Kamis, 26 Februari 2009

PENDAHULUAN
Allah SWT telah mengutus Nabi Muhammad Saw kepada manusia untuk membebaskan manusia dari gelapnya dunia kejahiliyahan kepada terangnya cahaya keimanan. Nabi Muhammad Saw yang diutus Allah SWT untuk menyempurnakan ahlaq manusia tidak selalu mulus dalam perjalanannya menyebarkan syri’at Allah SWT dimuka bumi. Banyak halangan, rintangan, caci maki, bahkan penganiayaan yang diterima Rasulallah Saw. Untuk menguatkan dakwah Rasulallah Saw, Allah SWT memberikan mukjizat-mukjizat untuk mematahkan perlawanan musuh dan sebagai tanda bagi manusia akan kebenaran risalah Nabi Muhammad Saw. Diantara mukjizat-mukjizat yang Allah SWT berikan kepada Rasulallah Saw, kitab Al-Qur’an adalah mukjizat yang terbesar dan yang teragung diantara semuanya.
Al-Qur’an sebagai petunjuk, yang terkandung didalamnya seluruh aspek kebaikan yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan dunianya maupun akhiratnya, perlu untuk digali lebih dalam agar manusia mengimani kitab Allah ini secara ‘ainul yakin. Mulai dari lafadz-lafadz, balaghah, dan aspek yang lain. Sehingga tertanamlah keyakinan secara kuat terhadap kitab yang diturunkan kepada khotimul Anbiya’ ini.
Untuk lebih mengetahui apa sebenarnya al-Qur’an itu, apa pula yang terkandung serta fungsinya, juga kedudukannya dalam agama serta kehidupan sehingga dia dapat dikatakan “Mukjizat Terbesar” Nabi Muhammad Saw ? Maka pada makalah dibawah ini kami suguhkan pemaparan tentang definisi, nama-nama serta sifat al-Qur’an, kandungan, fungsi, serta kedudukan al-Qur’an dan peranannya didalam kehidupan manusia.






AL-QUR’AN
A. Definisi Al-Qur’an
Secara etimologi, al-Qur’an berasal dari kata Qara’a Yaqra’u Qira’atan, atau Qur’anan yang berarti mengumpulkan (al-Jam’u) dan menghimpun (al-Dhommu) huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian kebagian yang lain secara teratur. Dikatakan al-Qur’an karena ia berisikan inti dari semua kitabullah dan intisari dari ilmu pengetahuan.
Ada beberapa pendapat tentang asal kata al-Qur’an diantaranya ialah :
a. Al-Syafi’i (150-204 H) berpendapat, bahwa kata al-Qur’an ditulis dan dibaca tanpa hamzah (al-Quran) dan tidak diambil dari kata lain. Ia adalah nama yang khusus dipakai untuk kitab suci yang diberikan kepada Nabi Muhammad Saw, sebagaimana kitab injil dan taurat dipakai khusus untuk kitab-kitab Tuhan yang diberikan kepada Nabi Isa dan Musa As.
b. Al-Fara’ dalam kitabnya “ma’an al-qur’an” berpendapat, bahwa lafadz al-Qur’an tidak memakai hamzah, dan diambil dari kata qarain jamak dari qarinah, yang berarti indikator (petunjuk). Hal karena sebagian ayat-ayat al-Qur’an itu serupa satu sama lain, maka seolah-olah sebagian ayat-ayatnya merupakan indikator yang dimaksud oleh ayat lain yang serupa itu.
c. Al-Asy’ari berpendapat, bahwa lafadz al-Qur’an tidak memakai hamzah dan diambil dari kata qarana yang berarti menggabungkan. Hal ini disebabkan karena surat-surat dan ayat-ayat al-Qur'an dihimpun dan digabungkan dalam satu mushaf.
d. Al-Zajjaj berpendapat, bahwa lafadz al-Qur’an itu berhamzah, mengikuti wazan fu’lan dan diambil dari kata al-Qar’u yang berarti menghimpun. Hal ini karna al-Qur’an meupakan kitab suci yang menghimpun intisari ajaran-ajaran dari kitab suci sebelumnya.
e. Al-Lihyani berpendapat, bahwa lafadz al-Qur’an itu berhamzah, bentuk masdarnya diambil dari kata qara’a yang berarti membaca, hanya saja lafadz al-Qur’an ini menurut Al-Lihyani berbentuk masdar dengan makna isim maf’ul. Jadi, al-Qur’an artinya maqru’ (yang dibaca).
f. Subhi As-Shalih menyamakan kata al-Qur’an dengan al-Qira’ah sebagaimana dalam Surat al-Qiyamah ayat17-18:

“ Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.” (QS. Al-Qiyamah : 17-18)
Sedangkan pengertian al-Qur’an dari segi terminolognya, dapat dipahami dari pandangan beberapa ulama berikut:
a. Dr. Muhammad Salim Muhsin, dalam bukunya Tarikh Al-Qur’an al-Karim menyatakan, bahwa:

القران هو كلام الله تعالي المنزل علي نبينا محمد صلي الله عليه وسلم المكتوب في
المصاحف المنقول الينا نقلا متواترا المتعبد بتلاوته المتحدي باقصرسورة منه

’’Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang tertulis dalam mushaf-mushaf dan dinukil/diriwayatkan kepada kita dengan jalan yang mutawatir dan membacanya dipandang ibadah serta sebagai penentang (bagi yang tidak percaya) walaupun surat terpendek.

b. Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan al-Qur’an sebagai firman Allah SWT yang diturunkan melalui Roh al-Amin (Jibril) kepada Nabi Muhammad Saw. Dengan bahasa arab, isinya dijamin kebenarannya, dan sebagai hujjah kerasulannya, undang-undang bagi seluruh manusia dn petunjuk dalm beribadah serta dipandang ibadah dalam membacanya, yang terhimpun dalm mushaf yang dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas yang diriwayatkan kepada kita dengan jalan mutawatir.
c. Muhammad Abduh mendefinisikan al-Qur’an sebagai kalam mulai yang diturunkan oleh Allah kepada manusia yang paling sempurna Muhammad Saw, ajarannya mencakup keseluruhan ilmu pengetahuan. Ia merupakan sumber yang mulya yang esensinya tidak dimengerti kecuali bagi orang yang berjiwa suci dan berakal cerdas.
Ketiga definisi al-qur’an tersebut sebenarnya saling melengkapi. Definisi pertama lebih melihat keadaaan al-Qur’an sebagai firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, diriwayatkan kepada umat islam secara mutawatir, membaca sebagai ibadah, dan salah satu fungsinya sebagai mu’jizat atau melemahkan para lawan yang menentangnya. Definisi kedua melengkapi penjelasan cara turunnya lewat malaikat Jibril. Penegasan tentang permulaan surat dari al-Qur’an serta akhir suratnya, dan fungsinya disamping sebagai mu’jizat atau hujjah kerasulan, juga sebagai undang-undang bagi seluruh umat manusia dan petunjuk dalam beribadah. Dan definisi ketiga melengkapi isi al-Qur’an yang mencakup keseluruhan ilmu pengetahuan, fungsinya sebagai sumber yang mulya dan penggalian esensinya hanya bisa dicapai oleh orang yang berjiwa suci dan cerdas.
Dari pemaknaan ini, al-Qur’an memiliki beberapa karakter, sebagai berikut :
1. Kalam Allah, yaitu ucapan-ucapan Allah yang tidak memilki suara dan huruf. Karena itu, kalam Allah berbeda dengan kalam manusia yang memiliki suara dan huruf.
2. Diturunkan Kepada Nabi Muhammad Saw. Dari ini tidak terasuk yang diturunkan kepada nabi-nabi lain, yaitu Taurat kepada Nabi Musa, Zabur kepada Nabi Daud, dan Injil kepada Nabi Isa. Taurat, Zabur, dan injil kendati termasuk kalam Allah, namun tidak sama dengan al-Qur’an, karena al-Qur’an hanya diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.
3. Dalam bahasa arab, yaitu al-Qur’an yang dimaksudkan sebagai kalam Allah hanyalah yang dalam bahasa arab, sesuai dengan maksud ayat yang berbunyi :


“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur'an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.’’ (QS. Yusuf : 2 )

4. Setiap huruf memiliki nilai ibadah, yaitu membaca al-Qur’an mengandung ibadah walaupun satu huruf. Hal ini dijelaskan oleh hadits Turmudzi yang berbunyi:

“Barang siapa membaca satu huruf dari al-Qur’an, ia memperoleh satu nilai kebaikan, dan setiap satu kebaikan akan dibalas sepuluh kali lipat. Saya tidak mengatakan alif lam mim satu huruf, melainkan alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf.

5. Mengandung mukjizat, yaitu al-Qur’an memiliki daya melemahkan lawan bicara sehingga menerima kebenaran al-Qur’an. Hal ini dijelaskan oleh ayat yang berbunyi:

”Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Qur'an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain". (QS. Al-Isra: 88).

6. Karakter terakhir ialah dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas. Maksudnya al-Qur’an terkodifikasi dalam mushaf yang terdiri dari 30 Juz, 114 surat dan 6666 ayat.
Dari enam karakter ini al-Qur’an dibedakan dengan Hadits dan Hadits Qudsi. Hadis ialah perkataan, perbuatan dan ketetapan yang disandarkan pada Nabi. Sedangkan Hadits Qudsi ialah ungkapan-ungkapan suci yang dikaitkan Nabi dengan Allah SWT., yaitu ungkapan Allah yang dibahasakan Nabi. Hadits Qudsi biasanya disandarkan Nabi kepada Allah dengan ungkapan: “Rasulallah Saw, mengatakan mengenai apa yang diriwayatkannya dari Tuhannya”, atau “Rasulallah mengatakan, Allah berfirman:…”. Hal ini dapat dilihat pada Hadits Qudsi berikut ini: “Dari Abi Hurairah Ra. Bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda, Allah SWT berfirman: “Saya bersama sangkaan hamba-Ku kepada-Ku” (HR. Bukhari-Muslim).
Dengan demikian terdapat perbedaan al-Qur’an dengan Hadits Qudsi dalam lima poin, yaitu:
1. Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Rasulallah Saw, dengan lafadznya, dan dengan itu orang Arab ditantang untuk membuat seperti al-Qur’an. Tantangan itu tetap berlaku sesuai dengan kemukjizatan al-Qur’an yang abadi. Sedangkan Hadits Qudsi diturunkan tidak dengan lafadznya dan tidak untuk ditantangkan kepada orang Arab, dan tidak pula mukjizat.
2. Al-Qur’an hanya dinisbahkan kepada Allah, sehingga “Allah berfirman” sedangkan Hadits Qudsi kadang dinisbahkan kepada Allah dengan sebutan: “Telah berfirman Allah Ta’ala” dan terkadang diberitakan bersumber dari Allah, seperti ungkapan: “Rasulallah Saw. Mengatakan mengenai apa yang diriwayatkan dari Tuhannya”.
3. Seluruh isi al-Qur’an diriwayatkan secara mutawatir, sehingga kapasitasnya mutlak benar. Sedangkan Hadits Qudsi kebanyakan diriwayatkan melalui khabar Ahad, sehingga statusnya ada yang shahih, hasan dan dha’if.
4. Al-Quran lafadz dan maknanya berasal dari Allah hal ini berbeda dengan Hadits Qudsi yang maknanya saja dari Allah sedangkan lafadznya dari Nabi. Dengan kata lain, dari segi makna Hadits Qudsi sama dengan al-Qur’an, namun dari segi lafadz sama dengan Hadits.
5. Membaca al-Qur’an ibadah sehingga disuruh dibaca dalam shalat, sedangkan membaca Hadits Qudsi tidak mengandung ibadah sehingga tidak disuruh membacanya dalam shalat.
Di kalangan ahli kalam (akidah Islam) terjadi perbedaan mengenai substansi al-Qur’an sebagai kalam Allah, yaitu apakah ia Qadim atau Hadits (baharu.) Perbedaan itu terpolarisasi kepada dua kelompok, yaitu Asy’ariah dan Muktazilah.
Menurut Asy’ariah, sesuai dengan keyakinan akan keberadaan sifat Tuhan di luar Dzat, meyakini bahwa al-Qur’an bersifat Qadim, seperti halnya Dzat Allah. Adanya dua sifat Qadim (Dzat Tuhan) dan sifat (al-Qur’an) tidak mengakibatkan keanekaan (syirik), karena diantara keduanya tidak bisa dipisahkan.
Berbeda dengan pendapat di atas, sesuai dengan prinsip keesaan Tuhan dalam arti yang ada hanya Dzat-Nya sedangkan sifat di luar dzat tidak ada, menurut Muktazilah, al-Qur’an bersifat baharu, karena diciptakan Tuhan. Penerimaan bahwa al-Qur’an bersifat Qadim menyebabkan adanya dua yang Qadim (Ta’adud zl-Qudama’) yang menyebabkan kemusyrikan. Allah bersifat Esa, menurut Muktazilah, memiliki makna bahwa yang ada hanya Dzat-Nya, sedangkan sifat yang ada di luar Dzat tidak ada. Tuhan mengetahui, menurut Muktazilah, dengan pengetahuan-Nya, dan pengetahuan-Nya adalah Dzatnya sendiri.
Perbedaan pendapat mengenai apakah al-Qur’an Qadim atau baru telah menodai sejarah Dunia Islam, yang dikenal dengan peristiwa mihnah. Namun bagaimanapun semua aliran dalam Teologi Islam sepakat keesaan Tuhan dengan pemahaman yang varian. Karena itu yang terjadi ialah perbeda pemahaman, bukan pertentangan di antara mengesakan Tuhan (Muwahhid) dan mensyerikatkan Tuhan (Musyrik).
B. Nama-nama,Sifat-sifat al-Qur’an dan Dalilnya.
Nama-nama lain untuk al-Qur’an dikembangkan oleh sedemikian rupa, al-Qur’an itu mempunyai banyak nama, menurut Abul Ma’ali Syaizalah, ada 55 nama bagi al-Qur’an, dan menurut Abu Hasan al-Haralay ada 90 nama al-Qur’an. Tetapi menurut Subhi as-Shalih penyebutan nama-nama al-Qur’an yang sekian banyak itu dianggap berlebih-lebihan, sehingga bercampur aduk antara nama al-Qur’an dan sifat-sifatnya. Diantara nama-nama al-Qur’an ialah al-Qur’an itu sendiri. Allah menamakan al-Qu’an dengan beberapa nama, diantaranya:
1. Al-Qur’an
“Sesungguhnya Al Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar. “ (QS. Al-Isra’: 9)

2. Al-Kitab

“Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya?.” (QS. Al-Anbiya: 9).

3. Al-Furqan




“Maha Suci (Allah) yang jika Dia menghendaki, niscaya dijadikan-Nya bagimu yang lebih baik dari yang demikian, (yaitu) surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, dan dijadikan-Nya (pula) untukmu istana-istana.” (QS. Al-Furqan: 10 ).

4. Adz-Dzikr

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9).

5. At-Tanzil
“ Dan sesungguhnya Al Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam.” (QS. As-Syu’ara: 192).
Al-Quran dan Al-Kitab lebih popular dari nama-nama yang lain. Dalam hal ini Muhammad Abdullah Daraz mengatakan : “Ia dinamakan al-Qur’an karena ia “dibaca’ dengan lisan, dan dinamakan al-Kitab karena ia “ditulis” dengan pena. Kedua makna ini sesuai dengan kenyataannya.”
Penamaan al-Qur’an dengan kedua nama ini memberikan isyarat bahwa selayaknya ia dipelihara dalam bentuk hafalan dan tulisan. Dengan demikian, apabila diantara salah satunya ada yang melenceng, maka yang lain meluruskannya. Kita tidak dapat menyandarkan hanya kepada hafalan seseorang sebelum hafalannya sesuai dengan tulisan yang telah disepakati oleh para sahabat, yang dinukilkan kepada kita dari generasi ke generasi menurut keadaan sewaktu dibuatnya pertama kali. Dan kita pun tidak menyandarkan hanya kepada tulisan penluis sebelum tulisan itu sesuai dengan hafalan tersebut berdasarkan isnad yang shahih dan mutawatir.
Dengan penjagaan ganda ini yang oleh Allah telah ditanamkan ke dalam jiwa umat Muhammad untuk mengikuti langkah Nabi-Nya maka al-Qur’an tetap terjaga dalam benteng yang kokoh. Hal itu tidak lain untuk mewujudkan janji Allah yang menjamin terpeliharanya al-Qur’an, seperti difirmankan-Nya:

“ Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9).

Dengan demikian al-Qur’an tidak mengalami penyimpangan, perubahan dan keterputusan sanad, seperti terjadi pada kitab-kitab terdahulu.
Penjagaan ganda ini diantaranya menjelaskan bahwa kitab-kitab samawi lainnya diturunkan hanya untuk waktu itu, sedangkan al-Qur;an diturunkan untuk membetulkan dan menguji kitab-kitab yang sebelumnya. Karena itu al-Qur’an mencakup hakikat yang ada dalam kitab-kitab terdahulu dan menmbahnya dengan tambahan yang dikehendaki Allah.
Dan Allah juga telah melukiskan al-Qur’an dengan beberapa sifat, Beberapa sifat Al Qur’an yang telah Allah SWT berikan kepada Kitab Al Qur’an untuk menunjukkan bahwa kedudukan Al Qur’an itu benar-benar agung. Maka Allah SWT memberikan nama dan sifat kepada Al Qur’an tidak hanya satu. Adapun nama dan sifat al-Qur’an diantaranya, yaitu :
1. Al Mubin ( Ad-Dukhon,2 )


2. Al Kalam,(At-Taubah 6)



3. Al Huda (Luqman,3 )


4. As Syifa’ (Al-Isra’,82 )



5. Al Amru (At-Tholaq,5 )



6. Al Maui’dzoh ( Yunus,57 )



7. Al Karim ( Al-Waqiah,77 )



8. An Nur ( An-Nisa,174 )



9. Al Mubarok (Al-Anbiya,50 )







10. Al ‘Aly ( Az-Zukhruf,4 )



11. Al Hikmah ( Al-Qomar,5 )


12. As Sirotol Mustaqim ( Ali ‘lmron,51 )


13. Ar Rohmah (Luqman,3 )


14. Al Haq ( Ali ‘Imron,62 )



15. Az Zabur ( Al-Anbiya,105 )



16. Al Qoyim ( Al-Kahfi 2 )


17. Al Hakim ( Yunus, 1 )

18. As Sidq ( Az-Zumar,32 )


19. Al Matsani ( Az-Zumar,23 )



20. An Naba’ ( An-Naba,2 )

21. Al ‘Adzim ( An-Naba,2 )



22. Al ‘Ilmu, ( Al-Baqoroh,145 )



23. Al Bashoir ( Al-Jatsiyah,20 )


24. Al Habl ( Ali ‘Imron,103 )



25. Al Mutasyabih (Az-Zumar,23 )


26. Al Majid ( Al-Buruj,21 )



27. Al ‘Adl ( Al-An’am,115 )



28. Ahsanul Hadits ( Az-Zumar,23 )




29. Al Bayan ( Ali ‘Imron.138 )



30. Arobiy ( Yusuf,2 )


31. Al ‘Ajab ( Al-Jin,1 )



32. At Tibyan ( An-Nahl,89 )



33. At Tadzkiroh ( Al-Haaqoh,48 )


34. Al Munadi (Ali ‘Imron,193 )



35. Al Wahyu ( Al-Anbiya,,45 )






36. Al Balagh ( Ibrahim,52 )



37. Al Hadi ( Al-Isra’ 9 )


38. ‘Urwatul Wutsqo ( Al-Baqarah,256 )



39. Al Basyir ( Al-Baqarah,119 )




40. Al Busyro ( An-Naml,2 )



41. Al ‘Aziz ( Fus-Shilat/ Haa min Sajdah, 41 )



42. Al Qoul (At Thoriq, 13)




43. Al Qoshosh ( Yusuf,3 )



44. An Nadzir ( Al-Baqarah,119 )



45. Ar Ruuh ( As-Syura,52)



46. As Suhuf ( ‘Abasa,13 )



47. Al Mukarromah ( ‘Abasa,13 )



48. Al. Fasl ( At-Thoriq,13 )



49. Al Marfu’ah ( ‘Abasa,14 )



50. Al Mutohharoh ( ‘Abasa.14 )



C. Kandungan al-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, kurang lebih selama 23 tahun dalam dua fase, yaitu 13 tahun pada fase sebelum beliau hijrah ke Madinah (Makiyah), dan 10 tahun pada fase sesudah hijrah ke Madinah (Madaniyah). Isi al-Qur’an terdiri dari 114 surat, 6236 ayat, 74.437 kalimat, dan 325.345 huruf. Proporsi masing-masing fase tersebut adalah 19/30 (86 surat) untuk ayat-ayat Makiyah, dan 11/30 (28 surat) untuk ayat-ayat Madaniyah. Sebenarnya ada banyak pendapat tentang isi kandungan al-Qur’an ditinjau dari jumlah surat, ayat, kalimat, dan huruf yang terdapat dalam al-Qur’an.
Para ahli Madinah berpendapat ayat al-Qur’an berjumlah 6214 ayat, ahli Makah berpendapat berjumlah 6213 ayat, menurut ahli Syam berjumlah 6250 ayat, menurut ahli Bashrah berjumlah 6216 ayat, menurut ahi Kufah berjumlah 6236 ayat, dan ada lagi yang berpendapat ayat al-Qur’an berjumlah 6237 ayat, dari beberapa pendapat itu untuk mempermudah dalam mengingat jumlah ayat al-Qur’an maka kita mengambil pendapat yang ada dalam kitab Musthalah at-Tajwid fi al-Qur’an al-Majid yaitu berjumlah 6666 ayat, dan pendapat tersebut sudah umum terkenal dikalangan ulama.
Sedangkan jumlah huruf dalam isi kandungan al-Qur’an juga banyak ikhtilaf (perbedaan pendapat) diantara para ulama, ada yang berpendapat bahwa jumlah kalimat dalam al-Qur’an berjumlah 1.025.000 huruf, ada yang menghitung berjumlah 321.267 huruf, dan ada yang berpendapat berjumlah 325.345 huruf, perbedaan jumlah huruf tersebut dikarenakan adanya huruf-huruf yang bertasydid yang menghitung satu huruf atau dihitung dua huruf. Namun yang lebih umum dan masyhur dari pendapat yang berjumlah 1.025.000.
Sebagaiman jumlah ayat dan surat dalam al-Qur’an terdapat berbagai macam perbedaan pendapat diantara ulama, dalam perhitungan jumlah kalimat dalam al-Qur’an juga terdapat perbedaan pendapat pada jumlah kalimat-kalimatnya yang ada dalam kandungan al-Qur’an, ada yang berpendapat jumlah kalimat dalam al-Qur’an berjumlah 770.450 kalimat ada lagi yang berpendapat hanya berjumlah 8.643 kalimat. Perbedaan penghitungan jumlah kalimat tersebut karena adanya dhomir-dhomir, kalimat-kalimat yang sama dihitung satu kalimat atau beberapa kalimat.
Dari perbedaan pendapat tentang jumlah surat, ayat, huruf dan kalimat dalam al-Qur’an tersebut menunjukkan keajaiban al-Qur’an.
Dari keseluruhan isi kandungan al-Qur’an itu, pada dasarnya mengandung pesan-pesan sebagai berikut:
1. Masalah tauhid, termasuk didalamnya masalah kepercayaan terhadap yang ghaib.
2. Masalah ibadah, yaitu kegiatan-kegiatan dan perbuatan-perbuatan yang mewujudkan dan menghidupkan didalam hati dan jiwa.
3. Masalah janji dan ancaman, yaitu janji dengan balasan baik bagi mereka yang berbuat baik dan ancaman atau siksa bagi mereka yang berbuat jahat, janji akan memperoleh kebahagiaan dunia akhirat dan ancaman akan mendapat kesengsaraan dunia akhirat, janji dan ancaman di akhirat berupa syurga dan neraka.
4. Jalan menuju kebahagiaan dunia akhirat, berupa ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan yang hendaknya dipenuhi agar dapat mencapai keridhaan Allah SWT.
5. Riwayat dan cerita, yaitu sejarah orang-orang terdahulu baik sejarah bangsa-bangsa, tokoh-tokoh, maupun Nabi dan Rasul Allah.
Selanjutnya Abdul Wahab Khalaf lebih memerinci pokok-pokok kandungan (pesan-pesan) al-Qur’an ke dalam 3 (tiga) kategori, yaitu:
a. Masalah kepercayaan (I’tiqadiyah), yang berhubungan dengan rukun iman kepada Allah, malaikat, kitabullah, rasulallah, hari kebangkitan, dan takdir.
b. Masalah etika (Khuluqiyah), berkaitan dengan hal-hal yang dijadikan perhiasan bagi seseorang untuk berbuat keutamaan dan meninggalkan kehinaan.
c. Masalah perbuatan dan ucapan (‘amaliyah), terbagi dalam 2 (dua) macam:
1) Masalah Ibadah, berkaitan dengan rukun Islam, nazar, sumpah, dan ibadah-ibadah lain yang mengatur hubungan antara manusia dan Allah SWT.
2) Masalah muamalah, seperti akad pembelanjaan, hukuman, jinayat, dan sebagainya yang mengatur hubungan antara manusia dan manusia lain, baik perseorangan maupun kelompok. Masalah muamalah ini terbagi menjadi 7 (tujuh) bagian yaitu:
a) Masalah individu (ahwal al-Syahshiyah), misalnya: masalah keluarga, hubungan suami istri, sanak kerabat, dan pengaturan rumah tangga, yang didalam al-Qur’an sebanyak kurang lebih 70 ayat.
b) Masalah perdata (madaniyah), yang berkaitan dengan hubungan perseorangan dengn masyarakat, misalnya: jual-beli, sewa menyewa, gadai dan sebagainya yang berhubungan dengan hasil kekayaan, sebanyak kurang lebih 70 ayat.
c) Masalah pidana (jinayah), yang berhubungan dengan perlindungan hak-hak manusia, sebanyak 30 ayat.
d) Masalah perundang-undangan (dusturiyah), hubungan antara hukum dan pokok-pokoknya, seperti hubungan hakim dan dengan terdakwa, hak-hak perseorangan, dan hak-hak masyarakat, sebanyak 10 ayat.
e) Masalah hukum acara (mu’rafat), yaitu yang berkaitan dengan pengadilan, kesaksian, sumpah, dan sebagainya, sebanyak 13 ayat.
f) Masalah ketatanegaraan (duwaliyah), yang berkaitan dengan hubungan Negara Islam dan Negara-negara non-Islam, tata cara pergaulan dengan selain muslim di dalam Negara Islam, baik dalam keadaan perang maupun damai, sebanyak sekitar 25 ayat.
g) Masalah ekonomi dan keuangan (iqthisadiyah dan maliyah), yaitu yang berkaitan dengan hak si miskin pada harta orang kaya, sumber air, minyak, bank, hubungan antara negara dan rakyatnya, sebanyak kurang lebih 10 ayat.
D. Fungsi al-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw untuk disampaikan kepada umat manusia, sudah barang tentu mempunyai banyak fungsi, baik bagi Nabi Muhammad sendiri dan bagi kehidupan manusia scara keseluruhan. Diantara fungsi al-qur’an adalah sebagai :
1. Bukti kerasulan Muhammad Saw dan kebenaran ajarannya
2. Petunjuk aqidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh umat manusia oleh manusia, yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Allah SWT dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan.
3. Petunjuk mengenai ahlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupan secara individual dan kolektif.
4. Petunjuk syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesama manusia. Atau dengan kata lain, al-Qur’an adalah petunjuk bagi seluruh manusia kejalan yang harus ditempuh demi kebahagiaan hidup didunia dan akhirat.
5. Sebagai kitab yang menyempurnakan bagi kitab-kitab terdahulu, seperti Zabur, Taurat, dan Injil.
6. Menjelaskan apa yang diperselisihkan oleh umat-umat terdahulu. Seperti menjelaskan bahwa Nabi Isa tidak mati disalib, melainkan orang yang diserupakan dengannya. Dan sebagainya.
Syeh Muhammad Abduh sebgai bapak pemandu aliran rasionalis, masih mendudukkan fungsi al-Qur’an yang tertinggi. Dalam arti, walaupun akal sehat mampu mengetahui yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk, tetapi ia tidak mampu mengetahui hal-hal yang ghaib. Disinilah letak fungsi dan peranan al-Qur’an.
Lebih dari itu, fungsi al-Qur’an adalah sebagai hujjah umat manusia yang merupakan sumber nilai objektif, universal, dan abadi, karena ia diturunkan dari Dzat yang Maha Tinggi. Kehujjahan al-Qur’an dapat dibenarkan, karena ia merupakan sumber segala macam aturan tentang hukum, sosial ekonomi, kebudayaan, pendidikan, moral, dan sebagainya, yang harus dijadikan pandangan hidup bagi seluruh umat islam dalam memecahkan setiap persoalan umat Islam. Allah Berfirman :

“ Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk".(QS. Al-A’raf : 158)

“ Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab : 36)
Demikian juga al-Qur’an berfungsi sebagai hakim yang memberikan keputusan terakhir mengenai perselisihan dikalangan para pemimpin, dan lain-lain. Sekaligus sebagai korektor yang mengoreksi ide, kepercayaan, undang-undang yang salah dikalangan umat beragama. Oleh karena itu, sl-Qur’an merupakan penguat bagi kebenaran kitab-kitab sucu terdahulu yang dianggap positif, dan memodifikasi ajaran-ajaran yang using dengan ajaran-ajaran yang baru yang dianggap lebih positif. Fungsi itu berlaku karena isi kitab-kitab terdahulu terdapat perubahan dan perombakan dari aslinya, disamping itu juga sebagian isinya dianggap kurang relevan perubahan dan perkembangan zaman dan tempat.
E. Kedudukan al-Qur’an
Kedudukan al-Qur’an adalah sebagai berikut:
1. Kitab Naba Wal-Akhbar (Berita dan Khabar)
Sebagaimana yang terkandung dalam firman Allah SWT:

“ Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya?Tentang berita yang besar”(QS. An-Naba’: 1-2).

2. Kitab Al-Hukmi Wa Syari’at (Kitab Hukum dan Syariah)
Sebagaimana dalam firman Allah SWT:

“ Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”(QS. Al-Maaidah: 49-50).

3. Kitab al-Jihad (Kitab Jihad)

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”(QS. Al-Ankabut: 69).

4. Kitab at-Tarbiyah (Kitab Tarbiyah)

“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS. Ali-Imron: 79)

5. Kitab al-‘Ilmi (Kitab Ilmu)

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-’Alaq: 1-5)

6. Minhajul Hayah
Konsep inilah yang pada akhirnya dapat mengeluarkan umat Islam dari kejahiliyahan menuju cahaya Islam. Dari kondisi tidak bermoral menjadi memiliki moral yang sangat mulia. Dan sejarah membuktikan hal ini terjadi pada sahabat Rasulallah SAW, Sayyid Quthbi mengemukakan:
“Bahwa sebuah generasi telah terlahir dari dakwah yaitu generasi sahabat yang memiliki keistimewaan tersendiri dalam sejarah umat Islam, bahkan dalam sejarah umat Islam secara keseluruhan. Generasi ini tidak muncul kedua kalinya ke dunia ini sebagaimana mereka. Meskipun tidaka disangkal adanya beberapa individu yang dapat menyamai mereka, namun tidak sama sekali sejumlah besar sebagaimana sahabat dalam satu kurun waktu tertentu, sebagaimana yang terjadi pada periode awal dari kehidupan dakwah ini…..”
Cukuplah kesaksian Rasulallah SAW, menjadi bukti kemuliaan mereka, manakala beliau bersabda dalam sebuah Haditsnya:
عن عمران بن حصين رضي الله عنهما قال قال رسول الله صلي الله عليه وسلم : خيركم قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم.
“ Dari Imran bin Hushoin ra, Rasulallah Saw bersabda : sebaik-baik kalian adalah generasi yang ada pada masaku (para sahabat), kemudian generasi yang berikutnya (tabi’in), kemudian generasi yang berikutnya lagi (atba’ tabi’in). HR. Bukhari.
Imam nawawi, secara jelas mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan generasi pada masaku adalah sahabat Rasulallah Saw. Dalam hadits yang lain Rasulallah Saw juga mengemukakan keutamaan sahabat :
عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لا تسبوا أصحابي فلو أنفق أحدكم مثل أحد ذهبا ما بلغ مد أحدهم ولا نصيفه
(رواه البخاري)
“ Dari Abu Sa’id al-Khudri ra, Rasulallah Saw bersabda : Jangan kalian mencela sahabat-sahabatku. Karena sekiranya salah seorang diantara kalian menginfakkan emas sebesar gunung uhud, niscayatidak akan dapat menyamai keimanan mereka, bahkan menyamai setengahnyapun tidak”. HR. Bukhari.
Sayid Qutub (1993 : 14-23) mengemukakan, terdapat tiga hal yang melatat belakangi para sahabat sehingga mereka dapat menjadi khoirul qurun yang tiada duanya didunia ini. Secara ringkas adalah sebagai berikut :
1. Karena mereka menjadikan al-Qur’an sebagai satu-satunya sumber petunjuk jalan guna menjadi pegangan hidup mereka, dan mereka membuang jauh-jauh berbagai sumber lainnya.
2. Ketika mereka membacanya, mereka tidak memiliki tujuan untuk tsaqofah, pengetahuan, menikmati keindahan dan lain sebagainya. Namun mereka mereka hanya untuk mengimplementasikan apa yang diinginkan Allah dalam hidup mereka.
3. Mereka membuang jauh-jauh segala hal yang berhubungan dengan masalalu ketika jahiliyah. Mereka memandang bahwa Islam merupakan titik tolak perubahan, yang sama sekali terpisah dengan masalalu, baik yang bersifat pemikiran maupun budaya.
Dengan tiga hal inilah, generasi sahabat muncul sebagai generasi terindah yang pernah terlahir didunia ini. Disebabkan karna ketotalitasan mereka ketika berinteraksi dengan al-Qur’an yang dilandasi sebuah keyakinan yang mengakar dalam lubuk sanubari, bahwa hanya al-Qur’anlah satu-satunya pedoman hidup yang mampu mengantarkan manusia pada kebahagiaan hakiki baik didunia maupun akhirat.












KESIMPULAN
Al-Qur’an sebagai kitab suci agama islam mempunyai peranan penting didalam kehidupan manusia, untuk kebahagiaan manusia didunia dan diakhirat. Untuk dipahami dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, seseorang hendak menggali ilmu yang ada didalam al-Qur’an, agar al-Qur’an dapat menjadi petunjuk dan hidayah bagi kehidupannya. Pantaslah Nabi Muhammad Saw bersabda :
خيركم من تعلم القران وعلمه
Al-Qur’an sendiri didefinisikan oleh para pakar ilmu keal-Qur’anan dengan banyak definisi. Dari mulai dari etimologi sampai dengan terminologi yang beragam, tetapi merujuk kepada satu kesimpulan yaitu al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw melalui malaikat Jibril as yang menjadi petunjuk bagi seluruh alam juga sebagai mu’jizat yang agung bagi Nabi Muhammad Saw, yang membacanya adalah merupakan suatu ibadah”.
Al-Qur’an sebagai kitab umat islam yang diturunkan kepada penutup para Nabi dan Rasul, Nabi Muhammad Saw telah Allah SWT sempurnakan terhadap kitab-kitab sebelumnya (Zabur, Taurat, Injil), dan Allah menjamin penjagaannya, hingga kitab al-Qur’an terjaga dari perubahan, pengurangan, penambahan, dan hal-hal yang mengotori kesuciannya hingga akhir zaman. Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (QS. Al-Hijr : 9)
Al-Qur’an sebagai kitab yang mulia, petujuk bagi seluruh alam, Allah telah memberikan nama dan menyifatinya. Adapun nama-nama al-Qur’an adalah al-Qur’an, al-Kitab, al-Furqan, al-Dzikr, al-Tanzil. Demikian pula sifat-sifat yang diberikan Allah SWT kepada al-Qur’an jumlahnya sangat banyak lebih dari 50 sifat, bahkan diantara ulama ada yang memberikan pendapat bahwa sifat-sifat al-Qur’an lebih dari 90 buah. Ini adalah sebuah penghargaan Allah SWT kepada al-Qur’an, betapa al-Qur’an mempunyai keutamaan yang sangat besar dikehidupan dunia dan akhirat.
Sebagai kitab suci terakhir, kitab suci yang mencakup seluruh aspek kehidupan, dunia maupun akhirat, al-Qur’an mempunyai kandungan, fungsi, dan kedudukan yang sangat penting.
Dari keseluruhan isi kandungan al-Qur’an itu, pada dasarnya mengandung pesan-pesan sebagai berikut:
1. Masalah tauhid, termasuk didalamnya masalah kepercayaan terhadap yang ghaib.
2. Masalah ibadah, yaitu kegiatan-kegiatan dan perbuatan-perbuatan yang mewujudkan dan menghidupkan didalam hati dan jiwa.
3. Masalah janji dan ancaman, yaitu janji dengan balasan baik bagi mereka yang berbuat baik dan ancaman atau siksa bagi mereka yang berbuat jahat, janji akan memperoleh kebahagiaan dunia akhirat dan ancaman akan mendapat kesengsaraan dunia akhirat, janji dan ancaman di akhirat berupa syurga dan neraka.
4. Jalan menuju kebahagiaan dunia akhirat, berupa ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan yang hendaknya dipenuhi agar dapat mencapai keridhaan Allah SWT.
5. Riwayat dan cerita, yaitu sejarah orang-orang terdahulu baik sejarah bangsa-bangsa, tokoh-tokoh, maupun Nabi dan Rasul Allah.
Selain mempunyai kandungan yang sarat dengan petunjuk, al-Qur’an mempunyai fungsi yang sangat banyak. Diantara fungsi al-Qur’an adalah sebagai :
1. Bukti kerasulan Muhammad Saw dan kebenaran ajarannya
2. Petunjuk aqidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh umat manusia oleh manusia, yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Allah SWT dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan.
3. Petunjuk mengenai ahlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupan secara individual dan kolektif.
4. Petunjuk syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesama manusia. Atau dengan kata lain, al-Qur’an adalah petunjuk bagi seluruh manusia kejalan yang harus ditempuh demi kebahagiaan hidup didunia dan akhirat.
5. Sebagai kitab yang menyempurnakan bagi kitab-kitab terdahulu, seperti Zabur, Taurat, dan Injil.
6. Menjelaskan apa yang diperselisihkan oleh umat-umat terdahulu. Seperti menjelaskan bahwa Nabi Isa tidak mati disalib, melainkan orang yang diserupakan dengannya. Dan sebagainya.
Demikian pula halnya dengan kedudukan al-Qur’an sebagai pedoman bagi keselarasan hidup. Kita simpulkan dari pemaparan diatas, bahwa al-Qur’an mempunyai kedudukan sebagai :
1. Kitab Naba Wal-Akhbar (Berita dan Khabar)
Sebagaimana yang terkandung dalam firman Allah SWT:

“ Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya?Tentang berita yang besar”(QS. An-Naba’: 1-2).

2. Kitab Al-Hukmi Wa Syari’at (Kitab Hukum dan Syariah)
Sebagaimana dalam firman Allah SWT:

“ Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”(QS. Al-Maaidah: 49-50).

3. Kitab al-Jihad (Kitab Jihad)

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”(QS. Al-Ankabut: 69).

4. Kitab at-Tarbiyah (Kitab Tarbiyah)

“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS. Ali-Imron: 79)

5. Kitab al-‘Ilmi (Kitab Ilmu)

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-’Alaq: 1-5)

6. Minhajul Hayah
Konsep inilah yang pada akhirnya dapat mengeluarkan umat Islam dari kejahiliyahan menuju cahaya Islam. Dari kondisi tidak bermoral menjadi memiliki moral yang sangat mulia.
Maka dari apa yang telah kami simpulkan diatas, jelaslah bahwa al-Qur’an tidak ada lagi keraguan padanya, kitab yang sempurna, yang menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Allah berfirman :

“Alif Laam Miim. Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa”(QS. Al-Baqarah : 1-2)
Penutup
Demikianlah makalah ini kami tulis, ucapan terimakasih yang tak terhingga kami haturkan kepada Dosen kami, Bapak H. Mursal Syah MA dan Ibu Hamida Mursal MA karena atas bimbingan dan arahannya kami dapat menyelesaikan perbaikan makalah Ulumul Qur’an diakhir semester satu ini. Wallahu Muwaffiq ilâ Aqwamit Thariq.







DAFTAR PUSTAKA
AL-GHazali, al-Musthafa Min ‘Ilmi al-Ushul, (Mesir: Maktabah al-Jumdiyah, 1971).
Abd. Hakim Atang, Mubarok Jaih, Metotodologi Studi Islam, ( Bandung: PT.Rosyda Karya, 2007), Edisi Revisi, Cet. Ke-Sembilan.
Muhaimin, dkk, Dimensi-dimensi Studi Islam, (Surabaya: Abditama, 1994), Cet. Pertama.
Muhaimin, dkk, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2007), Edisi Pertama, Cet. 2.
Safi Hasan Abu Thalib, Tatbiq al-Asy’ariyah al-Islamiyah fi al-Bilad al-Arabiyah, (Kairo: Dar al-Nahdah al-Arabiyah, 1990), Cet. III.
Umar Abdullah, Musthalah at-Tajwid Fi al-Qur’an al-Majid, (Semarang: Toha Putra, tanpa tahun), Cet. Pertama.
Syihab M. Quraisy, Wawasan-wawasan Al-Qur’an, (Jakarta: Mizan, 2007), Cet. I
Al-Birri, Zakariya, Masadir al-Ahkam al-Islamiyah, (Kairo: Dar al-Ittihad al-Arabi Littiba’ah, 1975)

Kamis, 19 Februari 2009

Lintasan Fikiran

Banyak pikiran yang terlintas di benak ini, setiap harinya mungkin ratusan lintasan yang lewat. Ada yang kemunculannya berulang-ulang, setiap kali menatap, merasa atau adanya kesempatan, hal ini yang menyebabkan lintasan tersebut tersimpan dalam memori yang terus diingat dan selanjutnya mungkin itu menjadi landasan untuk bersikap. Lintasan itu kadang ada yang positif dan ada juga yang negative, hati-hati... terkadang kita terlalu buru-buru dalam mengambil tindakan dengan lintasan yang ada dibenak kita tanpa pertimbangan yang matang. Apa pertimbangannya ? manusia dalam mengambil keputusan, dalam menyelesaikan permasalahannya ada dua pertimbangan atau pandangan.


1. Pragmatisme, yang mendasarkan pada kesenangan fisik atau duniawi, bersifat experiment / mencoba-coba dan mementingkan nafsunya sendiri.
2. Idealisme, yang mendasarkan pada hukum syar’i yaitu hukum agama, Al Qur’an dan Al Hadits, dimana terdapat wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.
Ingat & Berhati-hatilah! awal dari semua yang kita lakukan berasal dari lintasan pikiran, seringnya lintasan pikiran tersebut maka akan termemorikan, kemudian menjadi gagasan, dan apabila gagasan tersebut menguat dalam diri, maka akan menjadi sebuah keyakinan dan apabila keyakinan juga telah menguat dalam diri, maka akan menjadi kemauan, jika menjadi kemauan maka kita akan melakukan tindakan. Apabila tindakan ini diulang berkali-kali, maka tindakan itu akan menjelma menjadi kebiasaan. Jika kebiasaan ini berlangsung dalam waktu yang lama, maka ia akan naik satu tingkat dan mengakar lebih dalam yang akhirnya menjadi watak dari diri kita. Oleh karena itu, Imam Al Ghazali menggambarkan akhlak / karakter sebagai tindakan yang muncul dari seseorang yang tidak didahului dengan proses berpikir.
Cara berpikir = Visi -> Lintasan pikiran, memori & gagasan.
Cara merasa = Mental -> Keyakinan & kemauan.
Cara bertindak = Sikap -> Tindakan, kebiasaan & watak.
Untuk itu, marilah kita tingkatkan pengetahuan tentang ilmu agama Islam agar hidup dapat dijalani dengan selamat dan penuh dengan kebahagiaan. Semoga kita termasuk orang yang berserah diri "aslama" dan mempunyai akhlak terpuji, amin...
- amza <http://an-amza.blogspot.com>

Kamis, 05 Februari 2009

PENDAHULUAN
Segala puji kami penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah membimbing manusia dengan hidayah-Nya, sebagaimana yang terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Kami bersyukur kepada-Nya yang telah memudahkan penulisan dan penyajian makalah Ulumul Hadis yang sederhana ini hingga dapat terselesaikan.
Shalawat serta alam semoga senantiasa dihaturkan kepada junjungan baginda Nabi Muhammad SAW, para sahabat, keluaraga dan para pengikutnya sampai di hari kiamat nanti.
Seluruh umat Islam telah menerima faham, bahwa Hadis Rasulallah SAW, itu sebagai pedoman hidup yang utama, setelah al-Qur’an. Tingkah laku manusia yang tidak ditegaskan ketentuan hukumnya, tidak diterangkan cara pengamalannya, tidak diperinci menurut petunjuk dalil yang masih utuh, tidak dikhususkan menurut petunjuk ayat yang masih muthlak dalam al-Qur’an, hendaklah dicarikan penyelesaiannya dalam Hadis.
Kami akan membahas Klasifikasi Hadis berdasarkan dari yang diterimanya (yakni yang shahih) dan yang ditolak (yakni yang dha’if). Itulah pembagian secara garis besar. Tetapi para ahli Hadis membagi dalam Hadis dalam tiga bagian: Hadis shahih, Hadis hasan, dan Hadis dha’if. Setiap Hadis tidak bisa dikeluarkan dari salah satu pengelompokan pokok tersebut.
Pembagian ketiga Hadis itu mencakup banyak jenis. Diantara jenis-jenis tersebut ada yang khusus untuk Hadis shahih atau yang hasan atau yang dha’if. Ada pula yang dikelompokan bersama yang shahih dengan yang hasan dan dikelompokan bersama antara yang shahih, yang hasan, dan yang dha’if. Penjelasan semuanya akan kami bahas lebih lanjut.
Kami senantiasa memohon pertolongan Allah Yang Maha Agung lagi Maha Mulia agar kami dapat menjelaskan dan mengedepankan istilah-istilah Hadis dengan bahasa yang jelas, dan dengan pembagian yang kongkrit.


KLASIFIKASI HADIS BERDASARKAN DITERIMANYA ATAU DITOLAKNYA SEBUAH HADIS

Pembahasan Klasifikasi Hadis berdasarkan dari yang diterimanya (yakni yang shahih) dan yang ditolak (yakni yang dha’if). Itulah pembagian secara garis besar. Tetapi para ahli Hadis membagi dalam Hadis dalam tiga bagian: Hadis shahih, Hadis hasan, dan Hadis dha’if.
I. HADIS SHAHIH
A. Definisi Hadis Shahih
Para ulama Hadis memberikan beberapa definisi Hadis shahih sebagai berikut:
’’Hadis yang sanadnya sambung, dikutip oleh orang yang adil lagi cermat dari orang yang sama, sampai berakhir pada Rasulallah SAW, atau kepada sahabat atau kepada tabi’in, bukan Hadis yang syadz (kontroversial) dan terkena illat, yang menyebabkannya cacat dalam penerimaanya.”
مااتصل سنده بنقل العدل الضابط عن مثله الي منتهاه من غير شذوذ ولاعلة
’’Hadis yang sanadnya sambung dikutip oleh orang yang adil lagi dhabit dari orang yang sama sampai berakhir pada Rasulallah s.a.w. bukan Hadis yang syadz dan tidak terkena illat’’.
Abu Amr Ibn Ash-Shalah mengatakan:
الحد يث الصحيح هو المسند الذي يتصل اسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط الي منتهاه ولايكون شاذا ولا معللا
’’Hadis shahih adalah musnad yang sanadnya sambung melalui periwayatan orang yang adil lagi dhabit dari orang yang adil lagi dhabit (pula) sampai ujungnya, tidak syadz dan tidak mu’allal(terkena ‘illat)’’.
Imam Nawawiy meringkas definisi Ibn ash-Shalah, Beliau mengatakan:
هو ما اتصل سنده بالعدول الضا بطو ن من غيرشذوذ ولا علة
’’Hadis shahih adalah hadis yang sambung sanadnya melalui (periwayatan) orang-orang yang adil lagi dhabit tanpa syadz dan ‘illat’’.
Dari beberapa definisi diatas, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, dan menjadi syarat-syarat atau kriteria yang dinamakan Hadis Shahih, yaitu:
1. Hadis Shahih sanadnya bersambung sampai atas. Yang dimaksud sanadnya bersambung, ialah sanadnya selamat dari keterputusan. Dengan kata lain, bahwa tiap-tiap perawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari guru yang memberinya sampai keatas.
2. Hadis Shahih dikutip oleh perawi yang adil, yakni perawinya Muslim, baligh, berakal (mukallaf), tidak mengerjakan dosa-dosa (fasiq), dan selamat dari sesuatu yang dapat melemahkan kewibawaan (muru’ah) dirinya.
Definisi adil menurut pendapat ar-Razi dapat mencakup definisi semuanya:
’Adalah ialah tenaga jiwa, yang mendorong selalu bertindak taqwa, menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mubah yang dapat menodai kewibawaan (muru’ah), seperti makan di jalan umum, buang air kecil ditempat yang bukan disediakan untuknya dan bergurauan yang berlebih-lebihan).
3. Hadis Shahih dikutip oleh perawi yang dhabit (sempurna ingatannya) atau perawi yang kuat ingatannya, baik dhabit shadri maupun dhabit kitabi, artinya bahwa ingatan perawi lebih kuat atau banyak daripada lupanya, dan kebenarannya lebih banyak dari kesalahannya maka dinamakan dhabit shadri. Kemudian apabila yang disampaikan itu berdasarkan pada buku catatannya (teks book) maka dinamakan dhabit kitabi.
4. Hadis Shahih bukanlah Hadis yang syadz (kontroversial) artinya antara perawi tsiqat yang satu terpercaya tidak bertentangan dengan perawi tsiqat yang lainnya.
Contoh Syadzdz seperti hadis yang diriwayatkan oleh Muslim melalui jalan Ibnu Wahb sampai pada Abdullah din Zaid dalam memberikan sifat-sifat wudhu Rasulallah:
انه مسح برأسه بماء غير فضل يده
Bahwa beliau menyapu kepalanya dengan air yang bukan kelebihan di tangannya.
Sedang periwayatan Al-Baihaqi, melalui jalan sanad yang sama mengatakan:
انه أخذ لأذنيه ماء خلاف الماء الذي أخذ لرأسه
Bahwasannya beliau mengambil air untuk kedua telinganya selain air yang diambil untuk kepalanya.
Periwayatan Al-Baihaqi syadz (janggal)) dan tidak shahih, karena periwayatannya dari Ibnu Wahb seorang tsiqat, menyalahi periwayatan jama’ah ulama dan Muslim yang lebih tsiqat. Syadz bisa terjadi pada suatu matan atau sanad hadis.
5. Hadis Shahih terbebas dari illat. Illat Hadis adalah sifat tersembunyi yang mengakibatkan Hadis tersebut cacat dalam penerimaannya, kendati secara lahir Hadis terbebas dari illat.
Contoh illat seperti Hadis Matruk yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Ad-Dunya dalam Qadha Al-Hawaij melalui jalan Juwaibir bin Sa’id Al-Azdi dari Ad-Dhahhak dari Ibnu Abbas dari Nabi SAW:
عليكم باصطناع المعروف فانه يمنع مصارع السوء وعليكم بصدقة السر فانهاتطفئ غضب الله عزوجل
Wajib atas kamu berbuat yang makruf sesungguhnya ia mencegah pergulatan kejahatan dan wajib atas kamu shadaqah siri (samaran) sesungguhnya ia mematikan murka Allah ’Aza Wa Jalla.
Pada isnad hadis diatas terdapat Juwaibirn bin Sa’id Al-Azdi, An-Nasai dan Ad-Daruquthni berkata, bahwa ia Matruk al-Hadits, menurut Ibnu Ma’in: ليس بشيء = tidak apa-apa.
B. Contoh Hadis Shahih
Sebagaimana Hadis yang di riwayatkan Bukhari dalam kitab Shahihnya:
حد ثنا عبد الله بن يسف قال اخبرنا مالك عن شهاب عن محمد بن جبير بن مطعم عن ابيه قال: سمعت رسول الله صلي الله عليه وسلام قرأ في المغرب بالطور
Artinya: (Kata Bukhari) : Telah menceritakan kepada kami, ’’Abdullah bin Yusuf, (ia berkata) telah mengkhabarkan kepada kami, Malik, dari Syihab, dari Muhammad bin Jubair bin Muthim dari bapaknya, ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulallah s.a.w memanggil dari arah barat diatas gunung Thur.
Kalau kita periksa Hadis sanad dari Bukhari sampai Jubair tersebut sanadnya bersambung, perawinya semua adil, kepercayaan, dan dhabit dengan sempurna (Tsiqat), Hadis tersebut tidak terdapat syadz, dan terbebas dari illat, kekeliruan, kesalahan, dan lain-lain yang menyebabkan Hadis itu tercela.
Hadis tersebut telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana tertera didalam definisi Shahih yang kami paparkan diatas, maka Hadis tersebut dinamakan Hadis Shahih.
C. Klasifikasi Hadis Shahih
Hadis Shahih terbagi menjadi dua jenis:
1. Shahih Li Dzatihi
Yang dimaksud Shahih Li Dzatihi artinya yang sah karena dzatnya, yakni shahih tanpa bantuan sanad yang lainnya dan sesuai dengan syarat-syaratnya. Hadis Shahih Li Dzatihi adalah Hadis yang memenuhi syarat-syarat secara maksimal seperti definisi Hadis Shahih yang telah dijelaskan diatas.
2. Shahih Li Ghairihi
Sedangkan Hadis Shahih Li Ghairihi adalah Hadis Shahih yang tidak memenuhi syarat-syarat secara maksimal, misalnya perawinya yang adil tidak sempurna kedhabitanya (kapasitas intelektualnya), bila jenis ini dikukuhkan oleh jalur sanad yang lain yang semisal, maka akan menjadi Shahih Li Ghairihi, dengan demikian Hadis Shahih Li Ghairihi adalah Hadis yang keshahihanya karena ada sanad yang lain, karena tidak memenuhi syarat secara maksimal. Misalnya Hadis Hasan yang diriwayatkan melalui beberapa jalur, bisa naik dari derajat Hasan menjadi Shahih. Dengan demikian secara definitif Hadis Shahih Li Ghairihi itu, ialah:
هو ماكان رواته متاخراعن درجة الحافظ الضابط مع كونه مشهوراباالصدق حتي يكون حديثه حسنا ثم وجد فيه من طريق اخر مساو لطريقه اوارجح مايجبرذلك القصور الواقع فيه
’’Hadis yang keadaan rawi-rawinya kurang Hafidz dan dhabit, tetapi mereka masih terkenal orang yang jujur, hingga karenanya berderajat hasan, lalu didapati padanya dari jalan lain yang serupa atau lebih kuat, hal-hal yang dapat menutupi kekurangan yang menimpa itu’’.
1.Contoh Hadis Shahih Li Dzatihi
حدثنا عبد الله بن يوسف اخبرنا ما لك عن نافع عن عبد الله ان رسول الله ص قال: اداكانوا ثلاثة فلا يتناجي اثنان دون الثالث
Artinya: ( Kata Bukhari ) : Telah menceritakan kepada kami, ”Abdullah bin Yusuf, (ia berkata) telah mengkhabarkan kepada kami, Malik, dari Nafi, dari Abdullah bahwa Rasulallah SAW bersabda: “Apabila mereka itu bertiga orang, janganlah dua orang (dari antaranya) berbisik-bisik dengan tidak bersama yang ketiganya.
Kalau diperiksa Hadis tersebut, dari Bukhari sampai Nabi SAW., sanadnya bersambung, perawinya semua adil, kepercayaan, dan dhabit (tsiqat), Hadis ini tidak terdapat syadz, dan terbebas dari illat.
Hadis tersebut telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana tertera didalam definisi Shahih yang kami paparkan diatas, dan kesahihannya tidak karena sanad yang lain, maka Hadis tersebut dinamakan Hadis Shahih Li Dzatihi.

2.Contoh Hadis Shahih Li Ghairihi
التر مذي حدثنا محمد بن بشار حدثنا عبد الرحمن حدثنا سفيان عن عبدالله ابن عقيل عن محمد بن الحنفية عن علي عن النبي صلي الله عليه وسلم قال: مفتاح الصلاة الطهور وتحريمها التكبير وتحليلها التسليم.
Artinya:(Kata Turmudziy):“Telah menceritakan kepada kami, Muhammad bin Basyar,( ia berkata) telah menceritakan kepada kami, Abdurrahman (ia berkata), telah menceritakan kepada kami, Sufyan, dari Abdullah bin Muhammad bin Aqil, dari Muhammad bin al-Hanafiah, dari Ali, dari Nabi SAW, beliau bersabda: pembuka shalat itu ialah bersuci, dan yang memasukkan (seseorang) ke dalam shalat adalah takbir, dan yang mengeluarkan (seseorang) dari shalat itu, ialah salam”.
Kalau diperiksa semua rawi yang ada dalam sanad ini orang-orang kepercayaan, kecuali Abdullah bin Muhammad bin Aqil saja, walaupun ia seorang yang benar, tetapi kedhabitanya tentang hafalannya kuat tidaknya masih diperselisihkan.
Oleh karena itu, riwayat Abdullah bin Muhammad bin Aqil ini dianggap Hasan Li Dzatihi.
Sanad Turmudzi ini dikuatkan enam jalan sanad lain yaitu:
1. Riwayat Ibnu Majah, semua rawinya kepercayaan kecuali Abu Sufyan as-Sa’di (Tharif bin Syihab), seorang rawi yang lemah.
2. Riwayat Bazzar, Thabrani, Turmudzi, dari jalan Jabir, dalam sanadnya ada Abu Yahya al-Qattat seorang rawi yang lemah.
3. Riwayat Thabrani dari jalan Abdullah bin Ziyad, ada al-Waqidi seorang rawi yang lemah..
4. Riwayat Thabrani dari jalan Ibnu Abbas ada Nafi bin Hurmuz, seorang rawi yang Haditsnya tidak diterima oleh ulama.
5. Riwayat Abu Nu’man, bukan sabda Nabi, tetapi perkataan Abdullah bin Mas’ud yang sama dengan qaul Nabi itu. Sanad riwayat Abi Nu’man ini Shahih.
6. Riwayat Muslim dan Darimi, Aisyah berkata:
كان رسول الله ص.يفتتح الصلاة بالتكبير ويفتتح القراءة بالحمدلله رب العالمين ويختمهابالتسليم
Artinya: Adalah Rasulallah SAW, memulai shalat dengan takbir, dan mulai bacaan dengan ’’Alhamdulillahii rabbil ‘alamin’’, dan menyudahinya dengan ’’salam’’.
Hadis Hasan Li Dzatihi yang diriwayatkan oleh Turmudzi itu, dikuatkan dengan enam jalan dan keterangan.
Jadi riwayat Turmudzi tersebut, sesudah dibantu dengan jalan yang lain, maka kualitas hadis tersebut naik menjadi Shahih Li Ghairihi.
D. Kehujahan Hadis Shahih
Hadis yang telah memenuhi persyaratan hadis shahih wajib diamalkan sebagai hujah atau dalil syara’ sesuai dengan ijma’ para ulama hadis dan sebagian ulama ushul dan fikih. Tidak ada alasan seorang muslim tinggal mengamalkannya. Hadis shahih li ghairihi lebih tinggi derajatnya dari pada hasan li dzatihi, tetapi lebih rendah dari pada shahih li dzatihi. Sekalipun demikian ketiganya dapat dijadikan hujah.
II. HADIS HASAN
A. Kemunculan Hadis Hasan
Satu hal yang wajar bila sebagian Hadis memenuhi syarat-syarat qabul secara maksimal, disamping ada sebagian yang tidak memenuhi keseluruhannya atau sebagian saja.Yang pertama bisa diamalkan yaitu yang Shahih, seperti yang telah dijelaskan, sedang yang kedua ditinggalkan yaitu dha’if, seperti yang akan dijelaskan.
Kadang-kadang syarat-syarat qabul dapat dipenuhi secara sempurna oleh sebagian Hadis, akan tetapi sebagian perawinya tidaklah berada pada tingkat yang tinggi dalam hal hafalan, kedhabitan dan keteguhan. Kedhabitan mereka ada di bawah tingkat kedhabitan para perawi Hadis-hadis Shahih. Mereka itulah para perawi Hadis Hasan yang berada pada posisi tengah antara Hadis Shahih dan Dha’if. Namun Hadis mereka tetap diterima dan diamalkan.
At-Tirmidzi adalah orang pertama yang mengeluarkan sebutan Hadis hasan. Di lapisan pendahulunya seperti Imam Ahmad dan Al-Bukhari dan dalam sejumlah gurunya, kita menemukan sejumlah Hadis yang cenderung bersifat hasan, yakni di bawah shahih dan lebih tinggi daripada dha’if. Kami tidak merasa aneh bila dalam Shahih Bukhari terdapat Hadis hasan apabila dalam Musnad Ahmad bahwasannya Hadis hasan itu sejenis Hadis shahih.
B. Definisi Hadis Hasan
At-Tirmidzi dan para ulama ahli Hadis setelahnya, telah mendefinisikan Hadis hasan, karena pada dasarnya Hadis hasan tersebut berada dipertengahan antara Hadis shahih dan Hadis dha’if, diantara definisi yang paling lengkap sebagaimana yang di kemukakan oleh Ibn Hajar yaitu:
وخبر الاحاد بنقل عدل تام الضبط متصل السند غير معلل ولاشاذ هو الصحيح لذاته فان خف الضبط فاالحسن لذاته
’’Khabar Ahad yang diriwayatkan perawi yang adil lagi sempurna kedhabitannya, muttashil, musnad tanpa syadz dan ‘illat itulah yang disebut Shahih Li Dzatihi. Bila kedhabitannya kurang maka itulah yang disebut Hasan Li Dzatihi’’.
Dengan demikian yang dimaksud Hadis Hasan adalah Hadis yang memenuhi syarat-syarat Hadis Shahih seluruhnya, hanya saja tingkat kedhabitan perawinya kurang dibanding kedhabitan para perawi Hadis Shahih. Kalau begitu, definisi yang kami pilih untuk Hadis Hasan adalah:
ما اتصل سنده بعدل خف ضبطه من غير شذوذ ولاعلة
’’Hadits yang muttashil senadanya yang diriwayatkan oleh perawi yang adil yang kedhabitannya kurang tanpa syadz dan tanpa ‘illat’’.
C. Contoh Hadis Hasan
حدثنا قتيبة حدثنا جعفر بن سليمان الضبعي عن أبي عمران الجوني عن ابي بكر بن أبي موسي الأشعري قال: سمعت أبي بحضرة العدويقول: قال رسول الله صلي الله عليه وسلام: ان ابواب الجنة تحت ظلال السيوف
Artinya: : (Kata Turmudziy): “Telah menceritakan kepada kami, Qutaibah, telah menceritakan kepada kami, Ja’far bin Sulaiman ad-Dhuba’i, dari Abu ‘Imran al-Jauni, dari Abu Bakar bin Abu Musa al-‘Asyari, ia berkata: ia berkata: Telah bersabda Rasulallah saw.:Bahwa sesungguhnya pintu-pintu syurga itu dibawah tempat naungan pedang .’’
Hadis ini hasan Karena isnad empat perawinya tsiqat kecuali Ja’far bin Sulaiman ad-Dhuba’I, bahwa hadis itu hasan karena hadis itu teurun dari martabat atau tingkat shahih menjadi hasan.
D. Klasifikasi Hadis Hasan
Hadis Hasan dibagi menjadi dua jenis:
1. Hasan Li Dzatihi
Yang dimaksud Hadis Hasan Li Dzatihi adalah yang sudah disebutkan definisinya. Disebut Hasan li dzatihi karena kehasanannya karena memenuhi syarat-syarat tertentu, bukan karena faktor lain diluarnya.
2. Hasan Li Ghairihi
Hadis Hasan Li Ghairihi adalah pada mulanya hadits dha’if yang mempunyai sanad lain yang semisal dan lebih shahih yang menguatkannya, naik menjadi Hasan karena penguat itu. Seandainya tidak ada penguat, tentu masih berstatus dha’if .
Adapun batas Hasan Li Ghairihi adalah Hadis yang didalam isnadnya terdapat orang yang tidak diketahui keadaanya, tidak bisa dipastikan kelayakan atau ketidaklayakan. Namun ia bukan orang lengah yang banyak berbuat salah dan tidak pula dituduh berbuat dusta. Sedangkan matannya didukung oleh mutabi’ atau syahid.
Berdasarkan uraian diatas maka Hadis dha’if dapat terangkat kedha’ifannya atau tidak karena 2 faktor, yaitu:
1. Dapat hilang kedha’ifannya, karena adanya faktor yang menghilangkannya, seperti adanya mutabi’, syahid atau periwayatan lain yang sema’na.
2. Tetap kedha’ifannya, walaupun ada faktor yang dapat menghilangkannya, disebabkan terlalu dha’if.
a. Contoh Hadis Hasan Li Dzatihi
التر مذي حدثنا ابو كريب حدثنا عبدة بن سليمان عن محمد ابن عمر وعن ابي سلمة عن ابي هريرة قال: قال رسول الله ص : لولا ان اشق علي امتي لامرتهم باسواك عند كل صلاة
Artinya: (Kata Turmudziy): “Telah menceritakan kepada kami, Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami,’Abdah bin Sulaiman, dari Muhammad bin ‘Amr, dari Abi Salamah, dari Abi Hurairah, ia berkata: Telah bersabda Rasulallah saw.: “Jika aku tidak memberatkan ummatku, niscaya aku perintah mereka bersugi di waktu tiap-tiap hendak shalat”
Kalau diperiksa Hadis sanad dari Turmudzy sampai Nabi tersebut sanadnya bersambung, perawinya semua adil, kepercayaan, dan dhabit kecuali Muhammad bin ‘Amr, seorang yang adil tetapi kedhabitannya kurang, karena lemah hafalannya, Hadis tersebut tidak terdapat syadz, dan terbebas dari illat.
Oleh karena ada Muhammad bin ‘Amr tersebut, maka Hadis itu dinamakan Hadis Hasan Li Dzatihi



b. Contoh Hadis Hasan Li Ghairihi.
الترمذي حدثنا احمد بن منيع حد ثنا هشيم عن يزيد بن ابي زياد عن عبدالرحمن بن ابي ليلي عن البراء بن عازب قال: قال رسول الله ص : حقا علي المسلمن ان يغتسلوا يوم الجمعة
Artinya: (Kata Turmudziy): Telah menceritakan kepada kami, Ahmad bin Mani’, telah menceritakan kepada kami, Husyaim, dari Yazid bin Abi Zi-yad, dari ‘Abdirrahman bin Abi Laila, dari al-Bara’ bin ‘Azib, ia berkata: Telah bersabda Rasulallah saw: ”Sesungguhnya satu kewajiban atas umat Islam mandi pada hari Jum’ah”.
Kalau diperiksa perawi yang ada dalam sanad ini, semua orang kepercayaan, kecuali Husyaim terkenal sebagai mudallis. Karena itu maka sanadnya dianggap tidak terlalu lemah, karena orangnya kepercayaan.
Tetapi Hadis ini dikuatkan dengan jalan sanad yang lain, riwayat Turmudzi juga yaitu: Turmudzi, Ali bin Hasan al-Kufi, Abu Yahya Ismail bin Ibrahim at-Taimi, Yazid bin Abi Ziyad, Abdurrahman bin Abi Laila. Bara’ bin Azib sampai Rasulallah SAW., rawi-rawi isnad ini juga semua kepercayaan, kecuali Abu Yahya, seorang yang dianggap lemah, tetapi Hadis yang diriwayatkannya diterima.
Oleh karena sanad yang pertama itu dbantu dengan sanad yang kedua, maka Hadis sanad yang pertama itu dinamakan Hasan Li Ghairihi, demikian juga sebaliknya.
E. Kehujahan Hasan
Hadis hasan dapat dijadikan hujah walaupun kualitasnya di bawah hadis shahih. Semua Fuqaha, sebagian Muhadditsin dan Ushuliyyin mengamalkannya kecuali sedikit dari kalangan orang yang sangat ketat dalam mempersyaratkan penerimaan hadis (musyaddidin). Bahkan sebagian Muhadditsin yang mempermudah dalam persyaratkan shahih (mutasahilin) memasukan kedalam hadis shahih, seperti Al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah.

III. HADIS DHA’IF
A. Definisi Hadis Dha’if
Hadis Dha’if menempati urutan yang ketiga dalam pembagian Hadis. Batasannya yang paling tepat adalah: Hadis yang padanya tidak terdapat cirri-ciri Hadis Shahih dan Hadis Hasan. Beberapa ahli Hadis ada yang mencoba menghimpun bentuk- bentuk logis bermacam Hadis Dha’if yang tidak memenuhi persyaratan Hadis Shahih atau Hadis Hasan. Ternyata bisa terhimpun sebanyak 381 macam bentuk, yang kebanyakan tidak aktual dan tidak menunjukkan ciri-ciri tertentu di antara banyak macam Hadis Dha’if yang diistilahkan oleh para penekun ilmu ini.
Ibnu Shalah berpendapat bahwa jumlah jenis yang mungkin bagi Hadis Dha’if tidak lebih dari 42 macam, yang cara mentakhrijkannya telah dijelaskan. Al-Hafidz al-Iraqi juga mengutip bentuk-bentuk itu dan sebagian ulama yang lain membaginya menjadi 129 macam.
Definisi Hadis Dha’if ialah Hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat bisa diterima. Mayoritas ulama’ menyatakan: Hadist Dha’if yaitu Hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat Shahih ataupun syarat-syarat Hasan.
هو ما لم يجمع صفة الحسن بفقد شرط من شروطه
Hadis yang tidak menghimpun sifat atau ciri-ciri Hadis Hasan, yang kehilangan satu syarat dari syarat-syaratnya Hadis Hasan.
Atau definisi lain yang biasa diungkapkan mayoritas Ulama:
هومالم يجمع صفة الصحيح والحسن
Hadis yang tidak menghimpun sifat hadis shahih dan hasan.
Jadi hadis dha’if adalah hadis yang tidak memenuhi sebagian atau semua persyaratan hadis hasan atau shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung (muttashil), para perawinya tidak adil dan tidak dhabit, terjadi keganjilan baik dalam sanad atau matan (syadz) dan terjadinya cacat yang tersembunyi (illat) pada sanad dan matan.
B. Contoh Hadis Dha’if
Sebagaimana Hadis dari Turmudzi dari jalan Hakim al-Atsram dari Abu Tamimah Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, bersabda:
"حكم الأثرم "عن ابي تميمة الهجيمي عن ابي هريرة عن النبي ص:من اتي حائضااوامرأة في دبرها او كاهنافقد كفربماانزل علي محمد
Barang siapa yang mendatangi pada seseorang wanita menstruasi (haid) atau pada seorang wanita dari jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka ia telah mengingkari apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
C. Hukum Periwayatan Hadis Dha’if
Hadis dha’if tidak identik dengan hadis maudhu’ (hadis palsu). Di antara hadis dha’if terdapat kecacatan para perawinya yang tidak terlalu parah, seperti daya hafalanya yang kurang kuat tetapi adil dan jujur. Sedang hadis maudhu’ perawinya pendusta. Maka para ulama memperbolehkan meriwayatkan hadis dha’if sekalipun tanpa menjelaskan kedha’ifannya dengan dua syarat, yaitu:
1. Tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah.
2. Tidak menjelaskan hokum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram, tetapi berkaitan masalah mauidzhah, targhib wa tarhib (hadis-hadis tentang ancaman dan janji), kisah-kiisah dan lain-lain.





DAFTAR PUSTAKA
As-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi Syarah Taqrib an-Nawawi, (Mesir: 1307 H)
Abd.Qadir Hasan, Ilmu Musthalah Hadis, (Bandung: PT.cv.Diponegoro, 1991) cet.V
Abd. Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, Februari 2008), cet. I
Al-Bukhari, Shahih Bukhari.
At-Tirmidzi, Sunan Tirmidzi
Fathur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadis, (Bandung: PT.Al-Ma’arif, 1974), cet. I
Hasbi Ash-Shiddiqy, Ulum al-Hadits, (Yogyakarta: Sumbangsih), I, hal.62.
Ibn Ash-Shalah, Abu Amr, Ulum al-Hadits, (Math.Al-Ilmiyah Halb: 1350 H – 1931 M) hal.6.
Ibn Ash-Subki,An-Nawawiy, Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra,(Kairo: Al-Husainiyah, 1324 H), Juz V, hal. 165.
Ibn Hajar, Tahdzib at-Tahdzib, (Heideradab: 1327 H
Mahmud Tahan, Taisir Musthalah al-Hadits, (Kairo: Darul Fikri), hal.30
Muh.Mahfudz at-Tarmasy, Manhaj Dzawin Nadhar, (Surabaya: Maktabah Nabhaniyah), hal.29.
Subhi ash-Shalah, Membahas Ilmi-ilmu Hadis, (Jakarta: PT.Pustaka Firdaus,2007), cet.VI