertemuan pada masing-masing perawi atau ada kesamaan dalam bagian-bagiannya.
Dalam istilah hadis musalsal adalah:
تتا بع رجال اسنا ده علي صفة اوحالة للرواية تارةوللرواية تارة اخري
Keikutsertaan para perawi dalam sanad berturut-turut pada satu sifat atau pada satu keadaan, terkadang bagi para perawi dan dari periwayatan.
هوالحديث الذي يتصل اسناده بحال (هيئة) اووصف- قولي اوفعلي- يتكررفي الرواة اوالرواية اويتعلق بزمن الرواية اومكانها
Adalah hadis yang sambung penyandarannya dalam satu bentuk / keaadaan atau satu sifat, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang terulang-ulang pada para periwayatan atau pada periwayatan atau berkaitan dengan waktu atau tempat periwayatan.
Lebih luas Al-Iraqi memberikan definisi musalsal adalah hadis yang para perawinya dalam sanad berdatangan satu persatu dalam satu bentuk keadaan atau dalam satu sifat, baik sifat para perawi maupun sifat penyandaran (isnâd) baik terjadi pada isnâd dalam bentuk penyampaian periwayatan (adâ’ ar-riwâyah) maupun berkaitan dengan waktu dan tempatnya, baik keadaan para perawi maupun sifat-sifat mereka, dan baik perkataan maupun perbuatan.
Dengan demikian hadis musalsal adalah hadis yang secara berturut-turut sanad-nya sama dalam satu sifat atau dalam satu keadaan dan atau dalam satu periwayatan.
Hadis musalsal adalah hadis musnad mutthasil yang bebas dari tadlis (pemalsuan). Dalam periwayatannya selalu berulang perkataan-perkataan atau perbuatan-perbuatan yang sama, yang dinukil oleh setiap perawi dari orang di atasnya dalam sanad, hingga berakhir pada Rasulallah SAW Keterlepasannya dari tadlis dan keterputusannya mendorong pemula dalam ilmu ini mengenakan hukum secara sepontan dan tergesa-gesa.
Ibn Katsir berkata: “Faedah tasalsul (kesinambungan) adalah menjauhkan suatu hadis dari pemalsuan dan keterputusan. Meskipun begitu, jarang hadis shahih disampaikan dengan cara musalsal. Kadang-kadang asal matan dalam hadis jenis ini memang shahih, karena terhindar dari tadlis.
Ibnu Hajar berkata “Musalsal termasuk sifat isnad.” Ini berbeda dengan marfu’ dan semisalnya, yang merupakan sifat isnad dan matan sekaligus.
B.Macam-macam Hadis Musalsal
Dari definisi di atas musalsal dapat dibagi kepada beberapa macam, yaitu sebagai berikut:
1) Musalsal bi ahwâl ar-ruwât (musalsal keadaan perawi)
Musalsal keadaan perawi terkadang dalam perkataan (qawlî), perbuatan (fi’lî), atau keduanya (perkataan dan perbuatan atau qawlî dan fi’lî.
Contoh Musalsal qawlî (perkataan):
حديث معاذ بن جبل ان النبي صلي الله عليه وسلام قال له: يا معاذ اني احبك,فقل في دبر كل صلاة: اللهم اعني علي ذكرك وشكرك وحسن عبادتك

Hadis Mu’adz bin Jabal, bahwasannya Nabi SAW bersabda kepadanya: Hai Mu’adz sesungghnya aku mencintaimu, maka katakanlah pada setelah shalat: Ya Allah Tolonglah aku untuk dzikir kepada-Mu, syukur kepada-Mu, dan baik dalam ibadah kepada-Mu. (HR. Abu Dawud)
Hadis di atas musalsal pada perkataan setiap perawi ketika menyampaikan periwayatannya dengan ungkapan: Sesungguhnya aku mencintaimu, maka katakan di setiap selesai shalat. Setiap perawi yang menyampaikan perawi hadis ini selalu memulai dengan kata-kata tersebut sebagaimana yang dilakukan Rasulallah terhadap Mu’adz.
Contoh musalsal fi’lî (perbuatan):
حديث ابي هريرة قال: شبك بيدي ابو القاسم صلي الله عليه وسلام وقال: خلق الله الارض يوم السبت
Hadis Abu Hurairah dia berkata: Abu Al-Qasim (Nabi SAW) memasukkan jari-jari tangannya kepada jari-jari tanganku (jari jemari) bersabda: “Allah menciptakan bumi pada hari Sabtu.” (HR. Al-Hakim)
Setiap perawi yang menyampaikan periwayatan selalu jari jemari terhadap orang yang menerima hadis tersebut sebagaimana yang dilakukan Rasulallah SAW.
Contoh musalsal qawlî dan fi’lî ( perkataan dan perbuatan):
حديث انس بن مالك رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلي الله عليه وسلام: لايجد العبد حلاوة الايمان حتي يؤمن بالقدر خيره وشره, حلوه ومره, وقبض رسول الله صلي الله عليه وسلام علي لحيته وقال أمنت بالقدر خيره وشره, حلوه ومره
Hadis Anas bin Malik RA Berkata: Rasulallah SAW bersabda: Seorang hamba tidak mendapatkan manisnya iman sehingga beriman kepada ketentusn Allah (Qadar) baik dan buruk, manis dan pahitnya.” Rasulallah sambil memegang jenggot bersabda: “ Aku beriman pada ketentuan Allah (qadar) baik dan buruk, manis dan pahitnya.” (HR. Al-Hakim secara musalsal)
Hadis di atas musalsal qawlî dan fi’lî ( musalsal perkataan dan sekaligus perbuatan) yaitu perkataan: “Aku beriman pada ketentuan Allah (qadar) baik dan buruk, manis dan pahitnya” dan perbuatan memegang jenggot. Semua perawi ketika menyampaikan periwayatan juga melakukan hal itu sebagaimana Rasulallah SAW.
2) Musalsal bi shifât ar-ruwâh ( Musalsal sifat Periwayat)
Musalsal ini dibagi menjadi perkataan (qawlî) dan perbuatan (fi’lî).
Contoh musalsal sifat perawi dalam bentuk perkataan:
أن الصحابة سالوا الرسول الله صلي الله عليه وسلام عن أحب الاعمال الي الله عزوجل ليعملوه فقرأ عليهم سورة الصف
Bahwasannya sahabat bertanya kepada Rasulallah SAW tentang amal yang disukai Allah SWT agar diamalkan, maka Nabi membacakan mereka Surah Shaff.
Hadis ini musalsal pada membaca Surah Shaff. Setiap periwayat membacakan Surah Shaff ketika menyampaikan periwayatan kepada muridnya atau yang menerima hadisnya.

Contoh musalsal sifat perawi dalam bentuk perbuatan (fi’lî).
حديث ابن عمر مرفوعا: البيعان بالخيار
Hadis Ibnu Umar secara marfû’: Penjual dan pembeli boleh mengadakan khiyâr (memilih jadi atau tidak).
Hadis di atas musalsal diriwayatkan oleh fuqahâ kepada para fuqahâ secara terus menerus. Atau termasuk musalsal ini seperti kesepakatan nama-nama para perawi, seperti musalsal dalam nama Al-Muhammadin kesepakatan dalam menyebut bangsa/nisbat mereka seperti musalsal dalam menyebut Ad-Dimasyqiyin dan Al-Mishriyin.
3) Musalsal bi shifât ar-riwâyah (Musalsal dalam sifat periwayatan)
Dalam musalsal ini terbagi menjadi 3 macam,yaitu musalsal dalam bentuk ungkapan penyampaian periwayatan (adâ’), musalsal pada waktu periwayatan, dan musalsal pada tempat periwayatan.
Contoh musalsal dalam bentuk ungkapan periwayatan seperti hadis musalsal pada perkataan setiap perawi dengan menggunakan = سمعت فلانا Aku mendengar si Fulan atau حدثنا فلان, اخبرنا فلان = Memberitakan kepada kami si Fulan dan seterusnya.
Contoh musalsal pada waktu periwayatan:
حديث ابن عباس قال: شهدت رسول الله صلي الله عليه وسلام في يوم عيدالفطراوأضحي, فلما فرغ من الصلاة اقبل علينا بوجهه, فقال: أيهاالناس قدأصبحتم خيرا
Hadis Ibnu Abbas berkata: “Aku menyasikan Rasulallah SAW pada hari raya Idul Fitri atau Idul Adha, setelah beliau selesai shalat menghadap kita dengan wajahnya kemudian bersabda: “Wahai manusia kalian telah memperoleh kebaikan…,”
Hadis di atas musalsal waktu periwayatan yaitu pada hari raya Idul Fitri atau Idul Adha. Setiap perawi mengungkapkan kalimat tersebut dalam menyampaikan periwayatan kepada muridnya.
Contoh musalsal pada tempat periwayatannya, seperti kata Ibnu Abbas tentang terijabah doa di Multazam:
سمعت رسول الله صلي الله عليه وسلام يقول: الملتزم موضع يستجاب فيه الدعاء, ومادعاالله فيه عبددعوة الا استجاب له
Aku mendengar Rasulallah SAW bersabda: “Multazam adalah suatu tempat yang diperkenankan doa padanya. Tidak seorang hamba yang berdoa padanya melainkan dikabulkannya.”
قال ابن عباس: فوالله مادعوت الله عزوجل فيه قط منذ سمعت هذاالحديث الا استجاب لي
Ibnu Abbas berkata: Demi Allah, aku tidak berdoa pada Allah padanya sama sekali sejak mendengar hadis ini melainkan Allah memperkenan doaku.
Hadis musalsal pada tempat periwayatannya, masing-masing periwayat mengungkapkan sebagaimana perkataan Ibnu Abbas tersebut setelah menyampikan periwayatn hadis kepada orang lain.
C.Hukum Hadis Musalsal
Terkadang hadis terjadi musalsal dari awal sampai akhir dan terkadang sebagai musalsal terputus di permulaan atau di akhir. Oleh karenanya Al-Hafidz Al-Iraqi berkata: sedikit sekali hadis musalsal yang selamat dari kedhaifan, dimaksudkan di sini sifst musalsal bukan pada asal matan karena sebagian matan shahih. Ibnu Hajar berkata: Musalsal yang paling shahih di dunia adalah musalsal hadis membaca Surah Ash-Shaff. Disebut dalam Syarah An-Nukhbah musalsal para Huffâzh memberi faedah ilmu yang pasti (qathî). Dengan demikian tidah semua hadis musalsal shahih. Hukum musalsal adakalanya Shahih, Hasan dan Dha’if tergantung keadaan para perawinya. Sebagaimana tinjauan pembagian hadis di atas, bahwa musalsal adalah sifat sebagian sanad, maka tidak menunjukkan kesahihan suatu hadis. Kesahihan hadis ditentukan 5 persyaratan yakni persambungan sanad, periwayatan yang adil dan dhâbith, tidak adanya syâdzdz dan ‘illah.
Di antara kelebihan musalsal, adalah menunjukkan ke-mutthasil-an dalam mendengar, tidak adanya tadlîs dan inqithâ, dan nilai tambah ke-dhâbith-an para parawi. Hal ini dibuktikan dengan perhatian masing-masing perawi dalam pengulangan menyebut keadaan atau sifat para perawi atau periwayatan.
D.Kitab-kitab Hadis Musalsal
Di antara kitab hadis musalsal yang terkenal adalah sebagai berikut:
• Al-Musalsalât Al-Kubrâ karya As-Sayuthi, memuat 85 bua hadis.
• Al-Manâhil As-Salsalah fi al-ahâdîts Ak-Musalsalah, karya Muhammad Abdul Baqi Al-Ayyubi, mengandung sebanyak 212 buah hadis.
• Al-Musalsalât, karya Al-Hafizh Isma”il bin Ahmad bin Al-Fadhil Al-Taymi (w.353 H).

USHUL FIQIH


PENDAHULUAN

Segala puji kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah membimbing manusia dengan hidayah-Nya, sebagaimana yang terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Kami bersyukur kepada-Nya yang telah memudahkan penulisan dan penyajian makalah Ushul Fiqih yang sederhana ini hingga dapat terselesaikan.
Shalawat dan salam senantiasa dihaturkan kepada junjungan baginda Nabi Muhammad SAW, para sahabat, keluaraga dan para pengikutnya sampai di hari kiamat nanti.
Ushul Fiqih Sebagai pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ Islam mengenai perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalil hukum syara’ secara detail dari al-Qur’an maupun al-Hadis yang sebagian dijelaskan melalui ijma’ dan Qiyas. Dengan Ushul Fiqih ini diharapkan mampu membantu para mujtahid dan pemimpin-pemimpin umat untuk memaknai al-Qur’an dan al-Hadis secara aktual dan kontekstual. Hal ini seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman yang menuntut ketegasan dan kejelasan acuan setiap prilaku, sehingga ajaran Islam selalu mampu menjawab segala persoalan dan permasalahan umat di segala aspek kehidupan.
Kami akan mencoba menjelaskan Ushul Fiqih dari segi definisi Ushul Fiqih, objek kajian, tujuan mempelajari dan fungsi ushul fiqih serta perbedaan antara Ushul Fiqih dan Fiqih.
Mudah-mudahan penjelasan dalam makalah kami ini, akan menambah wawasan keagamaan kita dalam mempelajari Ushul Fiqih, kritik dan saran serta nasehat dari dosen pembimbing serta teman-teman semua selalu kami harapkan.


USHUL FIQIH

A.Definisi Ushul Fiqih

Untuk mengetahui makna dari kata Ushul Fiqih dapat dilihat dari dua aspek: Ushul Fiqih kata majemuk (murakkab), dan Ushul Fiqih sebagai istilah ilmiah.
Dari aspek pertama, Ushul Fiqih berasal dari dua kata, yaitu kata ushul bentuk jamak dari kata ashl dan kata fiqih, yang masing-masing memiliki pengertian yang luas. Ashl secara etimologi diartikan sebagai “fondasi sesuatu, baik yang bersifat materi ataupun bukan”.
Ushul itu bentuk jamak , sedang bentuk mufradnya adalah ashl, yang mengandung makna sumber atau dalil yang menjadi dasar sesuatu atau juga berarti yang kuat.
Adapun menurut istilah, ashl mempunyai beberapa arti berikut ini:
1. Dalil, yakin landasan hukum, seperti pernyataan para ulama ushul Fiqih bahwa ashl dari wajibnya shalat lima waktu adalah firman Allaj SWT dan Sunnah Rasul.
2. Qa’idah, yaitu dasar atau fondasi sesuatu, seprti sabda Nabi Muhammad SAW.:
بني الاسلام علي خمسة أصول
“ Islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau fondasi).
3. Rajih, yaitu yang terkuat, seperti dalam ungkapan para ahli ushul Fiqih
الأصل في الكلام الحقيقة
“ Yang terkuat dari (kandungan) suatu hukum adalah arti hakikatnya”.
Maksudnya, yang menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna hakikat dari perkataan tersebut.
4. Mustashhab, yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula selama tidak ada dalil yang mengubahnya. Misalnya, seseorang yang hilng, apakah ia mendapatkan haknya seperti warisan atau ikatn perkawinannya? Orang tersebut harus dinyatakan masih hidup sebelum ada berita tentang kematiannya. Ia tetap terpelihara haknya seperti tetap mendapatkan waris, begitu juga ikatan perkawinan dianggap tetap.
5. Far’u (cabang), seperti perkataan ulama ushul;
الولد فرع للأب
“Anak adalah cabang dari ayah.” (Al-Ghazali, 1:5)
Dari kelima pengertian ashl di atas, yang biasa digunakan adalah dalil, yakni dalil-dalil fiqih.
Adapun fiqh menurut etimologi berarti pemahaman yang mendalam dan membutuhkan pengerahan potensi akal. Pengertian tersebut terdapat ditemukan dalam al-Qur’an, yakni dalam surat Thaha (20): 27-28, An-Nisa (4): 78, Hud (11 91. Dan terdapat pula dalam hadis, seperti sabda Rasulallah SAW.:
من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين
“Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi seseorang,. Dia akan memberikan pemahaman agama (yang mendalam) kepadanya.”
(H.R.Al-Bukhari, Muslim, Ahmad Ibnu Hanbal, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Adapun pengertian fiqih secara terminologi, pada mulanya diartikan sebagaikan pengetahuan keagamaan yang mencakup seluruh ajaran agama, baik berupa akidah (ushuliyah) maupun amaliah (furu’ah). Ini berarti fiqih sama dengan pengertian syari’ah Islamiyah, yaitu pengetahuan tentang hukum syariah Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat (mukallaf) dan diambil dari dalil yang terkunci.
Untuk lebih jelas tentang definisi fiqih secara terminologi dapat dikemukakan pendapat para ahli fiqih terdahulu, yaitu:
العلم بالاحكام الشرعية العملية المكتسبة من أد لتها التفصيلية
“Ilmu tentang hukum syara’ tentang perbuatan manusia (amaliyah) yang diperoleh melalui dalil-dalilnya yang terperinci.”
مجموعة الأحكام الشرعية العملية المكتسبة من أد لتها التفصيلية
“Himpunan tentang hukum syara’ tentang perbuatan manusia (amaliyah) yang diperoleh melalui dalil-dalilnya yang terperinci.”
Definisi pertama menunjukkan bahwa fiqih dipandang sebagai ilmu yang berusaha menjelaskan hukum. Sedangkan definisi kedua menunjukkan fiqih dipandang sebagai hukum. Hal ini terjadi karena adanya kemiripsn antara fiqih sebagai ilmu dan fiqih sebagai hukum. Ketika fiqih didefinisikan sebagai ilmu, diungkapkan secara deskriptif. Manakala didefinisikan sebagai hukum dinyatakan secara deskriptif.
Keterangan di atas menunjukkan bahwa kajian fiqih ialah hukum perbuatan mukallaf, yakni halal, haram, wajib, mandub, makruh, dan mubah beserta dalil-dalil yang mendasari ketentuan hokum tersebut.
Pada umumnya, dalam memberikan pengertian fiqih, ulama menekankan bahwa fiqih adalah hukum syari’at yang diambil dari dalilnya. Namun menarik untuk diperhatikan adalah pernyataan Imam Haramain dan Al-Amidi yang menegaskan bahwa fiqih adalah pengetahuan hukum syara’ melalui penalaran (nadzar dan istidlal). Pengetahuan hukum yang tidak melalui ijtihad (kajian), tetapi yang bersifat daruri, seperti shalat lima waktu itu wajib, zinah itu, haram, dan sebagainya. Setiap masalah yang Qath’I bukan merupakan bahasan fiqih.
Pada perkembangan selanjutnya, istilah fiqih sering dirangkaikan dengan Al-Islami sehingga terangkai Al-Fiqh Al-Islami. Dan Al-Fiqh Al-Islami sering diterjemahkan pada hukum Islam. Istilah lain yang digunakan untuk istilah ini adalah Asy-Syari’ah Al-Islamiyah dan Al-Hukm Al-Islami.
Setelah dijelaskan pengertian ushul dan fiqih, baik menurut bahasa maupun istilah maka disini dikemukakan pengertian ushul fiqih yang menjadikan pokok bahasan pada bab ini. Para ahli hukum Islam, dalam memberikan definisi Ushul Fiqih, beraneka ragam, ada yang menekankan pada hakikatnya. Namun, pada prinsipnya sama, yaitu ilmu pengetahuan yang obyeknya dalil hukum syara’ secara global dengan semua seluk beluknya.
Menurut Al-Baidhawi dari kalangan ulama Syafi’iyah bahwa yang dimaksud Ushul Fiqih itu adalah:
معرفة دلا ئل الفقه اجمالا وكيفية الاستفادة منها وحال المستفيد
“Ilmu pengetahuan tentang dalil fiqih secara global, metode penggunaan dalil tersebut, dan keadaan (persyaratan) orang menggunakannya”
Selain itu Ibnu Al-Subkhi (juz 1: 25) mendefinisikan Ushul Fiqih sebagai:
دلائل الفقه اجمالا
“Himpunan dalil fiqih secara global”
Jumhur ulama Ushul Fiqih mendefinisikannya sebagai berikut:
اصول الفقه هوالقواعدالتي يتوصل بها استنباط الأحكام الشرعية من الأدلة
“Ushul Fiqih adalah kaidah-kaidah yang dapat mencapai kemampuan kepada istinbathpenggaliian hukum syara’ dari dalil-dalilnya”
Pendapat ini dikemukakan oleh Syaikh Muuhammad Al-Khudhary Beik, seorang guru besar Universitas Al-Azhar Kairo. Adapun Kamaluddin Ibnu Humam dari kalangan ulama Hanafiyah mendefinisikan Ushul Fiqih sebagai:
ادراك القواعد التي يتوصل بها الي استنباط الفقه
“Mengetahui kaidah-kaidah yang dapat mencapai kemampuan dalam penggalian fiqih.”
Sementara itu Abdul Wahab Khalaf, seorang guru besar hukum di Universitas Kairo Mesir menyatakan:
فعلم اصول الفقه في الاصطلاح الشرعي هوالعلم بالقواعد والبحوث التي يتوصل بهاالي استفادة الأحكام الشرعية العملية من ادلتها التفصيلية. أومجموعة القواعد والبحوث التي يتوصل بهاالي استفادة الأحكام الشرعية العملية من ادلتها التفصيلية
“ Ushul Fiqih menurut istilah syara’ ialah Ilmu tentang kaidah-kaidah dan pembahasan yang menghasilkan hukum-hukum syara’ yang praktis dari dalil-dalilnya yang terperinci, atau kumpulan kaidah-kaidah dan pembahasan yang menghasilkan hukum syara’ mengenai perbuatan manusia (amaliah) dari dalil-dalil yang terperinci (tafhiliy). ’’
Dari pengertian Ushul Fiqih di atas, terdapat penekanan yang berbeda. Menurut ulama Syafi’iyah, objek kajian ulama ushul adalah dalil-dalil yang bersifat ijmali (global), bagaiman cara mengistinbath hukum, syarat orang yang menggali hukum atau syarat-syarat seorang mujtahid. Hal ini berbeda dengan definisi yang dikemukakan oleh jumhur Ulama. Mereka menekankan pada operasional atau fungsi Ushul Fiqih itu sendiri, yaitu bagaimana menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqih dalam menggali hukum syara’.
Dengan demikian, Ushul Fiqih adalah ilmu pengetahuan yang objeknya dalil hukum atau sumber hukum dengan semua seluk-beluknya, dan metode penggaliannya. Metode tersebut harus ditempuh oleh ahli hukum Islam dalam mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya. Seluk-beluk tersebut antara lain menertibkan dalil-dalil dan menilai kekuatan dalil-dalil tersebut.
Pada masa kini istinbath hukum yang lebih relevan adalah istinbath dengan maksud syariah (ruh hukum), bahkan cenderung menggunakan kaidah fiqhiyah seperti yang dilikukan oleh para perumus komplikasi hukum Islam di Indinesia. Dalam merumuskannya, tampaknya mereka mengacu pada kaidah-kaidah fiqhiyah yang dijadikan suatu kerangka teori.

B. Objek Kajian Ushul Fiqih
Dari definisi Ushul Fiqih di atas, terliihat jelas bahwa yang menjadi objek kajian Ushul Fiqih secara garis besarnya ada tiga:
1. Sumber hukum dengan semua seluk beluknya.
2. Metode pendayagunaan sumber hukum atau metode penggalian hukum dari sumbernya.
3. Persyaratan orang yang berwenang melakukan istinbath dengan semua permasalahannya.

Sementara itu, Muhammad Al-Juhaili merinci objek kajian Ushul Fiqih sebagai berikut:
1. Sumber-sumber hukum syara’, baik yang disepakati seperti al-Qur’an dan Sunnah, maupun yang diperselisihkan, seperti istihsan dan mashlahah mursalah.
2. Pembahasan tentang ijtihad, yakni syarat-syarat dan sifat-sifat orang yang melakukan ijtihad.
3. Mencarikan jalan keluar dari dua dalil yang bertentangan secara dzahir, ayat dengan ayat atau sunnah dengan sunnah, dan lain-lain baik dengan jalan pengompromian (Al-jam’u wa At-Taufiq), menguatkan salah satu (tarjih), pengguguran salah satu atau kedua dalil yang bertentangan (nasakh/tatsaqut Ad-dalilain).
4. Pembahasan hukum syara’ yang meliputi syarat-syarat dan macam-macamnya, baik bersifat tuntunan, larangan, pilihan atau keringanan (rukhsah). Juga dibahas tentang hukum, hakim, mahkum ‘alaih (orang yang dibebani), dan lain-lain.
5. Pembahasan kaidah-kaidah yang akan digunakan dalam mengistinbath hukum dan cara menggunakannya.

C. Perbedaan Ushul Fiqih dan Fiqih
Dari keterangan di atas, dapat terlihat dengan jelas bahwa Ushul Fiqih merupakan timbangan atau ketentuan untuk istinbath hukum dan objeknya selalu dalil hukum, sementara objek fiqihnya selalu perbuatan mukallaf yang diberi status hukumnya. Walaupun ada titik kesamaan, yaitu keduanya merujuk pada dalil, namun konsentrasinya berbeda, yaitu ushul fiqih memandang dalil dari sisi cara penunjukkan atas suatu ketentuan hukum, sedanggkan fiqih memandangg dalil hanya sebagai rujukannya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalil sebagai pohon melahirkan buah, sedangkan fiqih sebagai buah yang lahir dari pohon tersebut.

D. Tujuan Mempelajari dan Fungsi Ushul Fiqih
Tujuan mempelajari Ushul Fiqih dapat dikategorikan ke dalam dua tujuan utama, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Secara umum, tujuan mempelajari Ushul Fiqih adalah untuk mengetahui dan dapat menggunakan cara-cara ber istinbath dengan menerapkan kaidah-kaidah Ushuliyah dan teori-teorinya terhadap dalil-dalil yang tafshiliy agar hukum syara’ diketahui dengan baik, baik dengan jalan yakin ataupun dengan jalan dhann.
Adapun secara khusus, dengan mempelajari Ushul Fiqih, kita dapat mengembalikan masalah-masalah cabang kepada asalnya (muttabi’). Dengan kata lain, mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui dasar-dasarnya dan cara pengambilannya. Untuk mencapai tujuan umum tersebut di atas, sesungguhnya pendekatan lingguistik saja tidaklah cukup, padahal kitab-kitab Ushul Fiqih pada umumnya diwarnai oleh pendekatan linguistik ini dimana dibicarakan secara panjang lebar tentang amr, nahyi, ‘am, khas, muthlaq,muqayyad, manthuq, mqfhum, muradif, musytarak, dhahir, khafi, haqiqah, majaz, dan sebagainya. Sudah tentu pendekatan linguistikini tetap penting, sebab al-Qur’an dan al-Hadis yang merupakan sumber pokook di dalam hukum Islam ditulis dalam satu bahasa tertentu, yaitu bahasa Arab. Hanya saja masih perlu diperdalam dan dikembangkan masalah-masalah istihsan, maslahah mursalah, dan atau qawq’id ushuliyyah tasyri’iyyah.
Para ulama ushul sepakat mengatakan bahwa Ushul Fiqih merupakan salah satu sarana untuk mendapatkan hukum-hukum Allah sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, baik yang berkaitan denggan masalah aqidah, ibadah, mu’amalah,’uqubah, maupun akhlak. Dengan kata lain, Ushul Fiqih bukanlah sebagai tujuan melainkan sebagai sarana.
Oleh karena itu, secara rinci Ushul Fiqih berfungsi sebagai berikut:
1. Memberikan pengertian dasar tenntang kaidah-kaidah dan metodologi para ulama mujtahid dalam mengggali hukum.
2. Menggambarkan persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid, agar menggali hukum syara’ secara tepat, sedangkan bagi orang awam supaya lebih mantap dalam mengikuti pendapat yang dikemukakan oleh para mujtahid setelah mengetahui cara yang mereka gunakan untuk berijtihad.
3. Memberikan bekal untuk menentukan hukum melalui berbagai metode yang dikembangkan oleh para mujtahid,, sehingga dapat memecahkan persoalan yang baru.
4. Memelihara agama dari penyimpangan dan penyalahgunaan dalil. Dengan berpedoman pada Ushul Fiqih, hukum yang dihasilkan melalui ijtihad tetap diakui syara’..
5. Menyusun kaidah-kaidah umum (asas hukum) yang dapat dipakai untuk menetapkan berbagai persoalan dan fenomena social yang terus berkembang di masyarakat.
6. Mengetahui keunggulan dan kelemahan para mujtahid, sejalan dengan dalil yang mereka gunakan. Dengan demikian, para peminat hukum Islam (yang belum mampu berijtihad) dapat memilih pendapat mereka yang terkuat disertai alasan-alasan yang tepat.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Al-Ushul Al-Fiqh, ( Kairo: Dar Al-Qalam, 1978), Cet. VII, Hal.12
Ad-Dawalibi, Muhammad Ma’ruf, Al-Madkhal ila ‘ilm ushûl al-fiqh, ( Damsyik: Darul ‘ilm lil Malayin, 1965) Cet. Ke-5
Al-Mahalli, Jalal Syam Ad-Din, Syarh ‘ ala Matn Jam’u al-Jawami’, (Mesir: Musthafa Al-Babi Al-Halabi, 1937). 3
Al-Baidhawi, Minhaj Al-Wushul, ‘Ilm Al-Ushul, (Mesir: Al-Maktabah Al-Tijariyah Al-Kubra, 1326 H), Juz 1: 16.
Syafe’I Rahmat, Ilmu Ushul Fiqih, ( Bandung: Pustaka Setia, 2007), Cet III
Abu Zahrah, Ushul Fiqh, ( Cairo: Dar Al-Fikr Al-Arobi, t.t )
Djazuli dan Nurol ‘Ain, Usul Fiqh, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), Cet. Pertama

SEJARAH MUNCULNYA MAZHAB
DAN DASAR PEMIKIRAN MAZHAB EMPAT


BAB I
PENDAHULUAN
Masalah khilafiah merupakan persoalan yang terjadi dalam realitas kehidupan manusia. Di antara masalah khilafiah tersebut ada yang menyelesaikannya dengan cara yang sederhana dan mudah, karena ada saling pengertian berdasarkan akal sehat. Tetapi dibalik itu masalah khilafiah dapat menjadi ganjalan untuk menjalin keharmonisan di kalangan umat Islam karena sikap ta’asub (fanatik) yang berlebihan, tidak berdasarkan pertimbangan akal sehat dan sebagainya.
Perbedaan pendapat dalam lapangan hukum sebagai hasil penelitian (ijtihad), tidak perlu dipandang sebagai faktor yang melemahkan kedudukan hukum Islam, bahkan sebaliknya bisa memberikan kelonggaran kepada orang banyak sebagaimana yang diharapkan Nabi :
اختلاف امتى رحمة (رواه البيهقى فى الرسالة الاشعرية)
Artinya: “Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat” (HR. Baihaqi dalam Risalah Asy’ariyyah).
Hal ini berarti, bahwa orang bebas memilih salah satu pendapat dari pendapat yang banyak itu, dan tidak terpaku hanya kepada satu pendapat saja.


BAB II
SEJARAH MUNCULNYA MAZHAB
DAN DASAR PEMIKIRAN MAZHAB EMPAT
A. Pengertian Mazhab
Menurut Bahasa “mazhab” berasal dari shighah mashdar mimy (kata sifat) dan isim makan (kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il madhi “dzahaba” yang berarti “pergi”. Sementara menurut Huzaemah T. Yanggo bisa juga berarti al-ra’yu yang artinya “pendapat”.
Sedangkan secara terminologis pengertian mazhab menurut Huzaemah T. Yanggo, adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam Mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistinbatkan hukum Islam. Selanjutnya Imam Mazhab dan mazhab itu berkembang pengertiannya menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti cara istinbath Imam Mujtahid tertentu atau mengikuti pendapat Imam Mujtahid tentang masalah hukum Islam.
Jadi bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud mazhab meliputi dua pengertian
a. Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh seorang Imam Mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada al-Qur’an dan hadits.
b. Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu peristiwa yang diambil dari al-Qur’an dan hadits.


B. Sejarah Singkat Munculnya Mazhab Fiqh
Sebenarnya ikhtilaf telah ada di masa sahabat, hal ini terjadi antara lain karena perbedaan pemahaman di antara mereka dan perbedaan nash (sunnah) yang sampai kepada mereka, selain itu juga karena pengetahuan mereka dalam masalah hadis tidak sama dan juga karena perbedaan pandangan tentang dasar penetapan hukum dan berlainan tempat. Sebagaimana diketahui, bahwa ketika agama Islam telah tersebar meluas ke berbagai penjuru, banyak sahabat Nabi yang telah pindah tempat dan berpencar-pencar ke nagara yang baru tersebut. Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar pikiran atau bermusyawarah memecahkan sesuatu masalah sukar dilaksanakan. Sejalan dengan pendapat di atas, Qasim Abdul Aziz Khomis menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan ikhtilaf di kalangan sahabat ada tiga yakni : 1. Perbedaan para sahabat dalam memahami nash-nash al-Qur’an 2. Perbedaan para sahabat disebabkan perbedaan riwayat 3. Perbedaan para sahabat disebabkan karena ra’yu.
Setelah berakhirnya masa sahabat yang dilanjutkan dengan masa Tabi’in, muncullah generasi Tabi’it Tabi’in. Ijtihad para Sahabat dan Tabi’in dijadikan suri tauladan oleh generasi penerusnya yang tersebar di berbagai daerah wilayah dan kekuasaan Islam pada waktu itu. Generasi ketiga ini dikenal dengan Tabi’it Tabi’in. Di dalam sejarah dijelaskan bahwa masa ini dimulai ketika memasuki abad kedua hijriah, di mana pemerintahan Islam dipegang oleh Daulah Abbasiyyah.
Masa Daulah Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, atau sering disebut dengan istilah ‘’The Golden Age’’. Pada masa itu Umat Islam telah mencapai puncak kemuliaan, baik dalam bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaan. Selain itu juga telah berkembang berbagai cabang ilmu pengetahuan, ditambah lagi dengan banyaknya penerjemahan buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab. Fenomena ini kemudian yang melahirkan cendikiawan-cendikiawan besar yang menghasilkan berbagai inovasi baru di berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Bani Abbas mewarisi imperium besar Bani Umayah. Hal ini memungkinkan mereka dapat mencapai hasil lebih banyak, karena landasannya telah dipersiapkan oleh Daulah Bani Umayah yang besar. Periode ini dalam sejarah hukum Islam juga dianggap sebagai periode kegemilangan fiqh Islam, di mana lahir beberapa mazhab fiqih yang panji-panjinya dibawa oleh tokoh-tokoh fiqh agung yang berjasa mengintegrasikan fiqih Islam dan meninggalkan khazanah luar biasa yang menjadi landasan kokoh bagi setiap ulama fiqih sampai sekarang.
Sebenarnya periode ini adalah kelanjutan periode sebelumnya, karena pemikiran-pemikiran di bidang fiqh yang diwakili mazhab ahli hadis dan ahli ra’yu merupakan penyebab timbulnya mazhab-mazhab fiqh, dan mazhab-mazhab inilah yang mengaplikasikan pemikiran-pemikiran operasional. Ketika memasuki abad kedua Hijriah inilah merupakan era kelahiran mazhab-mazhab hukum dan dua abad kemudian mazhab-mazhab hukum ini telah melembaga dalam masyarakat Islam dengan pola dan karakteristik tersendiri dalam melakukan istinbat hukum
Kelahiran mazhab-mazhab hukum dengan pola dan karakteristik tersendiri ini, tak pelak lagi menimbulkan berbagai perbedaan pendapat dan beragamnya produk hukum yang dihasilkan. Para tokoh atau imam mazhab seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan lainnya, masing-masing menawarkan kerangka metodologi, teori dan kaidah-kaidah ijtihad yang menjadi pijakan mereka dalam menetapkan hukum. Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para tokoh dan para Imam Mazhab ini, pada awalnya hanya bertujuan untuk memberikan jalan dan merupakan langkah-langkah atau upaya dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang dihadapi baik dalam memahami nash al-Quran dan al-Hadis maupun kasus-kasus hukum yang tidak ditemukan jawabannya dalam nash.
Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para imam mazhab tersebut terus berkembang dan diikuti oleh generasi selanjutnya dan ia -tanpa disadari- menjelma menjadi doktrin (anutan) untuk menggali hukum dari sumbernya. Dengan semakin mengakarnya dan melembaganya doktrin pemikiran hukum di mana antara satu dengan lainnya terdapat perbedaan yang khas, maka kemudian ia muncul sebagai aliran atau mazhab yang akhirnya menjadi pijakan oleh masing-masing pengikut mazhab dalam melakukan istinbat hukum.
Teori-teori pemikiran yang telah dirumuskan oleh masing-masing mazhab tersebut merupakan sesuatu yang sangat penting artinya, karena ia menyangkut penciptaan pola kerja dan kerangka metodologi yang sistematis dalam usaha melakukan istinbat hukum. Penciptaan pola kerja dan kerangka metodologi tersebut inilah dalam pemikiran hukum Islam disebut dengan ushul fiqh.
Sampai saat ini Fiqih ikhtilaf terus berlangsung, mereka tetap berselisih paham dalam masalah furu’iyyah, sebagai akibat dari keanekaragaman sumber dan aliran dalam memahami nash dan mengistinbatkan hukum yang tidak ada nashnya. Perselisihan itu terjadi antara pihak yang memperluas dan mempersempit, antara yang memperketat dan yang memperlonggar, antara yang cenderung rasional dan yang cenderung berpegang pada zahir nash, antara yang mewajibkan mazhab dan yang melarangnya.
Menurut hemat penulis, perbedaan pendapat di kalangan umat ini, sampai kapan pun dan di tempat mana pun akan terus berlangsung dan hal ini menunjukkan kedinamisan umat Islam, karena pola pikir manusia terus berkembang. Perbedaan pendapat inilah yang kemudian melahirkan mazhab-mazhab Islam yang masih menjadi pegangan orang sampai sekarang. Masing-masing mazhab tersebut memiliki pokok-pokok pegangan yang berbeda yang akhirnya melahirkan pandangan dan pendapat yang berbeda pula, termasuk di antaranya adalah pandangan mereka terhadap kedudukan al-Qur’an dan al-Sunnah.
C. Dasar-dasar Pemikiran Mazhab Empat
Berkembangnya dua aliran ijtihad rasionalisme dan tradisinalisme telah melahirkan madzhab-madzhab fiqih islam yang mempunyai metodologi kajian hukum serta fatwa-fatwa fiqih tersendiri, dan mempunyai pengikut dari berbagai laposan masyarakat. Dalam sejarah pengkajian hukum islam dikenal beberapa madzhab fiqih yang secara umum terbagi dua, yaitu madzhab sunni dan madzhab syi’i. Di kalangan Sunni terdapat beberapa madzhab, yaitu hanafi, maliki, syafi’i dan hambali. Sedangkan di kalangan syiah terdapat dua madzhab fiqih, yaitu Zaidiyah dan Ja’fariah. Namun yang masih berkembang kini hanyalah madzhab Ja’fariah dan Syi’ah Imamiyah.
Dalam makalah ini, penulis hanya membatasinya pada mazhab-mazhab fiqh dari golongan sunni. Berikut ini kami sebutkan riwayat fuqoha-fuqoha yang mazhabnya dibukukan dan mereka mempunyai pengikut diberbagai negara-negara besar.
1. Imam Abu Hanifah (80-150 H)
Nama lengkapnya adalah Nu’man ibn Tsabit ibn Zuthi (80-150 H). Ia dilahirkan di Kufah, pada zaman dinasti Umayyah tepatnya pada zaman kekuasaan Abdul malik ibn Marwan.
Dikala muda ia mempelajari fiqh dari Hammad bin Abu Sulaiman, beliau juga banyak belajar pada ulama-ulama tabi’in seperti Atha’ bin Abu Rabah dan Nafi’ Maula Ibnu Umar. Pada awalnya Abu hanifah adalah seorang pedagang, atas anjuran al-Syabi ia kemudian menjadi pengembang ilmu. Abu Hanifah belajar fiqih kepada ulama aliran irak (ra’yu). Imam Abu Hanifah mengajak kepada kebebasan berfikir dalam memecahkan masalah-masalah baru yang belum terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Ia banyak mengandalkan qiyas (analogi) dalam menentukan hukum.
Imam Abu Hanifah dikenal sebagai ulama yang luas ilmunya dan sempat pula menambah pengalaman dalam masalah politik, karena di masa hidupnya ia mengalami situasi perpindahan kekuasaan dari khalifah Bani Umayyah kepada khalifah Bani Abbasiyah, yang tentunya mengalami perubahan situasi yang sangat berbeda antarta kedua masa tersebut.
Madzhab Hanafi berkembang karena kegigihan murid-muridnya menyebarkan ke masyarakat luas, namun kadang-kadang ada pendapat murid yang bertentangan dengan pendapat gurunya, maka itulah salah satu ciri khas fiqih Hanafiyah yang terkadang memuat bantahan gurunya terhadap ulama fiqih yang hidup di masanya.
Ulama Hanafiyah menyusun kitab-kitab fiqih, diantaranya Jami’ al-Fushulai, Dlarar al-Hukkam, kitab al-Fiqh dan qawaid al-Fiqh, dan lain-lain. Dasar-dasar Madzhab Hanafi adalah :
a. Al-Qur’anul Karim
b. Sunnah Rosu dan atsar yang shahih lagi masyhur
c. Fatwa sahabat
d. Qiyas
e. Istihsan
f. Adat dan uruf masyarakat
Murid imam Abu Hanifah yang terkenal dan yang meneruskan pemikiran-pemikirannya adalah : Imam Abu Yusuf al-Ansharg, Imam Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani, dll.
2. Imam Malik (93-179 H)
Beliau adalah Maliki bin Annas bin Abu Amir. Ia dilahirkan di madinah pada tahun 93 H. Ia menuntut ilmu pada ulama Madinah. Orang pertama yang menjadi tempat belajar adalah Abdur Rahman bin Hurmuz. Beliau juga pada belajar pada Nafi’ maula Ibnu Umar dan Ibnu Syihab az-Zuhri. Adapun gurunya dalam fiqh adalah Rabi’ah bin Abdur Rahman.
Karyanya yang terkenal adalah kitab al-Muwatta’, sebuah kitab hadits bergaya fiqh. Inilah kitab tertua hadits dan fiqh tertua yang masih kita jumpai. Dia seorang Imam dalam ilmu hadits dan fiqih sekaligus. Orang sudah setuju atas keutamaan dan kepemimpinannya dalam dua ilmu ini.
Dalam fatwa hukumnya ia bersandar pada kitab Allah kemudian pada as-Sunnah. Tetapi beliau mendahulukan amalan penduduk madinah dari pada hadits ahad, dalam ini disebabkan karena beliau berpendirian pada penduduk madinah itu mewarisi dari sahabat. Setelah as-Sunnah, Malik kembali ke Qiyas. Satu hal yang tidak diragukan lagi bahwa persoalan-persoalan dibina atas dasar mashlahah mursalah.
Dasar madzhab Maliki dalam menentukan hukum adalah :
a. Al-qur’an
b. Sunnah
c. Ijma’ ahli madinah
d. Qiyas
e. Istishab / al-Mashalih al-Mursalah

3. Imam As-Syafi’i (150-204 H)
Beliau adalah Imam Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’ as-Syafi’i al-Muthalibi. Ia dilahirkan di Ghazzah tahun 150 H di daerah Asqalan.beliau hafal Qur’an pada usia kanak-kanak. Kemudian ia pergi ke Hudzail untuk menghafal syai’r-syai’r dan belajar kesusastraan. Selanjutnya ia belajar pada Muslim bin Khalid az-Zanji seorang syeikh dan Mufti tanah Haram, setelah selesai belajar kepadanya ia minta untuk dibuatkan surat pengantar kepada Malik bin Anas imam tanah Hijrah (Madinah), maka ia dibuatkan surat itu untuk Malik yang ahli Hadits.
Syafi’i pernah belajar Ilmu Fiqh beserta kaidah-kaidah hukumnya di mesjid al-Haram dari dua orang mufti besar, yaitu Muslim bin Khalid dan Sufyan bin Umayyah sampai matang dalam ilmu fiqih. As-Syafi’i mulai melakukan kajian hukum dan mengeluarkan fatwa-fatwa fiqih bahkan menyusun metodologi kajian hukum yang cenderung memperkuat posisi tradisional serta mengkritik rasional, baik aliran Madinah maupun Kuffah. Dalam kontek fiqihnya Syafi’i mengemukakan pemikiran bahwa hukum Islam bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah serta Ijma’ dan apabila ketiganya belum memaparkan ketentuan hukum yang jelas, beliau mempelajari perkataan-perkataan sahabat dan baru yang terakhir melakukan qiyas dan istishab.
Madzhab fiqih as-Syafi’i merupakan perpaduan antara madzhab Hanafi dan madzhab Maliki. Ia terdiri dari dua pendapat, yaitu qaul qadim (pendapat lama) di Irak dan qaul jadid di Mesir. Madzhab Syafi’i terkenal sebagai madzhab yang paling hati-hati dalam menentukan hukum.
Di antara buah pena/karya-karya Imam Syafi’i, yaitu :
• Ar-Risalah : merupakan kitab ushul fiqih yang pertama kali disusun.
• Al-Umm : isinya tentang berbagai macam masalah fiqih berdasarkan pokok-pokok pikiran yang terdapat dalam kitab ushul fiqih.

4. Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H)
Beliau adalah Ahmad bin Hanbal bin Hilal adz-Dzahili asy-Syaibani al-Maruzi al-Baghdadi, dilahirkan pada tahun 164 H di Baghdad.
Ia mendengar pembesar-pembesar hadis dai Hasyim, Al-Bukhari, Muslim, dan orang yang setingkat, meriwayatkan hadis dari padanya. Ia memperbanyak pencarian hadis dan menghafalkannya sehingga menjadi ahli hadis pada masanya. Asy-Syafi’i berkata: Saya keluar dari Baghdad dan disana saya tidak meninggalkan orang yang lebih utama, lebih pandai dan lebih ahli fiqih dari pada Ahmad bin Hambal. Ia belajar fiqih pada Asy-Syafi’i ketika ia datang di Baghdad, daan dia adalah muridnya yang tersohor dari orang-orang Baghdad, kemudian dia ijtihad untuk dirinya sendiri. Ia termasuk mujtahid ahli hadis yang mengamalkan hadis ahad tanpa syarat selama sanadnya shahih seperti jalan Asy-Syafi’i dan ia mendahulukan pendapat-pendapat sahabat dari pada Qiyas. Memasukkan Ahmad dalam rijalul hadis adalah lebih kuat dari pada memasukkannya dalam fuqaha. Ia menyusun musnad yang memuat 40.000 hadis lebih. Anaknya yang bernama Abdullah meriwayatkan dari padanya. Dalam bidang ushul ia mempunyai kitab Tha’atur Rasul, kitab Nasikh dan Mansukh, dan kitab Ilal.
Sebagian orang yang terkenal meriwayatkan madzhabnya ialah Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Hani’ yang terkenal dengan Atsram yang mengarang kitab As-Sunnan fil fiqh ’ala madzhabi Ahmad (Sunnah-sunnah tentang fiqih menurut madzhab Ahmad) da ia mempunyai kesaksian dari hadis, Ahmad bin Muhammad bin Hajaj Al-Marwazi mengarang kitab As-Sunnan bi Syawahidil hadis (Sunnah-sunnah dengan saksi hadis). Dan Ishak bin Ibrahim yang terkenal denga Ibnu Rahawaih Al-Marwazi dan termasuk teman-teman besar bagi Ahmad mengarang juga As-Sunnan fil fiqh (Sunnah-sunnah tentang fiqih).
Ahmad bin Hambal adalah orang yang tertimpa ujian yang terkenal yaitu perihal kemakhlukkan al-Qur’an. Banyak ahli hadis yang mengabulkan ajakan Al-Ma’mun untuk mengatakan al-Qur’an itu makhluk. Adapun dia (Ahmad) berdiri dengan teguh, kokoh dan tidak goyah sedikitpun sejak tahun 218 H yaitu tahun permulaan ajakan Al-Ma’mun sampai tahun 233 H yaitu pembatalan Al-Mutawakil terhadap ajakan itu, yang membiarkan manusia untuk merdeka dalam hal yang dipilih dan dipercayainya. Keteguhan ini tanpa dibicarakan benar atau salahnya menjadikan Ahmad bin Hambal itu mulia serta berada dalam derajat yang tinggi dihadapan para ulama karena menanggung hal-hal yang menyakitkan demi menjaga kepercayaannya yang mana hal itu adalah seindah-indah hiasan dari kemuliaan yang dikenakan manusia. Imam Ahmad bin Hambal wafat di Baghdad pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal 241 H. Sepeninggalan beliau, madzhab Hambali berkembang luas dan menjadi salah satu madzhab yang banyak pengikutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Hasan, M. Ali, Perbandingan Mazhab Fiqih, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, Cet. I, 1997.
Hasjmy, A. Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995.
Ismail, Ahmad satori, Pasang Surut Perkembangan Fiqh Islam, Jakarta : Pustaka Tarbiatuna, Cet. I, 2003.
Khomis, Qasim Abdul Aziz, Aqwal al-shahabah, Kairo : Maktabah al-Iman, 2002.
Mubarok, Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung : PT Remaja Rosdakarya,
Rosyada, Dede, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996,
SA, Romli, Muqaranah Mazahib fil Ushul, Jakarta : Gaya Media Pratama, Cet. I, 1999,
Sirry, Mun’im A. Sejarah Fiqh Islam, Surabaya : Risalah Gusti, Cet I, 1995
Yanggo, Huzaemah T., Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta : Logos, Cet. III, 2003.
Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta : PT. Hidakarya Agung, 1990.
Zuhri, Muh. Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, Jakarta : PT Raya Grafindo Persada, 1996,